Minggu, 17 Juni 2012

TASAWUF

Meneropong Wajah Tasawuf Dalam Muhammadiyah Oleh: Masyitoh Chusnan (Sumber : http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=185; Date : 16/02/2009) Artikel ini merupakan iftitah buku yang akan segera terbit dengan judul Permata Tasawuf Muhammadiyah, Meneladani Spiritual Leadership AR. Fakhruddin Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan sosial keagamaan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian dengan tanggal 18 Nopember 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain, dipengaruhi oleh gerakan tajdîd (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arab Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyîd Ridhâ (1865-1935) di Mesir, dan lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut memiliki corak pemikiran yang khas, berbeda satu dengan yang lain. Jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya modern dan menempuh jalur pendidikan, dan karena itu, gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Sementara itu, Rasyîd Ridhâ menekankan pentingnya keterikatan pada teks-teks al-Qurân dalam kerangka pemahaman Islam, yang dikenal dengan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah). Oleh karena itu, gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yang kelak menjadi akar fundamentalisme (al-ushûliyyah) di Timur Tengah (Syafiq A. Mughni, 1998). Dari telaah biografi KH. Ahmad Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan dan sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tokoh di atas yang kemudian dipadukan dan dikontekstualisasikan dengan setting sosial dan budaya Jawa, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika itu, masyarakat Indonesia berada dalam kondisi terjajah, terbelakang, mundur, miskin, dan keberagamaan sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat). Sebagai gerakan tajdîd (pembaruan), dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang mengembangkan semangat tajdîd dan ijtihâd (mendayagunakan nalar rasional dalam memecahkan dan mengambil kesimpulan berbagai masalah hukum dan lainnya yang tidak ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-sunnah), serta menjauhi sikap taklid (mengikuti ajaran agama secara membabi buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sehingga di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan juga dikenal sebagai gerakan tajdîd. Istilah tajdîd pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Dalam konteks ini, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah, tajdîd mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’ân dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996). Pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam berislam sungguh sangat penting digelorakan dewasa ini, mengingat penetrasi dan akulturasi budaya Barat yang sekuler dan rendahnya kualitas sebagian besar umat Islam masih menghantui kehidupan umat Islam Indonesia. Tajdîd secara harfiah memang mempunyai arti pembaruan. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, dituntut untuk selalu mampu membuat langkah-langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Dengan kata lain, Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual. Al-Qurân dan al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Muhammadiyah, memang harus terus menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan demikian Amien Rais, sang lokomotif reformasi Indonesia. Di samping itu, Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995). Sementara itu, ketika bicara tentang tajdîd masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan (Amien Rais, 1995). Kelima spektrum tajdîd memang sangat relevan dengan tuntutan masa kini; mengingat dewasa ini fenomena jahiliyah modern juga bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan-ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia) terutama anak-anak dan perempuan, dan sebagainya. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air. Wilayah ijtihâd dan tajdîd Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkrit dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respons yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya. Bagi KH Ahmad Dahlan yang aktivis Budi Utomo itu, setiap warga harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial sebagai seorang guru dan murid sekaligus. Etos guru-murid adalah inti kekuatan ijtihâd dan juga inti kekuatan gerakan sosial KHA. Dahlan dalam usahanya mencairkan kebekuan ritual, sehingga mempunyai fungsi pragmatis sebagai pemecahan problem sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan dan pendidikan yang cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh warga, laki-laki dan perempuan, digerakkan untuk bekerja sebagai guru sekaligus murid di dalam banyak bidang sosial dan kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’ûn sebagai dasar kelahiran lembaga panti asuhan mencerminkan ide dasar metodologi pragmatis etos guru-murid dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an (Abdul Munir Mulkhan, 2003). Nafas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, sesungguhnya terletak dalam pergumulannya dengan persoalan historisitas keberagamaan manusia. Untuk membangkitkan dan menyegarkan kembali gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah dalam konteks pembangunan umat, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara mencermati kembali makna normativitas teks-teks (nash-nash) al-Qurân dan al-Sunnah secara lebih kontekstual, dengan cara mengkaitkan dan mempertautkannya secara langsung atau kontekstualisasi dengan persoalan-persoalan sosial-historis keberagamaan Islam kontemporer secara aktual (M. Amin Abdullah, dalam “Muhammadiyah dan Pemikiran Keagamaan”). Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya. Dalam konteks purifikasi, al-Qurân dan al-Sunnah al-shahîhah (yang valid) secara tekstual normatif merupakan paradigma utama dalam komitmen aqidah maupun pelaksanaan ibadah mahdhah. Dari paradigma tekstual normatif ini melahirkan doktrin segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah (al-Qurân dan al-Sunnah). Sedangkan dalam konteks rasionalisasi, al-Qurân dan al-Sunnah al-shahîhah juga tetap menjadi rujukan pokok, namun dalam keyakinan dan pengamalan bidang muamalah duniawiyah ini berlaku kaidah ushul: al-ashl fi al-asyyâ’ al-ibâhah (semua urusan muamalah duniawiyah boleh dikerjakan) selama tidak ada larangan atau tidak bertentangan dengan al-Qurân dan al-Sunnah. Sebagai sebuah gerakan (harakah), tentu banyak faktor yang melatarbelakangi kelahirannya. Berbagai pakar dan penulis mengemukakan teori dan alasan untuk menunjang teori mereka. Setiap temuan, masing-masing telah diperkaya dan diperkuat oleh berbagai faktor yang mereka yakini kebenarannya. Di antara nama tersebut misalnya A. Mukti Ali (The Muhammadiyah Movement, 1985), mantan Menteri Agama, yang menyebutkan paling tidak ada empat faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, kegiatan para misionaris Kristen, dan sikap masa bodoh dan bahkan anti agama dari kalangan intelegensia (Mukti Ali, 1985). Sementara itu, Alwi Shihab dalam bukunya, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab, 1998), lebih menekankan faktor penetrasi Kristen yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, di samping sejumlah faktor lain yang sangat kompleks, dan faktor terpentingnya masih tetap diperdebatkan. Dalam perdebatan tersebut menurut Alwi, muncul dua pandangan utama yang pada umumnya diterima. Pandangan pertama, mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respons terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Meskipun kedua faktor di atas memainkan peran sangat penting, namun terdapat faktor lain yang sama pentingnya yang terabaikan dari pertimbangan analitis para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negeri ini serta pengaruh besar yang ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana Indonesia faktor ini dipandang tidak penting, namun harus diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini pada tahun 1912. Dari pendapat yang dikemukakan baik oleh Mukti Ali maupun Alwi Shihab tampaknya, faktor yang paling dominan yang menyebabkan Muhammadiyah lahir adalah faktor kehidupan beragama yang tidak murni, pendidikan agama yang tidak efisien, dan kegiatan para misionaris Kristen yang melakukan kristenisasi terhadap kalangan Muslim tertentu, seperti: kaum fakir-miskin dan kalangan Islam abangan. Kelompok inilah yang mudah menjadi sasaran garap kaum missionaris, karena mereka adalah kaum yang lemah secara ekonomi maupun secara akidah. Sementara itu, menyoroti tentang persyarikatan Muhammadiyah ini, berbagai pandangan dan pendapat telah dilontarkan kepada organisasi ini, baik dari kalangan luar maupun dari kalangan dalam. Kritik internal yang diarahkan kepada persyarikatan akhir-akhir ini misalnya, ia terkesan kering dan tidak lagi sevokal dan seagresif dahulu dalam menyerukan ide-ide pembaruan pemahaman keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan realitas historis masyarakat Muslim yang hidup di tengah-tengah era modernitas. Kritik ini tentu saja bersifat membangun (konstruktif). Para aktivis dan penerus gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah ini dikesankan “terjebak” dalam rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi keagamaan. Jika kritik ini benar, memang agak ironis: mengapa organisasi yang dahulunya bebas dan leluasa bergerak, akhirnya harus terjebak dalam liku-liku (mekanisme) birokrasi organisasi yang diciptakannya sendiri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh persyarikatan. Kritik ini tentu harus diresponi secara positif agar organisasi ini tidak mau dikatakan mandeg (stagnan). Elan vital pembaruan (tajdîd) harus tetap menjadi “watak dasar” Muhammadiyah. Sebagai sebuah organisasi pembaruan keagamaan, Muhammadiyah memang berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran kaum Muslimin adalah perbaikan pendidikan. Oleh karena itulah, sesungguhnya sejak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah (Alwi Shihab, 1998). Gerakan Muhammadiyah juga sejak awal dikenal luas sebagai gerakan sosial keagamaan yang didirikan untuk mengadaptasikan Islam dengan situasi modern Indonesia, karena gerakan ini menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yang peduli dan konsen (care and concern) terhadap kemajuan Islam dan umat Islam, dan menyebabkan kebangkitan kembali kaum Muslimin di Indonesia. Pengamat lain menegaskan bahwa organisasi ini merupakan sebuah gerakan dakwah dengan lingkup kegiatan yang mencakup semua aspek kehidupan sosial: agama, pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Barangkali lebih pantaslah kalau Muhammadiyah ini dikatakan, sebagaimana pendapat Alwi Shihab, bahwa gerakan Muhammadiyah masuk ke dalam kombinasi berbagai penamaan dan penyifatan, sejalan dengan sasaran dan tujuannya yang beragam, yang telah mengalami banyak perubahan dalam upayanya untuk terus memberikan respons terhadap kebutuhan zaman. Organisasi ini tidak membatasi diri kepada dakwah semata dalam pengertian yang sempit, tetapi mengambil peran dalam semua aspek perkembangan masyarakat, bergantung kepada atmosfir yang sedang berlangsung (Alwi Shihab, 1998). Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan bahwa Muhammadiyah paling tidak memiliki peran dalam tiga dataran: “sebagai gerakan pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik (Kahin, h.87-88). Ketiga atribut yang disematkan kepada Muhammadiyah tersebut memang merupakan keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis terhadap status quo, sehingga eksistensinya juga sekaligus membawa transformasi sosial, terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam. Seiring dengan kekuatan yang semakin diperhitungkan, terutama di kalangan menengah perkotaan, keberadaan Muhammadiyah juga patut diperhitungkan secara politik, meskipun khiththah (garis dan orientasi perjuangan) organisasi ini tidak berpolitik praktis. Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional dalam beragama (meskipun akhir-akhir ini tidak sevokal dan seagresif dahulu) dan menekankan pentingnya peranan akal serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Keharusan hidup untuk mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber dari ajaran agama dan berkehendak menaati seluruh perintah Allah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. serta “menyifatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah”, merupakan ciri dan perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun perilaku seperti itu pada zaman Rasul tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) Sufi pada saat itu belum ada. Istilah ini baru muncul pada akhir abad dua atau awal abad tiga hijriyah (Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn Taimiyah (661-728 H) menyatakan bahwa ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada saat itu disebut kaum Salaf, yang kemudian disebut dengan “Shufiyah wa al-Fuqarâ” (Ibn. Taimiyah dan Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Perilaku dan kehidupan spiritual sejumlah pemimpin Muhammadiyah, dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemberantasan bid’ah, syirik dan khurafat serta desakralisasi praktik beragama, seperti praktik beragama (baca: bertasawuf) model Ibn Taimiyah. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini (sufi) adalah mereka yang sungguh-sungguh mentaati Allah. Di antara mereka ada yang lebih utama karena kesungguhannya dalam ketaatannya pada Allah dan adapula yang masih dalam tahap penyempurnaan, mereka disebut dengan Ahl al-Yamîn (Ibn Taimiyah, 1986). Sementara itu, Imam al-Ghazzâlî (1058-1111 M) memberikan makna tasawuf dengan: “Ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik kepada sesama manusia”. Setiap orang yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulan dengan sesama manusia menurut al-Ghazzâlî disebut sufi (Al-Ghazzali, 1988). Sedangkan ketulusan kepada Allah Swt. berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) untuk melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yang baik dengan sesama manusia tidaklah mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain, selama kepentingan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at atau dia mengingkarinya, menurut al-Ghazzâlî, dia bukanlah sufi. Jadi, sufi adalah orang yang menempuh jalan hidup dengan menjalankan syariat secara benar dan sekaligus mengambil spiritualitas (hakikat) dari ajaran syariat dalam bentuk penyucian dan pendekatan diri secara terus-menerus kepada Allah Swt. Perilaku ketaatan terhadap syariat itu kemudian diwujudkan dalam perilaku yang penuh moralitas (akhlak mulia) dalam kehidupan sehari-hari (tasawuf akhlaqi). Apabila pengertian tasawuf mengacu pada pencanderaan seperti yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah maupun al-Ghazzâlî seperti yang disebutkan di atas, maka di dalam Muhammadiyahpun akan muncul wajah-wajah tasawuf, yakni mereka yang ketaatan serta kehidupan spiritualitasnya cukup intens. Tidaklah mengherankan bila disimak dengan seksama penuturan salah seorang murid K.H.A. Dahlan, yaitu K.R.H. Hadjid, bahwa di antara referensi pendiri Muhammadiyah adalah kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ‘Abduh dan termasuk juga karya al-Ghazzâlî. Kitab-kitab tasawuf seperti Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah, Kimiyah al-Sa’âdah, Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn dan sebagainya menjadi bacaan KHA. Dahlan (Kiyai Hadjid, 1968), sehingga keakraban kehidupan spiritual yang dekat dengan wilayah tasawuf juga mewarnai kepribadian pendiri gerakan pembaruan dalam Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, cukup intens dalam kehidupan wilayah ini (baca: bertasawuf). Dia menekankan pentingnya akhlak luhur dan kesederhanaan dalam hidup. Ia prihatin terhadap krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam), tetapi perilakunya tidak Islami. Terhadap krisis ini, Ki Bagus menulis tentang akhlak dalam bukunya “Pustaka Ihsan“ yang mengemukakan tentang istiqâmah, tawakkul, muhâsabah, ‘adl, shidq, tawâdhu’, ikhlâs, amânah, shabr serta qanâ’ah (Farid Ma’ruf, 1990). Sementara itu, figur A.R. Fakhruddin juga pantas masuk dalam kategori sebagai sosok sufi dalam Muhammadiyah. Karena menurut hemat penulis, ia dapat mewakili wajah kehidupan spiritual dalam Muhammadiyah, karena beberapa alasan. Pertama, praktek hidup pribadi A.R. Fakhruddin mencerminkan perilaku kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam kehidupannya sehari-hari, baik ketika bertugas, di lingkungan rumah tangganya, di masyarakat maupun di kalangan organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya, ia senantiasa mencerminkan pribadi mutasawwif dan watak tasawuf yang akhlaqi, mementingkan pembinaan dan pengamalan perilaku yang menunjukkan akhlak mulia. Kehidupannya mencerminkan hidup dan kehidupan yang sederhana, asketik dan tidak ngoyo (zâhid). Ia senantiasa menekankan pada perilaku akhlak terpuji. Dalam salah satu ceramah A.R. Fakhruddin, Nakamura pernah mengutip inti ceramahnya sebagai berikut (Mitsuo Nakamura, 1983) : “Bahwa kita dapat berdoa lima kali sehari dengan teratur, namun jika akhlak kita tetap buruk, tetap rakus, kikir, tidak mau memperhatikan yang miskin dan susah, maka do’a kita tidak akan diterima oleh Allah, tidak akan masuk surga, namun bahkan masuk neraka. Kita dapat menyelesaikan puasa, namun jika kita tetap membicarakan keburukan orang lain, berdusta, menipu, sombong, maka puasa kita tidak berguna dan tidak diakui oleh Allah, marilah kita berdo’a, berpuasa, berhaji, membayar zakat, dan di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak kita”. Selanjutnya A.R. Fakhruddin menambahkan: “Bahwa jalan yang paling pasti untuk membentuk akhlak yang mulia adalah melakukan ibadat, dengan kesadaran penuh kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran adalah hasrat seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi, kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain. Bahwa shalat-shalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yang sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, dan boleh diperaktikkan bilamana hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam beribadah maupun dalam bermu’amalah”. Dalam tindakan dan perbuatannya, A.R. Fakhruddin dapat dicandera lebih mencerminkan pribadi “amal”, figur yang menekankan pada perbuatan nyata, aksis sosial kemanusiaan. Baginya yang penting adalah bagaimana Islam benar-benar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepuasannya yang mendalam adalah bilamana umat Islam sungguh-sungguh dapat mencerminkan dirinya sebagai muslim yang baik, Muslim dalam keyakinan, dalam ucapan maupun dalam tindakannya. Di antara watak muslim “amal” ini agaknya lebih dekat kepada wilayah tasawuf, dibandingkan Muslim “intelektual” yang mungkin lebih dekat kepada wilayah kalam atau filsafat. Kedua, karya-karya tulisnya, jelas memang diungkapkan dengan narasi yang berbeda dengan karya al-Ghazzâlî maupun Ibn Taimiyah, namun substansinya senafas dengan karya-karya tasawuf al-Ghazzâlî, misalnya tentang Adab-Adab dalam Beragama, tentang al-Qawâid al-‘Asyrah, Tindak Kepatuhan, Menghindar dari Dosa, baik dosa-dosa tubuh maupun dosa-dosa jiwa yang berhubungan dengan Allah Swt. dan manusia, tentang tauhid, iman, penyucian diri dari noda, dosa, maksiat, dan lain sebagainya. Gaya penulisannya sederhana, namun menarik dan enak dibaca. Sepintas, karena kesederhanaannya, terkesan seolah-olah kurang dilandasi teori-teori yang dapat mencerminkan sebagai tokoh pergerakan modernisme dalam Islam. Padahal, justru di situlah letak kekuatannya. Sebab, apa yang dikemukakan dan ditulisnya merupakan manifestasi dari kedalaman dan pengamalan Islam yang diyakininya serta bertolak dari kejujuran dan ketulusan pribadinya, pengalaman keseharian dan problem-problem aktual keagamaan dan kemasyarakatan yang ditemuinya. Dengan karya-karyanya dalam bentuk tadzkirah (peringatan/pelajaran moral) dan anekdotis, di sana dapat dibaca bahwa sifat-sifat dan pribadinya sendiri adalah karya-karya tulisnya itu. Ketiga, A.R. Fakhruddin adalah pimpinan puncak di Muhammadiyah (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) terlama sepanjang sejarah perkembangannya, yaitu selama 22 tahun (1968–1990), sementara pendiri Muhammadiyah sendiri yakni K.H.A. Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun (1912–1923). Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, cukup lama A.R. Fakhruddin menjadi pimpinan di daerah dan tingkat wilayah, dan selama 30 tahun diberi tugas oleh pengurus besar Muhammadiyah untuk menggerakkan dakwah di pelosok Sumatera Bagian Selatan. Dengan demikian, A.R. Fakhruddin memiliki kesempatan yang cukup untuk memberi corak kehidupan yang bernuansa tasawuf dalam kepemimpinan dan kehidupan gerakan Muhammadiyah. Selama periode tersebut, melalui kepemimpinannya di tingkat nasional, berbagai kegiatan dan pertemuan, baik di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang maupun di tingkat ranting dapat dilakukan secara intensif dan cukup padat. Bahkan ia seringkali mengisi halaqah-halaqah (pengajian-pengajian dalam forum-forum terbatas) di lingkungan keluarga besar Muhammadiyah, seperti jamaah wanita, ‘Aisyiyah, Nasyi’atul 'Aisyiyah, remaja, kaum terpelajar, guru-guru dan dalam berbagai komunitas lainnya. A.R. Fakhruddin adalah simbol dan lambang kepemimpinan Muhammadiyah, menjadi tipe pengembangan kepribadian Muhammadiyah dan tokoh sentral yang lengser dari puncak piramida persyarikatan secara ikhlas dan legowo. Ia telah bertiwikrama menjadi trade mark organisasi Islam yang paling rapih di Indonesia. Semua itu, secara langsung ataupun tidak, dapat memberi pengaruh dalam kehidupan persyarikatan. Didukung pula oleh hampir semua karya tulisnya yang lebih banyak ditujukan kepada pembaca keluarga persyarikatan, seperti: Pedoman Muballigh Muhammadiyah, Pedoman Anggota Muhammadiyah, Muhammadiyah Abad ke XV H, Kepribadian Muhammadiyah, Pemimpin Muhammadiyah dan beberapa karya lain dalam bentuk tanya jawab, artikel di majalah Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiyah, serta makalah-makalah yang disampaikan pada halaqah-halaqah, penataran, seminar baik untuk anggota, pengurus, maupun kader-kader Muhammadiyah, seluruhnya cukup efektif dalam kurun yang demikian relatif panjang dalam memberikan sentuhan tasawuf dari pancaran pribadinya dalam jiwa dan amalan anggota Muhammadiyah. Tema-tema majelis halaqah, tabligh, pengajian, kuliah, khotbah, ataupun tulisan-tulisan yang tersebar dalam brosur dan majalah-majalah intern persyarikatan Muhammadiyah, memang tidak mengangkat tema yang secara eksplisit tentang tasawuf, seperti tokoh lain dalam Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA, namun sarat dengan pelajaran akhlaq yang dekat dengan wilayah tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi. Sementara karya-karya HAMKA di bidang Tasawuf, lebih bersifat universal dan ditujukan untuk khalayak pembaca yang beragam. Karya-karyanya antara lain : Tasawuf Modern; Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi dan Falsafah Budi. Tanpa menyebut kata tasawuf sebenarnya ia telah mempraktekkan dan menyebarkan ajaran akhlak tasawuf secara inklusif. Waktu yang dimiliki selama menjadi tokoh puncak Muhammadiyah, memberi peluang yang cukup luas untuk mensosialisasikan pikiran/ renungan dan seruan-seruannya baik dalam perilaku organisasi maupun praktik pribadi dalam mengamalkan ajaran Islam yang bernuansa tasawuf. Jiwa dan pribadinya merentang cermin pribadi “sufi” dalam hal taubat, taqwâ, wara, zuhd, rajâ, khauf, khusyu’, tawâdhu’, qanâ’ah, tawakkul, syukr, shabr, ridhâ, istiqâmah, ikhlâs, dan beberapa tahapan lain penempuh jalan sufi seperti pencanderaan Imam al-Qusyairî al-Naisaburî di dalam Risâlah al-Qusyairiyah (Al-Qusyairi, t.t). Menurut hemat penulis, kehidupan spiritual A.R. Fakhruddin dapat digolongkan dalam pribadi yang hidup berdasarkan pencerahan dan memiliki karakter tasawuf (tasawuf akhlaqi), serta menjadi salah satu tokoh puncak dan panutan di dalam komunitas persyarikatan Muhammadiyah yang menghayati dan “berjiwa sufi”. Namun, asumsi sementara di atas perlu dibuktikan, apakah benar kehidupan spiritual AR. Fakhruddin itu memang memiliki karakter tasawuf yang dekat dengan dunia Sufi. Lalu, cukup tepatkah pernyataan ini ditujukan kepada AR. Fakhruddin. Bukankah karya-karya tulisnya juga tidak spesifik menulis tentang tasawuf, meskipun sarat dengan dimensi dan pelajaran akhlak. Dalam berislam dan bermuhammadiyah, memang sangat diperlukan adanya rujukan moral dan keteladanan spiritual yang dapat membina jati diri muslim melalui akhlak tasawuf, karena kita berkeyakinan bahwa kehidupan yang Islami dapat terwujud lewat perilaku dan kehidupan spiritual yang luhur, mulia, dan sarat dengan amal shalih. Ke depan, menurut penulis, Muhammadiyah dan bangsa ini memerlukan figur pemimpin yang dapat diteladani integritas pribadi, kedalaman spiritualitas, dan kecanggihan berpikirnya. Spiritual leadership meminjam istilah Tobroni barangkali merupakan salah satu warisan kepemimpinan AR. Fakhruddin dalam menahkodai dan membesarkan Muhammadiyah. Dengan gaya dan model kepemimpinan spiritual dan sufistik inilah, jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dapat menyentuh berbagai lapisan masyarakat. AR. Fakhruddin tidak hanya memimpin dan berdakwah, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan umat dengan kecerdasan emosi, kedalaman spiritualitas (the corporate mystics), dan keluhuran moralnya yang tercermin dalam kepemimpinan spiritual dimaksud (Tobroni, 2005). Umat dan bangsa dewasa ini memang sangat memerlukan figur-figur pemimpin yang dapat diteladani dari segi pemihakannya terhadap kejujuran, kebenaran, dan integritas moralnya. Akhirnya, sebagai refleksi bersama: bukankah yang kelak dinilai Allah Swt. di akhirat adalah amal bakti, prestasi kinerja nyata kita? Muslim yang baik adalah Muslim yang selalu bersikap rendah hati untuk mau belajar dan membelajarkan diri sendiri menuju kualitas hidup yang lebih baik. Mudah-mudahan, pembaca dan kita semua dapat belajar “Islam amalî” dan “amal Islami” serta mengambil pelajaran moral dan spiritual dari tokoh-tokoh puncak pimpinan Muhammadiyah khususnya tokoh kita yang satu ini, K.H. AR. Fakhuruddin (Allah yarham).

Kata Mutiara Al Ghazali

Kata Mutiara Al Ghazali • Barangsiapa yang memilih harta dan anak – anaknya daripada apa yang ada di sisi Allah, nescaya ia rugi dan tertipu dengan kerugian yang amat besar. • Barangsiapa yang menghabiskan waktu berjam – jam lamanya untuk mengumpulkan harta kerana takutkan miskin, maka dialah sebenarnya orang yang miskin. • Barangsiapa yang meyombongkan diri kepada salah seorang daripada hamba – hamba Allah, sesungguhnya ia telah bertengkar dengan Allah pada haknya. • Berani adalah sifat mulia kerana berada diantara pengecut dan membuta tuli. • Pemurah itu juga suatu kemuliaan kerana berada diantara bakhil dan boros. • Bersungguh – sungguhlah Engkau dalam menuntut ilmu, jauhilah kemalasan dan kebosanan kerana jika tidak demikian engkau akan berada dalam bahaya kesesatan. • Cinta adalah merupakan sumber kebahagiaan dan cinta terhadap Allah mesti di pelihara dan di pupuk, suburkan dengan solat serta ibadah yang lainnya. • Ciri yang membedakan manusia dan hewan adalah ilmu. Manusia adalah manusia mulia yang mana ia menjadi mulia karena ilmu, tanpa ilmu mustahil ada kekuatan. • Hadapi kawan atau musuhmu itu dengan wajah yang menunjukkan kegembiraan, kerelaan penuh kesopanan dan ketenangan. Jangan nampakkan sikap angkuh dan sombong. • Ilmu itu kehidupan hati daripada kebutaan, sinar penglihatan daripada kezaliman dan tenaga badan daripada kelemahan. sumber : wikipedia dan berbagai sumber

KONSEP TASAWUF . JALAN MENUJU ALLAH

JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF 1. Tujuan Hidup dan Tugas Manusia serta Permusuhan Syaithan Tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta sebagaimana difirmankan Allah dalam Al- Qur'an Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang berbunyi "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" dan Surat Al-Baqarah ayat 21 yang mengatakan "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa". Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang baik) dengan semata mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala yang diperintahkan olehNya dan meninggalkan segala yang dilarang olehNya. Selain itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Tugas kekhalifahan ini terpatri dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'..." Kepemimpinan itu dimulai dengan memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan kemudian berkembang ke memimpin lingkungan yang lebih luas. Kepercayaan Allah terhadap manusia ini diprotes oleh baik malaikat maupun iblis, dengan alasan yang berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia suka saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes karena merasa dirinya yang dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang dibuat dari tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti perintah Allah dan mengakui kekhalifahan manusia, tetapi iblis tetap membangkang. Hal ini terlihat dari dialog antara Allah dengan malaikat dan iblis yang terdapat dalam Al-Qur'an. "...... Mereka (malaikat) berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30). "Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kamu semua kepada Adam', lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?'". (Q.S. Al- Israa': 61). Sedangkan syaithanpun tetap bersikukuh untuk ingkar terhadap perintah Allah ini meskipun diancam dengan Neraka Jahannam. Akan tetapi syaithan minta 'privilege' kepada Allah SWT untuk dapat hidup terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia mengikuti jalan sesatnya. Allah mengijinkan permintaan ini. Peristiwa ini diceritakan dalam Al-Qur'an Surat Al- Israa' ayat:62-65: "Dia (iblis) berkata: 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar- benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil'." "Tuhan berfirman: 'pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup." "Dan hasunglah (bawalah) siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh Syaithan kepada mereka melainkan tipuan belaka." "Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga". Maka syaithanpun bersumpah akan menyesatkan manusia dengan cara apapun dan dari jalan manapun. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran Surat An-Nisaa'ayat 118-119 yang berbunyi: "... dan syaithan itu mengatakan: 'Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan saya akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan- angan kosong mereka, ..." dan Surat Al-A'raaf ayat 16-17 yang berbunyi: "Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta'at)." 2. Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb) Hati merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan akal, yang menggerakkan seluruh anggota badan. Hati pulalah yang menghubungkan manusia dengan Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Az-Zumar 17-18: "Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan tetapi melihat kepada bathinmu." Rasulullah SAW bersabda: "Bahwa dalam badan anak Adam itu ada segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, baiklah seluruh badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak, rusaklah seluruh badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah hati." Peranan hati itu demikian penting karena didalamnya Allah Ta'ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah (Kelembutan), Ar- Rabbaniyah (Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian). Dengan Nur itulah manusia dapat memperoleh ma'rifat. Apabila manusia menyelam ke dalam dirinya dan terus menerus kembali kepada hatinya, terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut "Ilmu Laduniah". Al-Bazari berkata: "Dalam hati itu terdapat sifat 'Al- Latifah', 'Ar-Rabbaniyah', dan 'Ar-Rohaniyah' yang bersangkutan dengan tubuh manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif, tempat Nur yang ditaruh Tuhan padanya." Sedangkan Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: "Hati itu tempat ilmu hakikat karena 'latifatur Rabbaniyyah' yang mengatur bagi sekalian anggota badan. Hati itu alat penembus hakikat..." Sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, hati. Syaitan menutupi hati manusia agar hati tersebut tidak dapat menerima Nur Illahi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu'min itu melihat kepada langit malakut dan buminya." Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan 'nafsul-ammarah bissu' (nafsu yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya'ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan. Hati manusiapun menjadi buta. Abdul Qadir Al-Jaelani mengatakan bahwa penyebab yang membutakan hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak sefaham tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil apabila jiwanya sudah dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh syaithan lewat hawa nafsu manusia, seperti: syirik, zinna, takabur, irihati, dengki, kikir, melihat diri lebih utama, suka membuka rahasia orang lain, suka membawa berita adu domba, bohong, dusta, dan semacamnya yang dapat menjatuhkan manusia ke dalam lembah kehancuran dan kehinaan. Butanya hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia. Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Haj ayat 46 berbunyi: "... Karena sesungguhnya yang disebut buta itu bukanlah buta matanya, melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada." Sifat jiwa yang zalim yang menyebabkan butanya hati tersebut adalah suatu penyakit yang apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau beranak-pinak. Hal ini ditandaskan oleh Allah SWT dalam FirmanNya di dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 9: "Dalam hati orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, karena mereka berdusta" dan Surat At-Taubah ayat 125: "Dan adapun bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di atas kotorannya serta mereka meninggal dunia dalam keadaan kafir." Demikian berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaithan lewat hawa nafsu manusia ini sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad akbar melawan hawa nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari sabda-sabda beliau seperti: "Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa nafsunya" (Bukhari dan Muslim), "Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang terletak diantara lambungmu", dan "Kami kembali dari jihad kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu" (yang diucapkan sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh yang dzahir ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa nafsu tidak ada habis-habisnya dan tidak berkesudahan hingga akhir hayat atau hari qiamat. 3. Dzikir Membersihkan Hati Membersihkan hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang keji itu fardlu 'ain hukumnya. Akan tetapi, membersihkan hati itu sangat sukar karena penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang benderang dengan izin Tuhannya. Cara kaum Sufi membuang penyakit hati tersebut adalah dengan riyadhah dan latihan-latihan yang antara lain meliputi bertaubat, membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, dan menahan diri dari ajakan syahwat. Riyadhah dan latihan khusus kaum Sufi untuk membersihkan hati adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan menyebut nama Allah. Hal ini dilandaskan pada Firman-firman Allah SWT dalam Al-Qur'an seperti: "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)- Ku." (Al-Baqarah 152), "Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang", "Adapun orang laki-laki yang banyak berdzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disedikan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar" (Al-Ahzab 35), dan "(yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Bahwasanya hati itu itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah", "Bagi setiap sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah "DZIKRULLAH", dan "Jauhkanlah Syaithanmu itu dengan ucapan 'LAA ILAAHA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH', karena syaithan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan diatasnya", "Dzikir kepada Allah SWT, jadi benteng dari godaan syaithan", dan "Allah berfirman 'LAA ILAAHA ILLALLAH adalah bentengKu. Barang siapa mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu. Dan barang siapa masuk ke dalam bentengku, maka amanlah ia daripada azabKu. (Hadist Qudsi)." Pengertian umum dzikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah (baik yang fardlu maupun sunnat) seperti sholat, zakat, puasa, haji, baca Qur'an, da'wah, belajar, berusaha, dll yang dilakukan semata atas nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah dzikir. Akan tetapi disamping melaksanakan hal-hal tersebut, kaum Sufi melaksanakan Thariqat-dzikir secara khusus yang merupakan cara pembersihan ruh pada sisi Allah (hati) secara Sufi, yaitu dengan menyebut LAILAA HA ILLALLAH atau ALLAH baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dengan "cara tertentu." Penulis tidak dapat menyampaikan metode Dzikrullah tersebut oleh karena hanya Guru Sufi yang mursyid dan murid-muridnya yang telah diberi "ijazah"lah yang berwenang mengajarkan metode Tha- riqat-dzikir tersebut. Yang dapat penulis sampaikan adalah bahwa para guru Sufi mengajar murid-muridnya mula-mula berdzikir dengan lidah (dzikir zahar, dzikir dengan suara keras), kemudian meningkat secara teratur kedzikir hati (dzikir khofi, dzikir yang tidak bersuara karena didalam hati) yang awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan, lantas meningkat lagi ke dzikir Sirri (dzikir di dalam hatinya hati). Hamba Allah yang sudah mampu berdzikir sirri ini tidak akan pernah terputus dzikirnya meskipun ia terlupa berdzikir. Sementara itu, sang guru pun membantu muridnya yang sedang dalam keadaan salik untuk menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya. Ulama-ulama Sufi berkata: "Apabila murid-murid mengucapkan dzikir LAA ILAAHA ILLALLAH dengan memusatkan perhatiannya secara bulat kepadaNya, maka terbuka segala tingkat ajaran Thariqat dengan cepat, yang kadang-kadang terasa dalam tempo satu jam, yang tidak dapat dihasilkan dengan ucapan kalimat lain dalam tempo satu bulan atau lebih. Dengan berdzikir yang dilakukan secara khussu' dengan bimbingan Guru Sufi yang mursyid, murid dapat membersihkan cermin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara dikit demi sedikit. Dalam masa itu, menyesallah sang murid atas dosa-dosa yang dilakukannya sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Ia tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertobat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Illahi yang kemudian merasuk keseluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan. 4. Hikmah Lanjut dari Dzikir: Qurb, Tenang, Fana, dan Ma'rifat Kaum Sufi melaksanakan dzikir dengan begitu asyik dan khusyu'nya karena merasakan keni'matan, kelezatan dan kemanisan. Dengan berdzikir, mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma'rifat). Abu Sa'id Al-Harraz r.a. berkata: "Apabila Allah Ta'ala hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya 'babul qurb', kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam 'darul fardaniyyah', dan dibukakanlah kepadanya 'Hijabul jalali wal'uzmati'. Apabila sampai pada 'jalali wal'uzmati', ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana." Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah. Kejauhan itu lupa hati. Kedekatan itu ingat hati. Kejauhan itu hijab (tertutup). Kedekatan itu kasyaf (terbuka). Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur. Gelap itu jahil, Nur itu Ma'rifat. Rasulullah SAW bersabda: "Firman Allah Ta'ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik." (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). "Guru Sufi berkata: "Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya." Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: "... (yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur'an yang mulia, dan Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya. Sampai di tingkat tertentu orang yang ber-thariqat-dzikir merasakan seluruh alam dan dirinya hancur lebur masuk ke dalam Allah SWT. Pada saat ini orang tersebut berada dalam tingkat yang fana. Firman allah dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rahman ayat 26-27: "Semua yang ada akan fana binasa, yang kekal adalah Tuhan sendiri yang Besar dan Maha Mulia." Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu'min dari bumi syahwat ke langit ma'rifat. Rasulullah SAW bersabda "Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy." Guru Sufi mengatakan: "dalam asma yang tertinggi, orang dapat meningkat ke langit (mencapai martabat yang tinggi)." Dalam tingkat ma'rifat ini hamba Allah dapat melihat segala yang ajaib dan yang aneh-aneh dan segala rahasia yang besar dan kaifiat yang agung serta hakikat. Imam Ghazali berkata: "Ma'rifat itu berada di atas semua jalan dan wasilah yang penting dan besar. Yang demikian itu adalah wasilah "Al-Kasyafful al-Bathini' atau 'Wasilatul Ilham ar-Ruhi', yang membawa manusia kepada sifat-sifat yang baik, dan membersihkan hati serta menjauhkan diri dari cara berpikir orang-orang materialis." 5. Syariat, Thariqat, dan Hakikat Penulis menangkap ada suatu kesan bahwa bila orang sudah pada tingkat hakikat maka tidak perlu lagi dia mempedulikan syari'at. Lebih jauh lagi bahkan ada yang mempertentangkan syariat dengan hakikat, syari'at menyalahkan hakikat dan hakikat meremehkan syari'at. Pandangan ini penulis kira tidaklah benar. Dalam Tasawwuf, hubungan antara syari'at, thariqat, dan hakikat itu sangat erat, satu kesatuan yang bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan apalgi dipertentangkan. Thariqat atau jalan menuju Allah itu meliputi pekerjaan dzahir dan bathin. Pekerjaan dzahir disebut syari'at dan pekerjaan bathin disebut hakikat. Syari'at itu mempersembahkan ibadat kepada Tuhan dan hakikat itu memperoleh musyahadah dari padaNya. Syari'at terikat dengan hakikat, dan sebaliknya hakikat terikat dengan Syari'at. Tiap-tiap pekerjaan syari'at yang tidak dikuatkan dengan hakikat tidak diterima dan tiap-tiap hakikat yang tidak dibuktikan dengan syari'at pun tidak diterima pula. Imam Al-Ghazali berkata: "Barang siapa mengambil syari'at saja tetapi tidak mau tahu tentang Hakikat, orang itu fasik. Barang siapa mengambil hakikat saja tetapi tidak melakukan syari'at maka dia itu adalah kafir zindiq. Sedangkan yang melakukan syari'at dan mengamalkan tasawwuf, inilah orang yang dinamakan ahli hakikat yang sesungguhnya." Riyadhah dan latihan-latihan tharikat tidak akan berfaedah dan tidak akan mendekatkan dirimu kepada Allah SWT selama perbuatanmu tidak sesuai dengan syari'at dan sejalan dengan Sunnah Rasul. Hubungan syari'at-thariqat-hakikat bisa dianggap analog dengan islam-iman-ikhsan. Apabila Seorang hamba Allah hanya sibuk dengan ibadah secara dzahir maka ia berada dalam maqam islam atau maqam syari'at. Apabila amal ibadah itu disertai dengan hati yang bersih dan ikhlas serta bebas dari kejahatan maka orang itu berada pada maqam iman atau maqam tharikat. Apabila manusia itu beribadat semata karena Allah, seakan-akan ia melihat Allah dan ia yakin Allah melihatnya maka hamba Allah itu berada dalam maqam ikhsan atau maqam hakikat. 6. Tasawwuf dan Dunia Anggapan umum tentang Tasawwuf adalah bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka meninggalkan segala hal yang berbau dunia. Anggapan ini tidak seluruhnya benar. Kaum Sufi menjauhi sesuatu, termasuk dunia, yang menghalangi mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka pegang berdasarkan Firman Allah dalam Al- Qur'an Surat Al-Munafiquun ayat 8 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi." Akan tetapi apabila sesuatu, termasuk dunia, itu memperkuat ibadah mereka terhadap Allah, apalagi itu perintah Allah dan Rasulnya, merekapun akan mengambilnya. Sikap inipun dilandaskan pada Al-Quran dan Hadis seperti: "Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah engkau lupa akan nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu, janganlah bercita-cita berbuat di atas muka bumi ini karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan" (Q.S Al-Qosas 77), "Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi ini" (Q.S. Al-Baqarah 60), dan sabda Nabi Muhammada SAW: "Bukanlah orang baik jika engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya meninggalkan akhirat untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena dunia itu jalan ke akhirat dan jangan kamu bergantung kepada manusia" (Riwayat Ibn As-sakir). Bahkan Ulama-ulama Sufi dari Thariqat-thariqat Syaziliyyah, Naqsyabandiyyah, dan Qadariyyah menganjurkan murid-muridnya untuk memakan makanan yang enak-enak, memakai pakaian yang bagus-bagus, tidur diatas kasur yang empuk, memiliki harta benda, dan sebagainya asal semuanya itu dapat mendekatkan muridnya kepada Allah. Ulama-ulama tasawwuf itu berkata: "Tidak mengapa mengikuti syahwat yang diperkenankan untuk diri kita, apabila ternyata dapat menguatkan ibadat seperti: tidak mengapa memakai pakaian yang bagus untuk melahirkan nikmat Tuhan. Tidak mengapa makan dan minum yang lezat-lezat untuk kepentingan kesehatan anggota badan bersyukur dan menjadi kuat panca indera." Ahli ma'rifat Syazili mengatakan "Makan dan minumlah kamu dari makanan yang baik-baik, minumlah minuman yang sedap, tidurlah di atas tempat tidur yang empuk, berpakaianlah dengan pakaian yang halus, dan perbanyaklah dzikir kepada Tuhanmu." Syeikh Bahauddin Naqsyabandi berkata: "Tiapa macam makanan harus baik dan beribadatpun harus baik pula". Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: "Harta benda itu adalah khadammu dan engkau khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini harus menjadi manusia tauladan dan hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia." 7. Penutup Tasawuf itu bukanlah ilmu atau amal yang dapat dibahas secara ilmiah atau filsafati karena tasawuf hanya dapat ditangkap oleh hati, dan bukan oleh akal yang mempunyai keterbatasan. Rahasia Tasawuf tidak dapat dinikmati dengan hanya mempelajari buku-buku atau mendengarkan ceramah-ceramah karena buku-buku dan ceramah- ceramah tersebut tidak dapat mengekspresikan peristiwa bathiniyyah yang terjadi dalam dunia tasawwuf secara sempurna dan akurat yang disebabkan oleh keterbatasan bahasa manusia. Hikmah tasawwuf ini hanya dapat dirasakan dengan melakukan rhiyadhah dan latihan-latihan thariqat dengan tekun dan khussyu' di bawah bimbingan Guru Sufi yang Mursyid. Karena kendala-kendala diatas dan, yang lebih penting lagi, karena keawaman penulis dalam bidang Tasawuf maka tulisan ini jauh dari sempurna. Bila ada kebenaran maka kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, bila ada kesalahan maka kekeliruan itu sepenuhnya karena kekhilafan penulis. Untuk itu, penulis mohon ampun dan petunjuk dari Allah SWT serta mohon ma'af dan koreksi dari Akhi dan Ukhti sekalian. Rujukan Utama: Ali, A. Yusuf. 1978. "The Holy Qur'an, Text, Translation, and Commentary". Washington, DC.: The Islamic center. 'Arifin, Shohibulwafa, K.H.A. 1975. "Miftahus Shudur". Diterjemahkan oleh Prof. K.H. Aboebakar Atjeh menjadi "Kunci Pembuka Dada". Jilid 1 dan 2. Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti Suryalaya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur'an Departemen Agama RI. (1974). "Al-Qur'an dan Terjemahnya" , Jakarta: Depag RI. Rujukan Penunjang: Nasr, Seyyed Hossein. 1973. " Sufi Essays" . New York, N.Y.: Albany, State University of New York Press.

KHAWARIJ DALAM ILMU KALAM

KHAWARIJ A. Pengertian Khawarij Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ). Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah). Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al Fatawa, “Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.” Kemudian hadits hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati hati terhadap firqah ini. B. Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”. Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda: “Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari Muslim) Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya: “Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33) Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca. “Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim) Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan indah; tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya. Ciri khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: “Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari Muslim) Sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya yaitu Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu. Mereka membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma milik seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan seraya berkata: “Ambillah seluruhnya apa yang kalian mau!” Pimpinan khawarij itu menjawab dengan arif: “Kami tidak akan mengambilnya kecuali dengan membayar harganya”. (Lihat al-Milal wan Nihal) Maka kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari niat mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah kaum muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan teror, pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri. Ciri berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat jelek yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ Khawarij adalah anjing-anjing neraka. “ (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah) C. Sejarah Kelahiran Khawarij Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”. Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra. Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam. Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60) Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60) Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya. Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63) Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64). Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin. Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309). D. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik. Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka. Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij. Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an. Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang mengatakan; “Ahabbukum ilayya akramukum li kitâbillah. Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman. Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka. Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini. E. Sifat sifat Khawarij 1. Mencela dan Menyesatkan Orang orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat. 2. Buruk Sangka Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas. 3. Berlebih lebihan dalam ibadah Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya. 4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah, “Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….” Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya. Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan. 5. Sedikit pengalamannya Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang orang Khawarij umurnya masih muda muda yang hanya mempunyai bekal semangat. 6. Sedikit pemahamannya Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya. 7. Nilai Khawarij Orang orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.” 8. Fenomena Khawarij Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al Masih Ad Dajjal” 9. Kedudukan Khawarij Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka. 10. Sikap terhadap Khawarij Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”

Sabtu, 16 Juni 2012

HATI - HATI SYETAN DISEKITARMU

Makhluk Allah dapat dibedakan menjadi 2 macam, makhluk yang tampak dan yang tidak tampak, 1. Yang tampak seperti manusia, hewan, pohon, dll 2. Yang tidak tampak, malaikat, jin, syetan. Antara manusia dan syetan adalah musuh bebuyutan, karena manusia berupaya masuk syurga, sedangkan syetan berupaya mencari teman dineraka, maka syetan berupaya keras menggoda manusia dengan berbagai macam cara dan kesempatan. Kalau kita punya nama, seperti Bu Siti, Bu Nur, Bu Dina, Bu Yanti dll.sedangan Syetan pun punya nama dan pekerjaannya yaitu: 1. Khanzab adalah setan pengganggu orang salat. 2. Dasim adalah setan yang mengganggu keluarga dan rumah. 3. Mabsud dan Abyadh, adalah setan yang menggoda para pemimpin. 4. Zalanbur, setan yang mengoda dalam hal jual beli, pergagangan 5. Bathar setan yang menggoda orang yang tertimpa musibah, membisikinya supaya mencakar wajah, memukul pipi, dan merobek kantong bajunya sendiri. 6. Al-'Awar adalah setan penggoda agar seseorang berselingkuh." 7. Mathus, berrtugas manusia agar berbohog, bersumpah palsu Agar terhindar dari godaan syetan ialah`` 1. Dzikir kepada Allah dengan membaca kalimah-kalimah thoyibah Seperti subhanalloh, Alhamdulillah, laiilahaillalloh, lahaula wala kuata illa bilahil ngiyil adzim. 2. Banyak baca tangawud, angudzubillahi minasyaithonirrojim.

Perbedaan Pandangan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah

Perbedaan Pandangan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah 1. PENDAHULUAN Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-golongan atau aliran-aliran adalah bermula dari persoalan-persoalan politik pasca wafatnya nabi Muhammad SAW, dan puncaknya terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M [1]. Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ini banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang berambisi menjadi khalifah, diantaranya adalah Thalhah bin Zubair dan Muawiyah. Bermula dari persoalan politik tersebut, pada akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Peristiwa arbitrase yang terjadi pada saat pertentangan Ali dan Mu’awiyah pada akhirnya dibawa kepada persoalan Teologi. Permasalahan ini terus berkembang hingga akhirnya memunculkan aliran-aliran. Aliran-aliran yang dilatarbelakangi permasalahan politik seperti halnya Khawarij, Syi’ah, Murjiah pada akhirnya memunculkan aliran Teologi seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dua aliran yang disebut terakhir inilah yang sangat besar pengaruhnya dalam dalam dunia teologi. Walaupun kemudian timbul aliran-aliran lain yang (mungkin) berpengaruh, namun semua itu masih berdasar kepada pemikiran awal dua aliran ini. Mu’atazilah dalam pembahasannya banyak menggunakan akal, sehingga mereka mendapatkan nama “kaum rasionalis Islam”,[2] sedangkan Asy’ariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan metode sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan Tuhan, sedangkan akal ada di bawah wahyu. Dengan melihat bahwa dua aliran ini sangat dominan menentukan pola pikir manusia dalam hal teologi, maka penulis hendak membahas perbedaan mendasar yang ada pada dua aliran ini, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. 1. GAMBARAN TENTANG MU’TAZILAH 2. Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah Aliran Mu’tazila merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam.[3] Pada awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut sebagai kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl al-tauhid wa al-adl. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijriyah di Basrah (Irak), sebagai pusat perpaduan segala macam ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam. Mu’taazilah timbul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa besar seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya, ia tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.[4] Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut sebagai aliran rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar Tuhan mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh akrena itu bagi Mu’taazilah, keraguan adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu metode untuk menemukan suatu kebenaran.[5] Pada awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak mendapat simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan memahami ajaran-ajaran yang rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar dan mendapat banyak pengikut pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah menjadi mazhab resmi negara.[6] Aliran Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah.[7] 1. Pokok-pokok Pikiran Mu’tazilah Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal pokok dalam pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni; al-Tauhid, al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf nahi munkar. 1. Al Tauhid Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim.[8] Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).[9] Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat disebut sebagai syirik. Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya. Al Syahrastani memberikan teks dari pertanyaan tersebut sebagai berikut:[10] 2. Al Adl Manusia diciptakan Tuhan dengan membawa kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan bebas. Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan kehendak siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri, karena ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan daya (istita’ah) terdapat dalam diri manusia sebelum ia melakukan suatu perbuatan.[11] Sebagaimana diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia.[12] Dengan melihat bahwa manusia bebas berbuat baik artaupun buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka manusia berhak untuk menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut untuk berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan harus menganugerahinya dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat buruk maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil. Untuk menguatkan pendapatnya itu, mu’tazilah juga menggunakan dasar al-Qur’an, semisal surat an-Nisa’ ayat 79: Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Tuhan, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri”. 3. Al Manzilu baina al-Manzilatain Prinsip ini berlatarbelakang kedudukan orang mu’min yang melakukan dosa besar. Menurut beberapa aliran sebelumnya, Khawarij, misalnya, mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia adalah disebut kafir, karena itu wajib dibunuh. Pendapat ini ditentang oleh kaum murji’ah yang mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap seorang mu’min. Dari berbagai pendapat ini, Washil bin Atha’ merasa tidak puas, sehingga ia mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorang kafir dan bukan pula seorang muslim tetapi adalah fasiq. 4. Al Wa’du wa al Wa’id Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak berubah-ubah, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an.[13] Kebebasan yang didapat manusia baru akan mempunyai makna jika Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Sebab, kebebasan menurut mu’taazilah membawa konsekwensi bahwa Tuhan harus membalas perbuatan manusia atas dasar perbuatan manusia itu sendiri, sebagaimana janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an. Telah banyak janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an. Semisal bagi orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan sesuai kebaikannya dan yang melakukan kejahatan akan menerima balasan sesuai dengan perbuatannya pula. Dengan demikian Tuhan haruslah menepati janji-janji yang telah disebutkannya sendiri, jika tidak, maka Tuhan tidak menepati janjinya. 5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Benar bahwa manusia bebas berkehendak sesuai dengan keinginannya, namun wajib pula bagi manusia untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sebagai khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa akal dan daya yang tidak dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya pula untuk mencegah orang lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada kebaikan-kebaikan, serta memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada orang lain. Dengan usaha-usahanya tersebut maka tidak mnutup kemungkinan oranglain akan berbuat kebaikan sebagaimana yang kita anjurkan, sebab manusia, sekali lagi, mempunyai kebebasan untuk berbuat dan memilih sesuatu. 1. GAMBARAN TENTANG ASY’ARIYAH 2. Sejarah Lahirnya Asy’ariyah Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham Mu’tazilah yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’ umat Islam. Mu’tazilah pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar di mata masyarakat. Pada saat inilah muncul Al Asy’ari, seorang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah. Pemikiran Teologis Asy’ariyah merupakan sintesa dari pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum konservatif tradisional. Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di kalangan masyarakat muslim.[14] Pokok-pokok pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan antara golongan rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk dipahami karena sederhana dan tidak terlalu filosofis. Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.[15] Aliran ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang menjadikannya sebagai mazhab resmi negara. 1. Pokok-pokok Pikiran Asy’ariyah Faham Asy’ariyah dalam ajaran-ajarannya hampir seluruhnya berseberangan dengan pemikiran Mu’tazilah. Termasuk penggunaan akal, Asy’ariyah memberikan fungsi strukstural yang lebih rendah daripada wahyu.[16] Dan dalam pandangannya ada tiga garis besar yang dapat disebutkan, yakni mengenai sifat dan zat Tuhan, perbuatan-perbuatan manusia, dan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. 1. Sifat dan Zat Tuhan Sifat dan zat Tuhan menurut Asy’ariyah sangat berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap mempunyai sifat di dalam zat-Nya. Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan, berarti pula Tuhan adalah pengetahuan. Sifat-sifat mengetahui, hidup, berkuasa dan lain sebagainya adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa dipisahkan dari zatNya, tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah zat. Artinya, sifat bukanlah zat dan bukan pula selain zat.[17] Ada dua kesulitan yang dihadapi Asy’ariyah, di satu pihak mereka tidak bisa menyangkal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah lain dari Dia, akan tetapi di lain pihak juga tidak dapat menyatakan bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan dua kesulitasn ini. Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang nampaknya membingungkan ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’. Sejauh menyangkut maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda dengan Allah; akan tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat itu tidak terpisah dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.[18] Oleh karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu tidak akan membawa kepada faham adanya banyak qadim. 2. Perbuatan-perbuatan Manusia Dapat dikatakan bahwa faham Asy’ariyah lebih condong ke faham Jabariyah. Manusia dipandang lemah, sehingga banyak tergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Segala perbuatan yang dilakukan manusia adalah kehendak dari Tuhan. Kita berbuat baik, Tuhanlah yang menggerakkan dan kalaupun kita berbuat jelek maka itu sudah dikehendaki Tuhan. Dalam masalah ini Asy’ari menampilkan adanya teori Al Kasb. Pengertiannya adalah sesuatu yang timbul dari Al Muktasib dengan perantaraan daya yang diciptakan.[19] Perbuatan yang dilakukan oleh manusia memnag dikehendaki oleh Tuhan, tetapi hasil perbuatan itu adalah hasil dari manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena al Kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan. Dalil yang digunakan Asy’ariyah ada pada ayat berikut: Dalam memahami ayat itu, Al Asy’ari memaknai ayat wa ta’malun dengan “apa yang kamu perbuat” bukan apa yang kamu buat”. Dengan demikian ayat tersebut mempunyai pengertian bahwa Tuhan menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa al Kasb adalah “berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan”, artinya jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.[20] 3. Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan Pada dasarnya Asy’ariyah meyakini bahwa Tuhan adalah penguasa tertinggi, diatasnya tidak ada zat selain dari padaNya dan Ia tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan Tuhan adalah di atas segala-galanya, dapat berbuata apa saja yang dikehendakiNya, sungguhpun perbuatan itu dipandang tidak baik dan tidak adil menurut akal manusia.[21] Dengan demikian tidak salah jika memasukkan seluruh manusia ke dalam Syurga dan tidaklah bersifat zalim jika Tuhan memasukkan seluruh umat manusia ke dalam neraka.[22] Artinya, bahwa Tuhan dengan kekuasannyalah yang menjadikan seseorang baik ataupun buruk, dan dengan kuasanyalah manusia dimasukkan ke dalam surga ataupun neraka. ANALISIS POKOK PIKIRAN MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai dinamika pemikiran keagamaan. Dua paham terbesar, yakni Aasy’ariyah dan Mu’tazilah telah memberikan pengertian dan pemahaman teologi yang berbeda. Walaupun dalam kenyataan yang ada sekarang, aliran-aliran atau golongan-golongan yang terpecah tidak hanya dua itu, namun pada dasarnya mereka tetap mengacu pada pokok pikiran dua aliran ini. Memang, pada awalnya perpecahan umat Islam menjadi berbagai golongan diawali dengan motif politik, yang kemudian berkembang pada perbedaan teologi. Namun, perbedaan inipun terkadang dibawa pula kearah politik, dimana golongan satu menghancurkan golongan yang lain demi kejayaan dan penguasaan golongannya. Persaingan dan perang intelektual yang dilakukan orang-orang yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan sebuah kejelekan. Bahkan dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran tentang keagamaan dipicu oleh persaingan dan perang ini. Pemikiran-pemikiran baru akan lahir sedikit demi sedikit atas adanya perdebatan. Namun, sekali lagi, seseorang tidak dapat menerima perbedaan itu sebagai sebuah anugerah tetapi menimbulkan kecemasan dan ketakutan kepada pihak lain, sehingga yang ia lakukan adalah menghancurkan mereka terlebih dahulu sebelum (apabila) mereka menghancurkan kita. Mereka terkadang lupa tentang siapa yang dihancurkannya, ada siapa diantara mereka, siapa yang berhak atas kehidupan mereka. Bahkan mereka pun lupa apa sebenarnya yang menjadi perdebatan awal sehingga mereka berseberangan. Diantara dua faham, Mu’tazilah dan Asy’ariyah, paling tidak ada tiga garis besar perbedaan, yakni; tentang ketuhanan, kekuasaan Tuhan, dan manusia. 1. Ketuhanan Satu hal yang bukan menjadi perbedaan adalah Tuhan adalah satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh alam, dan Ia adalah ada yang pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah ataupun kelompok-kelompok lain tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam ini tiada lain adalah Tuhan, Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya, Ia tetap sebagai Tuhan, yang telah menciptakan bumi beserta isinya, langit beserta misteri-misteri yang tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu dipegang oleh seluruh kaum, sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu menyembah, yang disembah tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin. Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan. Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan yang menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya. Sedangkan Asy’ariyah memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak dapat terlepas dari sifat-sifat yang melekat padaNya. Kedua pendapat itu sulit untuk tidak diterima salah satunya. Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari segala sesuatu, termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada sifat Tuhan berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu sendiri. Sedangkan dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan antara zat dan sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula bersifat cair, api mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal tersebut tidak mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan sifatnya. Air, biarpun bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap berupa zat cair. Demikian pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya. Sama halnya dengan Tuhan, sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara Tuhan dengan apa yang melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan bahwa sifat merupakan bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja dan air berbentuk cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan dengan bahasa manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan berada pada dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah bahasa manusia untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan maha-maha yang lain, dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu memasukinya. 2. Kekuasaan Tuhan Tidak jarang kita terbentur dengan pemikiran-pemikiran yang menyangkut tentang kekuasaan Tuhan. Tuhan dengan sebutan Sang Penguasa akankah sebagai ‘dalang’ yang menggerakkan seluruh kegiatan dan gerak ‘wayangnya’ termasuk gerak tangan sang wayang. Ataukah Tuhan hanya sebagai pencipta manusia dan potensinya saja, dan membiarkan manusia berbuat sekehendak hatinya, tanpa harus ‘campur tangan’ dan hanya menunggu dan memberikan balasan yang sesuai ? Apabila kita meyakini hal yang pertama, maka hal itu akan menimbulkan rasa pesimisme, yang dengan bahasa Plato disebut Tymos,[23] bahwa apa yang telah ia peroleh dan dapatkan adalah memang sudah garis Tuhan dan kita tidak mempunyai daya apapun untuk merubahnya. Sedangkan apabila kita mempercayai hal yang kedua, maka mungkin ada yang mempertanyakan apakah Tuhan tidak berkuasa dan tidak peduli terhadap diri manusia? Lalu apa kegunaan Tuhan memberikan potensi beruapa akal dan daya-daya yang lain? Benar bahwa Tuhan telah memberikan anugerah terbesar bagi manusia yakni berupa akal dan hati. Bahkan dengan karunia ini pula, manusia menjadi berbeda dengan makhluk lain. Namun ini juga tidak berarti bahwa Tuhan membebaskan manusia berkehendak sesuka hati dengan tanpa campur tangan Tuhan (takdir). Manusia, alam dan seluruh semesta raya diciptakan Tuhan sebagaimana digambarkan seorang tukang jam yang membuat jam. Ia tahu dan telah memprogram bahwa jarum yang ia ciptakan akan bergerak dengan arah demikian, laju sekian dan melewati angka demi angka seperti yang ia perkirakan waktunya. Sedangkan jarumnya tidak perlu digerakkan terus menerus oleh tukang jam itu, karena ia telah memprogramnya dengan baik dan cermat. Sama halnya dengan manusia. Manusia digambarkan adalah jam yang digerakkan dan mengikuti laju dan nasib sebagaimana yang telah diprogram dan digariskan oleh pembuat jam, Tuhan. Ia bebas bergerak dengan kekuatannya sendiri tetapi ia tetap harus mengikuti arah dan program yang telah ditetapkan. Ia tidak bisa melawan kehendak penciptanya karena ia lemah dan kalah oleh kekuasaan Tuhan. 1. Manusia Sebagaimana telah disebutkan, bahwa manusia diciptakan menurut aturan dan takdir dari sang pencipta. Ia tidak mempunyai kehendak dan kekuatan yang diandalkan untuk melawan kehendak Ilahi. Lalu pertanyaan yang mungkin timbul selanjutnya, apakah fungsi Tuhan menciptakan akal dan daya-daya yang dianugerahkan kepada manusia, kalau toh ia harus mengikuti aturan Tuhan? Dalam bertingkah laku dan menjalani kehidupan, manusia tetap diberikan kesempatan untuk berbuat sesuka hati karena ia mampu untuk itu. Namun akal dan daya-daya yang dmiliki manusia itu sesungguhnya tidak lain adalah pada hakekatnya dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawabnya menjalankan garis kehidupan yang telah ditetapkan Tuhan. Jika kemudian ia tidak memenuhi tanggungjawabnya, bahkan bertentangan dengan garis yang telah ditetapkan dan benar-benar tidak dapat diperbaiki, maka ia dapat dikategorikan sebagai ‘jam yang rusak’ dan perlu masuk tong sampah. Namun apabila kerusakan yang diderita manusia itu hanya kerusakan-kerusakan ringan, Tuhan tentu tidak akan membiarkan ia berlarut-larut dalam kebimbangan. Hidayah dan ‘perbaikan-perbaikan seperlunya’ tentu akan diberikan Tuhan dengan jalan yang tidak terduga-duga. 1. KESIMPULAN Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara Mu’tazzilah dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar sebagai berikut: 1. Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam. 2. Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas. 3. Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita. PENUTUP Demikianlah sedikit coretan hasil buah pemikiran seorang yang masih awam dalam hal keilmuan. Tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran, kritik dan masukan yang konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi kita bersama, amin. DAFTAR PUSTAKA Aceh, Abu Bakar, Prof. Dr. H. Sejarah Filsafat Islam. Solo: Ramadhani. 1989. Al Syahrastani, Abi Al Fath Muhammad Abd. Al Karim Ibn Abi Bakr. Al Milal wa Al Nihal. Beirut: Darl Al Fikr. t.t.. Amin, M. Mansyur, ed.. Teologi Pembangunan. Yogyakarta: LKPS NU. 1989. Ensiklopedi Islam. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 1993. Fukuyama, Francis. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam. 2001. Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1992. —————-. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Muin, Taib Tahir Abdul. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya. 1986. Nasution, Harun. Teologi Islam. Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986.