Senin, 28 November 2011

TASAWUF FALSAFI

                                                            TASAWUF FALSAFI
 A. Pengertian
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosifis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
B. Sejarah Kemunculan
Menurut At-Tafzani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khasanah Islam sejak abad keenam hijiriyyah meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu tasawuf jenis ini hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yana juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.
Masih menurut At-Tafzani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samara-samar akibatnya banyaknya istilah khusus yang hanyadapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini
C. Tokoh-Tokoh
1. IBN ‘ARABI
a. Biografi Singkat
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyo;, tahun 560 H., dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan. Diantara karya monementalnya adalah Al-Futuha Al-Makiyyah yang ditulisnya pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asuywaq yang ditulisnya untuk mengenjang kecantikan, ketaqwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi di Persia.
b. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiah, tokoh yang paling keras dan mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
Terjadi perbedaan dalam memformulasikan pengertian wahdat Al-Wujud. Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-Wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama saja dengan wujud Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikatnya.
Menurutnya juga, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Perbedaannya hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu.
Dari konsep wahdat Al-wujud Ibn Arabi ini, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan dan cabang dari konsep wahdat Al-wujud tersebut, yaitu konsep Al-hakikat Al-Muhammadiyyah dan konsep wahdat Al-Adyan (kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut :
Ø Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
Ø Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (realitas-realitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujarrad.
Ø Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
Ø Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
Ø Alam materi, yaitu alam inderawi.
Selain itu, Ibn Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak bisa dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhamadiyyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ø Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.
Ø Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio).
2. AL-JILLI
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi dari sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh Syarafuddin Ismail bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.
b. Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, Insan Kamil adalah nukhsah atau copy Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
خَلَقَ الَّلهُ اَدَمَ عَلَئ صُرَةِ الرَّحْمَنِ
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk Maharahman”
Hadits lain berbunyi :
خَلَقَ الَّلهُ اَدَمَ عَلَئ صُرَتِهِِ
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai sutu kemestian yang inheren dengan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insan kamil.
Lebih lanjut Al-Jilli berkata bahwa duplikasi Al-Kamal (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia, Al-Kamal dalam konsepnyamungkin dimiliki manusia secara profesional (bi Al-quwwah) dan mungkin pula secara actual (bi Al-fill) seperti yang terdapat dalam diri wali dan Nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Sedangkan menurut Arberry Insan Kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat hulul dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insane kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
Berkaitan dengan insane kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut Al-martabah (jenjang/tingkatan). Martabah-martabah itu adalah :
Ø Islam. Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dupahami dan dirasakan lebih dalam.
Ø Iman. Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakandasar-dasar Islam.
Ø Ash-Shalah. Pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan raja’.
Ø Ihsan. Maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya.
Ø Syahadah. Pada maqam ini, seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus- menerus, dan meninggalkan hal-hal yang jadi keinginan pribadi.
Ø Shiddiqiyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap Dari ilmu Al-Yaqin, ‘ain Al-yaqin, dan haqq Al-yaqin.
Ø Qurbah. Ini merupakan maqam yang memungkunkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan mendekati sifat dan nama Tuhan
3. IBN SAB’IN
a. Biografi Singkat.
Nama lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan Frederick II, penguasa Sisilia. Ia dipanggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin. Terkadang dikenal pula dengan Abu Muhammad. Ia dilahirkan tahun 614 H. (1217-1218 M.) di kawasan Murcia.
Ibn Sab’in meninggalkan karyanya sebanyak 41 buah karya. Dan menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karyanya telah hilang.
b. Ajaran Tasawuf Ibn Sabi’in
Ibn Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlaq. Gagasan essential pahamnya sederhana saja, yaitu wujud satu alias Wujud Allah semata. Paham ini dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Hal ini karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yamh mungkin dalam suatu bentuk.
Dalam pahamnya , Ibn Sab’in menempatkanketuhanan pada tempat pertama. Wujud Allah, menurutnya, adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tanpak justru dirujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan denikian, paham ini menampilkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.
4. IBN MASARRAH
a. Biografi Singkat
Nama lengkap Ibn Masarrah adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Masarrah (269-319 H.). ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filisof dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esetrik madzhab Al-Mariyah. lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Musthafa Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk aliran ittihadiyyah. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu berpaling pada madzhab Neo Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno.
b. Ajaran Tasawuf Ibn Masarrah
Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut :
Ø Jalan menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
Ø Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
Ø Siksa neraka bukanlah bentuk yang hakikat.

Asal-usul Tarekat Sufi Dan Peranannya


ASAL USUL TARIQAT SUFI DAN PERANANNYA

Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.

Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan pelatihan spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).

Arti Tariqa /Tarekat

Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.
Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi. 

Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.

Kanqah

Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang.
Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).
Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.

Peranan

Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir. 

Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.

Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:

1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.
2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.
Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda. Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety). 

Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara. Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah pristirahatan dan pertemuan informal.
Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya.
Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana dan kota dihancurkan mereka pun ikut terbunuh. 

Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para pengikutnya. 

Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu.
Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq (logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.

(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961; (3) Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A History of Sufism in India, 1978. AH WM)

TAREKAT

Jumlah tarekat dalam dunia Islam amat besar. Disini kami hanya dapat menyebut beberapa contoh tarekat dalam beberapa negara dan mencatat beberapa ciri mereka yang khas. Contoh yang terutama dari tarekat "kota" ialah Qadariyah, yang dinamakan menurut Abd al-Qadir al-Jilani (1077-1166). Beliau asal mulanya seorang ahli bahasa dan ahli hukum Hambali. Karena beliau amat digemari sebagai guru di Baghdad, khalayak ramai mendirikan sebuah ribat untuk beliau di luar pintu kota. Tulisannya pada umumnya aliran kuno, dengan kecenderungan mentafsirkan Quran secara mistik. Semangat pemujaan penganutnya kemudian memberikan kepada beliau semua macam mukjizat dan tuntutan bagi tempat yang terutama dalam martabat mistik. Dikatakan bahwa beliau mempunyai empat puluh sembilan anak, diantaranya sebelas putra yang meneruskan karyanya dan dengan murid-murid lain menyebarkan pelajarannya ke lain bagian Asia Barat dan Mesir. Pemimpin tarekat dan pemelihara makamnya di Baghdad masih keturunan langsung Syekh Abd al-Qadir al-Jilani. Pada akhir abad kesembilan belas terdapatlah jumlah besar dari cabang-cabang tarekat ini yang meliputi Maroko hingga Indonesia --yang hanya secara kendur hubungannya dengan lembaga pusat di Baghdad-- yang tiap-tiap tahun tetap menjadi tempat ziarah.

Pada keseluruhannya tarekat Qadariyah merupakan tarekat paling banyak ragam dan progresif, yang tidak jauh pendiriannya dari paham ortodoks; tarekat tersebut unggul dalam kedermawanan, kesalehan, dan kerendahan hati, segan pada kefanatikan dalam bidang agama maupun dalam bidang politik. Tidak besar kemungkinan bahwa pembangunnya menetapkan suatu sistem keras tentang latihan kebaktian. Sebenarnya latihan-latihan itu berbeda dalam masing-masing cabang. Suatu dhikr yang khas ialah seperti berikut, yang harus dibacakan setelah tiap-tiap salat "Kumohon ampun dari Allah Yang Mahakuasa; sekalian pujian bagi Allah; semoga Allah memberkati Sayidina Muhammad, keluarga, dan sahabatnya; tidak ada Tuhan melainkan Allah". Masing-masing kalimat diulangi hingga seratus kali.
Kekenduran hubungan antara cabang-cabang Qadariyah menguntungkan perkembangan ranting-ranting. Beberapa diantara ranting-ranting tadi tumbuh menjadi organisasi yang merdeka. Paling penting di Asia Barat ialah tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh anak saudara al-Jilani bernama Ahmad al-Rifa'i (m. 1182 M.), juga di Irak. Tarekat ini terkenal dengan pandangannya yang lebih fanatik dan latihan-latihan mematikan hawa nafsu yang berlebih-lebihan dan latihan-latihan kemukjizatan yang luar biasa, misalnya makan gelas, berjalan di atas api, bermain dengan ular, yang telah dihubungkan dengan pengaruh pemujaan Syaman yang bersahaja selama pendudukan bangsa Mongul di Irak dalam abad ketiga belas.

Pada waktu St. Louis menyerbu Mesir dalam peperangan Salib yang ketujuh seorang murid Rifa'i bangsa Mesir, Ahmad al-Bedawi (m. 1276 M.) telah memainkan peranan penting yaitu menggerakkan penduduk melawan para penyerbu. Tarekat yang didirikannya dinamakan Bedawiyah atau Ahmadiyah merupakan tarekat pedesaan yang paling populer di Mesir. Nama tarekat itu terkenal buruk karena melampaui batas sebagai warisan kebiasaan Mesir purbakala sampai waktu ini menyertai pasar malam di sekitar makam al-Bedawi di Tantah, dalam daerah Delta. Dua tarekat lain yang populer di Mesir Bawah ialah tarekat Bayyumi dan Dasuqi, kedua-duanya cabang tarekat Bedawiyah.
Di Afrika Barat Laut pergerakan Sufi telah berkembang, menurut garis-garis yang khas dengan hubungan politik yang lebih kuat. Dalam tiga abad yang pertama dari Islam, reaksi bangsa Berber terhadap penjajahan Arab memperoleh bentuk menganut penyelewengan kaum Khawarij atau Syi'ah. Jumlah terbesar dari masyarakat tetap mempertahankan kepercayaan animis mereka yang serba bersahaja, khusus pada kesaktian sihir wali-wali mereka. Keluarga kerajaan bumiputera yang pertama yang kepentingannya melampaui kepentingan setempat, kaum Murabitin (abad kesebelas), mendirikan pergerakan keagamaan sepanjang garis-garis ortodoks, tetapi mereka dalam jangka yang tidak lama dikalahkan oleh keluarga kerajaan Berber baru, kaum al-Muwahidin (abad kedua belas). Dengan perantaraan pemimpin kerohanian al-Mahdi Ibn Tumart pergerakan al-Muwahidin mulai berhubungan dengan pergerakan Sufi. Semangat keagamaan yang kuat mendatangkan pengaruh Islam untuk pertama kalinya pada badan utama bangsa Berber.
Wakil-wakilnya dalam pergerakan tadi kebanyakan orang-orang setempat, acap kali buta huruf, yang ingin menarik perhatian kawan senegaranya pada pokok-pokok keadaban dan mistik Sufi Timur dan mengislamkannya. Sebagian besar diantara mereka buat waktu tertentu telah turut pada seorang wali termasyhur di Spanyol atau Mesir, dan setelah kembali ke desanya mulai menyebarkan beberapa rukun yang sederhana tentang kebaktian beragama dan penyerahan. Paling terkenal adalah Abu Madijan (m. pada akhir abad-kedua belas), itikadnya hanya dimuat dalam suatu sajak: "Katakanlah: Allah, dan tinggalkanlah semua yang berupa kebendaan atau bertalian dengan dia, apabila kamu ingin mencapai al-Haqq!"
Empat abad kemudian, pimpinan Sufi menggerakkan perlawanan terhadap tekanan Spanyol dan Portugis di Marokko. Bangsa Berber tetap tinggal kaum animis; dan ketekunan pada kepercayaan dan kebiasaan lama telah memberikan suatu sifat khas pada Islam Berber yaitu yang dinamakan "Maraboutism" pemujaan wali-wali yang masih hidup yang memiliki kesaktian sihir (barakah). Pergerakan Sufi di negara-negara Berber memancarkan dua sorotan. Pada satu pihak, ia memancar ke negara-negara Negro, sepanjang Niger, (dengan latar belakang yang sama tentang animisme) marabout alufah setempat menggantikan "dukun" dari pemujaan Fetis Negro. Pada pihak lain, pergerakan telah mempengaruhi Islam Timur dengan perantaraan dua tokohnya yang luar biasa.

Seorang diantaranya tidak lain Ibn al-Arabi, rasul dari paham mistik panteis. Asalnya penganut dari aliran Zahiri dengan kehidupan sederhana, ia telah diterima dalam kalangan Sufi oleh Jusuf al-Kumi, murid pribadi Abu Madijan. Juga al-Sjadhili (m. 1258 M.) telah belajar di Fez di bawah seorang murid lain dari guru tunggal. Al-Sjadhili akhirnya menetap di Iskandariah, ia dikerumuni oleh sekalangan murid. Ia tidak memiliki ribat dan tidak mempunyai bentuk tertentu bagi upacaranya. Ia melarang penganutnya meninggalkan pekerjaan dan jabatannya untuk hidup tafakur. Sedikit lebih lama dari suatu keturunan murid-muridnya mendirikan tarekat sebagaimana biasa dilakukan, yang meluas di Afrika Utara hingga masuk ke Arabia. Kota Mocha khusus menunjuk al-Sjadhili sebagai wali pelindung dan menghormatinya sebagai orang pertama yang minum kopi.

Tarekat Syadhiliyah umumnya terlampau berlebih-lebihan dalam upacaranya, dan lebih menggairahkan daripada tarekat Qadariyah, tetapi menarik perhatian khusus karena banyak cabang-cabang yang didirikan langsung dan bergandengan dengan tarekat Qadariyah. Diantaranya yang terkenal adalah tarekat Iswiyah dengan upacaranya yang termasyhur memarang dengan pedang dan tarekat Derqawa yang ortodoks dan sederhana di Maroko dan Aljazair Barat.

TAREKAT DAN PERKEMBANGANNYA

1. Pengertian Tarekat

Asal kata “tarekat” dalam bahasa arab yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.[1]

Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.

Menurut Syekh Amin al-Kurdi tarekat ialah cara mengamalkan syariat dan menghayati inti syariat itu dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan dan inti serta tujuan syariat.

2. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf

Didalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada didalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[2]

Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbimngan seoang guru atau syekh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat adalah tasawuf yang terlah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.

3. Sejarah Timbulnya Tarekat

Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya.

Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain.[3] Tarekat adalah organisai dari pengikut sufi-sufi besar.
Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebbut ribat (disebut juga zawiyah, hangkah atau pekir).

Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustkaan tentang keshalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternatif terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan taswuf khusus (tarekat) sang guru. Mejelang abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas islam.[4]

Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada priode ini mulai timbul beberapa, diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd al-Khaliq al-Ghzudawani (w. 617 H/1220 M), tarekat Naksabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M). Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk, sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu se cara sistematis dan konsepsional. Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam.[5] Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syekhnya yang pertama.

Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.

4. Aliran-aliran Tarekat Dalam Islam

1. Tarekat Qadiriyah

Qadiriyah didirikan oleh Abd Al-Qadir Jailani [470/1077-561/1166] atau quthb al-awiya. Ciri khas dari Tarekat Qadiriyah ini adalah sifatnya yang luwes,tidak sempit sehingga tuan syekh atau Syekh Mursyid yang baru dapat menentukan langkahnya menuju kehadirat Allah SWT guna mendapat keridlaan-Nya. Keluwesan dan kemandirian inilah, yang menyebabkan tarekat ini cepat berkembang di sebagian besar dunia Islam.
Terutama di Turki, Yaman, Mesir, India, Suria, Afrika dan termasuk ke Indonesia.

2. Syadziliyah

Tarekat Syadziliyah didirikan oleh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili [593/1196-656/1258]. Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar Dunia Muslim. Ia diwakili di Afrika Utara teerutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan Darqawiyah serta berkembang pesat di Mesir, tempat 14 cabangnya dikenal secara resmi pada tahun 1985.[6]

3. Tarekat Naqsabandiyah

Tarekat Naqsabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari [w. 1389M] di Turkistan. Tarekat ini mempunyai dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Cirri menonjol Tarekat Naksabandiyah adalah : Pertama, mengikuti syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekati Negara pada agama.

4. Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah

Tarekat Yasafiyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi [w. 562H/1169M] dan disusul tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani [w. 617 H/1220 M]. kedua tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid Al-Bustami [w. 425 H/1034 M] dan dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi [w. 477 H/1084 M].[7] Tarekat Yasafiyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain ke Turki.

5. Tarekat Khalwatiyah

Tarekat ini didirikan oleh Umar Al-Khalatawi [w. 1397 M] dan merupakan salah satu tarekat yang berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Syiria, Mesir, Hijaz, dan Yaman. Di Mesir, tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Gulsheini [w. 940 H/1534 M] yang kemudian terbagi kepada beberapa cabang, antara lain tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad bin Abd Al-Karim As-Samani [1718-1775].

6. Tarekat Syatariyah

Tarekat ini didirikan oleh Abdullah bin Syattar [w. 1485] dari India. Tarekat ini tidak mementingkan shalat lima waktu, tetapi mementingkan shalat permanen [shalat dhaim]. Adapun dasar tarekat ini adalah martabat tujuh yang sebenarnya tidak begitu erat hubungannya dengan praktik ritualnya.[8]

7.
Tarekat Rifa’iyah

Tarekat ini didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’I [1106-1182].
Tarekat sufi Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme. Dari segala praktik kaum Rifa’iyah, dzikir mereka yang khas patut dicatat.

8. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah

Tarekat ini merupakan gabungan dari dua ajaran tarekat, yaitu Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19. Tarekat ini merupakan yang paling berpengaruh dan tersebar secara melua di Jawa saat ini.[9]

9. Tarekat Sammaniyah

Tarekat ini didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Madani Asy-Syafi’I As- Samman [1130-1189/1718-1775]. Hal menarik dari tarekat ini yang menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut dan syathahat yang terucap olehnya tidak bertentangan dengan syariat.

10. Tarekat Tijaniyah

Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani [1150-1230 H/1737-1815 M]. Bentuk amalan tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis,yaitu wirid wajibah dan wirid ikhtiyariyah.

11. Tarekat Chistiyah

Chistiyah adalah salah satu tarekat sufi utama di Asia Selatan. Tarekat ini meyebar ke seluruh kawasan yang kini merupakan wilayah India, Pakista dan Banglades. Namun, tarekat ini hanya terkenal di India. Pendiri tarekat ini di India adalah Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan, yang lebih populer dengan panggilan Mu’in Ad-Din Chisti.

12. Tarekat Mawlawiyah

Nama Mawlawiyah berasal dari kata “mawlana” [guru kami], yaitu gelar yang diberikan murid-muridnya kepada Muhammad Jalal Ad-Din Ar-Rumi [w. 1273]. Oleh karena itu, Rumi adalah pendiri tarekat ini, yang didirikan sekitar 15 tahun terakhir hidup Rumi. Salah satu mursyid sekaligus wakil yang terkenal secara internasional dari tarekat ini adalah Syekh Al-Kabir Helminski yang bermarkas di California, Amerika Serikat.[10]

13. Tarekat Ni’matullahi

Tarekat Ni’matullahi adalah suatu mazhab sufi Persia yang segera setelah berdirinya dan mulai berjaya pada abad ke-8-14 mengalihkan loyalitasnya kepada Syi’I Islam. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ni’matullahi Wal. Tarekat ini secara khusus menekankan pengabdian dalam pondok sufi itu sendiri.

14. Tarekat Sanusiyah

Tarekat ini didirikan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi. Dalam tarekat ini, dzikir bisa dilakukan bersama-sama atau sendirian. Tujuan dzikir itu lebih dimaksudkan untuk “melihat Nabi” ketimbang “melihat Tuhan”, sehingga tidak dikenal “keadaan ekstatis”’ sebagaimana yang ada pada tarekat lain.

Di samping tarekat-tarekat diatas, ada pula tarekat lokal yang didirikan di Indonesia diantaranya : [11]

1. Tarekat Akmaliyah [Hakmiyah]

Didirikan oleh Kyai Nurhakim. Ia dikenal sebagai dukun dan tukang jimat.

2. Tarekat Shiddiqiyah

Didirikan oleh Kyai Mukhtar Mukti di Losari Plodo [Jombang] pada tahun 1958. Ia dikenal sebagai dukun yang sakti sehingga banyak pengikutnya dari kalangan penderita penyakit kronis dan bekas pecandu minuman.

3. Tarekat Wahidiyah

Didirikan oleh Kyai Majid Ma’ruf dari Kedunglo[Kediri] pada tahun 1963.

Tarekat-tarekat yang ajaran-ajarannya sesuai dengan doktrin Islam [Al-Qur’an dan AsSunnah] dikelompokkan ke dalam tarekat yang muktabarah. Sebaliknya, tarekat-tarekat yang ajaran-ajarannya bertentangan dengan doktrin Islam dikelompokkan ke dalam tarekat ghair muktabarah. Menurut Syekh Jalaluddin sebagaimana dikutip ole Aboe Bakar Atjeh, ada 41 jenis tarekat yang masuk ke dalam tarekat muktabarah, diantaranya Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Qubrawiyah, Suhrawardiyah, Khalwatiyah, Alawiyah, Syatariyah, Aidrusiyah, Sammaniyah, dan Sanusiyah. Di luar yang 41 macam tersebut dipandang sebagai tarekat ghair muktabarah yang tidak diakui kebenarannya seperti tarekat Akmaliyah, Siddiqiyah, dan Wahidiyah.

Walaupun bermacam-macam, ternyatatarekat-tarekat yang beragam itu memiliki kesamaan tertentu. Dalam kaitan ini, Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem hidup bersih dan bersahaja [zuhd] adalah dasar semua tarekat yang berbeda-beda itu. Semua pengikut dididik dalam disipin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut walupun beragam namanya dan metodenya ada cirri yang menyamakannya.

Dari sisem dan metode tersebut, Nicholson menyimpulkan bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan solidaritas social. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridai Allah, dengan jalan pengamalan syariat dan penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk mencapai makrifat. Apa yang dimaksud dengan makrifat dalam tema mereka adalah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tauhid, yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.


KESIMPULAN

Tarekat adalah perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.

Tarekat-tarekat dalam Islam :

1. Tarekat Qadiriyah
2. Tarekat Syadziliyah
3. Tarekat Naqsabandiyah
4. Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
5. Tarekat Khalwatiyah
6. Tarekat Syatariyah
7. Tarekat Rifa’iyah
8. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
9. Tarekat Sammaniyah
10. Tarekat Tijaniyah
11. Tarekat Chistiyah
12. Tarekat Mawlawiyah
13. Tarekat Ni’matullahi
14. Tarekat Sanusiyah


[1] Luis Makluf, al-Mujid fi al-Lughat wa al-A’lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1986, hlm. 465

[2] Proyek Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 273

[3] Ibid

[4] Jhon O. Voll, “Tarekat-Tarekat Sufi ”., hlm. 215

[5] Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Saran Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986, hlm. 24

[6] Moh. Ardani, “ Tarekat Syadziliyah : Terkenal dengan Variasi Hizb-nya “, dalam Sri Mulyati (et.al ), Tarekat-Tarekat…., hlm.57.

[7] Trimingham, The Sufi Orders…, hlm. 58-64; Wiwi Siti Sajaroh, “Tarekat Naqsabandiyah: Menjalani Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa’, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford…, hlm.91.

Etika Moral, Norma, Nilai


Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama rnakhluk.
Rasulullah saw bersabda: " Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling baik akhlaknya".
Pada makalah ini kami akan memaparkan pengertian akhlak, norma, etika, moral dan nilai.

A. AKHLAK
Ada   dua   pendekatan   untuk   mendefenisikan   akhlak,   yaitu   pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak   berasal dari bahasa arab yakni  khuluqun    yang menurut loghat diartikan:   budi  pekerti, perangai,   tingkah   laku   atau   tabiat.   Kalimat   tersebut   mengandung   segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.

Secara terminologi kata "budi pekerti" yang terdiri dari kata budi dan pekerti. Budi adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio atau character. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh hati, yang disebut behavior. Jadi budi pekerti adalah merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang termanifestasikan pada karsa dan tingkah laku manusia.

Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari
Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.

Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.

Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.

Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara

Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

Disini kita harus bisa membedakan antara ilmu akhlak dangan akhlak itu sendiri. Ilmu akhlak adalah ilmunya yang hanya bersifat teoritis, sedangkan akhlak lebih kepada yang bersifat praktis.

B.  ETIKA
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan ata adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).

Selain akhlak kita juga lazim menggunakan istilah etika. Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni ethos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan yang dimaksud kebiasaan adalah kegiatan yang selalu dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan seperti merokok yang menjadi kebiasaan bagi pecandu rokok. Sedangkan etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika membahasa tentang tingkah laku manusia.

Ada orang berpendapat bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada karena kedua-duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.

Apabila kita menlusuri lebih mendalam, maka kita dapat menemukan secara jelas persamaan dan perbedaan etika dan akhlak. Persamaan diantara keduanya adalah terletak pada objek yang akan dikaji, dimana kedua-duanya sama-sama membahas tentang baik buruknya tingkah laku dan perbuatan manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma, dimana akhlak mempunyai basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber dari hadist dan al Quran.

Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbutaan yang dilakukan oleh manusia.

Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutla, absolut dan tidak pula universal.

Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina dsb. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-rubah sesuai tuntutan zaman.

Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

C. MORAL
Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.

Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.

Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.

Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.

D. NORMA

Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.

Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam.
Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret

Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh.
Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis

E.  NILAI
Dalam membahas nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik serta tujuan yang memiliki nilai. Pembahasan mengenai nilai ini sangat berkaitan dangan pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai dalam filsafat moral sangat bermuatan normatif dan metafisika.

Penganut islam tidak akan terjamin dari ancaman kehancuran akhlak yang menimapa umat, kecuali apabila kita memiliki konsep nilai-nilai yang konkret yang telah disepakati islam, yaitu nilai-nilai absolut yang tegak berdiri diatas asas yang kokoh. Nilai absolut adalah tersebut adalah kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat secara individual dan sosial.

DAFTAR PUSTAKA
•    Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
•    Sinaga, Hasanudin dan Zaharuddin, Pengatar Studi Akhlak, Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004
•    Yaqub, Hamzah. Etika Islam. Bandung : CV Diponegoro, 1988
(artikel ini disadur dari persentasi pada mata kuliah akhlak tasawuf)