Sabtu, 16 Juni 2012

Perbedaan Pandangan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah

Perbedaan Pandangan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah 1. PENDAHULUAN Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-golongan atau aliran-aliran adalah bermula dari persoalan-persoalan politik pasca wafatnya nabi Muhammad SAW, dan puncaknya terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M [1]. Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ini banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang berambisi menjadi khalifah, diantaranya adalah Thalhah bin Zubair dan Muawiyah. Bermula dari persoalan politik tersebut, pada akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Peristiwa arbitrase yang terjadi pada saat pertentangan Ali dan Mu’awiyah pada akhirnya dibawa kepada persoalan Teologi. Permasalahan ini terus berkembang hingga akhirnya memunculkan aliran-aliran. Aliran-aliran yang dilatarbelakangi permasalahan politik seperti halnya Khawarij, Syi’ah, Murjiah pada akhirnya memunculkan aliran Teologi seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dua aliran yang disebut terakhir inilah yang sangat besar pengaruhnya dalam dalam dunia teologi. Walaupun kemudian timbul aliran-aliran lain yang (mungkin) berpengaruh, namun semua itu masih berdasar kepada pemikiran awal dua aliran ini. Mu’atazilah dalam pembahasannya banyak menggunakan akal, sehingga mereka mendapatkan nama “kaum rasionalis Islam”,[2] sedangkan Asy’ariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan metode sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan Tuhan, sedangkan akal ada di bawah wahyu. Dengan melihat bahwa dua aliran ini sangat dominan menentukan pola pikir manusia dalam hal teologi, maka penulis hendak membahas perbedaan mendasar yang ada pada dua aliran ini, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. 1. GAMBARAN TENTANG MU’TAZILAH 2. Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah Aliran Mu’tazila merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam.[3] Pada awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut sebagai kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl al-tauhid wa al-adl. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijriyah di Basrah (Irak), sebagai pusat perpaduan segala macam ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam. Mu’taazilah timbul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa besar seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya, ia tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.[4] Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut sebagai aliran rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar Tuhan mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh akrena itu bagi Mu’taazilah, keraguan adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu metode untuk menemukan suatu kebenaran.[5] Pada awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak mendapat simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan memahami ajaran-ajaran yang rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar dan mendapat banyak pengikut pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah menjadi mazhab resmi negara.[6] Aliran Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah.[7] 1. Pokok-pokok Pikiran Mu’tazilah Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal pokok dalam pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni; al-Tauhid, al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf nahi munkar. 1. Al Tauhid Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim.[8] Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).[9] Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat disebut sebagai syirik. Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya. Al Syahrastani memberikan teks dari pertanyaan tersebut sebagai berikut:[10] 2. Al Adl Manusia diciptakan Tuhan dengan membawa kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan bebas. Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan kehendak siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri, karena ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan daya (istita’ah) terdapat dalam diri manusia sebelum ia melakukan suatu perbuatan.[11] Sebagaimana diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia.[12] Dengan melihat bahwa manusia bebas berbuat baik artaupun buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka manusia berhak untuk menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut untuk berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan harus menganugerahinya dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat buruk maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil. Untuk menguatkan pendapatnya itu, mu’tazilah juga menggunakan dasar al-Qur’an, semisal surat an-Nisa’ ayat 79: Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Tuhan, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri”. 3. Al Manzilu baina al-Manzilatain Prinsip ini berlatarbelakang kedudukan orang mu’min yang melakukan dosa besar. Menurut beberapa aliran sebelumnya, Khawarij, misalnya, mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia adalah disebut kafir, karena itu wajib dibunuh. Pendapat ini ditentang oleh kaum murji’ah yang mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap seorang mu’min. Dari berbagai pendapat ini, Washil bin Atha’ merasa tidak puas, sehingga ia mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorang kafir dan bukan pula seorang muslim tetapi adalah fasiq. 4. Al Wa’du wa al Wa’id Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak berubah-ubah, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an.[13] Kebebasan yang didapat manusia baru akan mempunyai makna jika Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Sebab, kebebasan menurut mu’taazilah membawa konsekwensi bahwa Tuhan harus membalas perbuatan manusia atas dasar perbuatan manusia itu sendiri, sebagaimana janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an. Telah banyak janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an. Semisal bagi orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan sesuai kebaikannya dan yang melakukan kejahatan akan menerima balasan sesuai dengan perbuatannya pula. Dengan demikian Tuhan haruslah menepati janji-janji yang telah disebutkannya sendiri, jika tidak, maka Tuhan tidak menepati janjinya. 5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Benar bahwa manusia bebas berkehendak sesuai dengan keinginannya, namun wajib pula bagi manusia untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sebagai khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa akal dan daya yang tidak dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya pula untuk mencegah orang lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada kebaikan-kebaikan, serta memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada orang lain. Dengan usaha-usahanya tersebut maka tidak mnutup kemungkinan oranglain akan berbuat kebaikan sebagaimana yang kita anjurkan, sebab manusia, sekali lagi, mempunyai kebebasan untuk berbuat dan memilih sesuatu. 1. GAMBARAN TENTANG ASY’ARIYAH 2. Sejarah Lahirnya Asy’ariyah Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham Mu’tazilah yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’ umat Islam. Mu’tazilah pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar di mata masyarakat. Pada saat inilah muncul Al Asy’ari, seorang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah. Pemikiran Teologis Asy’ariyah merupakan sintesa dari pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum konservatif tradisional. Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di kalangan masyarakat muslim.[14] Pokok-pokok pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan antara golongan rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk dipahami karena sederhana dan tidak terlalu filosofis. Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.[15] Aliran ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang menjadikannya sebagai mazhab resmi negara. 1. Pokok-pokok Pikiran Asy’ariyah Faham Asy’ariyah dalam ajaran-ajarannya hampir seluruhnya berseberangan dengan pemikiran Mu’tazilah. Termasuk penggunaan akal, Asy’ariyah memberikan fungsi strukstural yang lebih rendah daripada wahyu.[16] Dan dalam pandangannya ada tiga garis besar yang dapat disebutkan, yakni mengenai sifat dan zat Tuhan, perbuatan-perbuatan manusia, dan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. 1. Sifat dan Zat Tuhan Sifat dan zat Tuhan menurut Asy’ariyah sangat berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap mempunyai sifat di dalam zat-Nya. Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan, berarti pula Tuhan adalah pengetahuan. Sifat-sifat mengetahui, hidup, berkuasa dan lain sebagainya adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa dipisahkan dari zatNya, tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah zat. Artinya, sifat bukanlah zat dan bukan pula selain zat.[17] Ada dua kesulitan yang dihadapi Asy’ariyah, di satu pihak mereka tidak bisa menyangkal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah lain dari Dia, akan tetapi di lain pihak juga tidak dapat menyatakan bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan dua kesulitasn ini. Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang nampaknya membingungkan ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’. Sejauh menyangkut maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda dengan Allah; akan tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat itu tidak terpisah dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.[18] Oleh karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu tidak akan membawa kepada faham adanya banyak qadim. 2. Perbuatan-perbuatan Manusia Dapat dikatakan bahwa faham Asy’ariyah lebih condong ke faham Jabariyah. Manusia dipandang lemah, sehingga banyak tergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Segala perbuatan yang dilakukan manusia adalah kehendak dari Tuhan. Kita berbuat baik, Tuhanlah yang menggerakkan dan kalaupun kita berbuat jelek maka itu sudah dikehendaki Tuhan. Dalam masalah ini Asy’ari menampilkan adanya teori Al Kasb. Pengertiannya adalah sesuatu yang timbul dari Al Muktasib dengan perantaraan daya yang diciptakan.[19] Perbuatan yang dilakukan oleh manusia memnag dikehendaki oleh Tuhan, tetapi hasil perbuatan itu adalah hasil dari manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena al Kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan. Dalil yang digunakan Asy’ariyah ada pada ayat berikut: Dalam memahami ayat itu, Al Asy’ari memaknai ayat wa ta’malun dengan “apa yang kamu perbuat” bukan apa yang kamu buat”. Dengan demikian ayat tersebut mempunyai pengertian bahwa Tuhan menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa al Kasb adalah “berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan”, artinya jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.[20] 3. Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan Pada dasarnya Asy’ariyah meyakini bahwa Tuhan adalah penguasa tertinggi, diatasnya tidak ada zat selain dari padaNya dan Ia tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan Tuhan adalah di atas segala-galanya, dapat berbuata apa saja yang dikehendakiNya, sungguhpun perbuatan itu dipandang tidak baik dan tidak adil menurut akal manusia.[21] Dengan demikian tidak salah jika memasukkan seluruh manusia ke dalam Syurga dan tidaklah bersifat zalim jika Tuhan memasukkan seluruh umat manusia ke dalam neraka.[22] Artinya, bahwa Tuhan dengan kekuasannyalah yang menjadikan seseorang baik ataupun buruk, dan dengan kuasanyalah manusia dimasukkan ke dalam surga ataupun neraka. ANALISIS POKOK PIKIRAN MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai dinamika pemikiran keagamaan. Dua paham terbesar, yakni Aasy’ariyah dan Mu’tazilah telah memberikan pengertian dan pemahaman teologi yang berbeda. Walaupun dalam kenyataan yang ada sekarang, aliran-aliran atau golongan-golongan yang terpecah tidak hanya dua itu, namun pada dasarnya mereka tetap mengacu pada pokok pikiran dua aliran ini. Memang, pada awalnya perpecahan umat Islam menjadi berbagai golongan diawali dengan motif politik, yang kemudian berkembang pada perbedaan teologi. Namun, perbedaan inipun terkadang dibawa pula kearah politik, dimana golongan satu menghancurkan golongan yang lain demi kejayaan dan penguasaan golongannya. Persaingan dan perang intelektual yang dilakukan orang-orang yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan sebuah kejelekan. Bahkan dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran tentang keagamaan dipicu oleh persaingan dan perang ini. Pemikiran-pemikiran baru akan lahir sedikit demi sedikit atas adanya perdebatan. Namun, sekali lagi, seseorang tidak dapat menerima perbedaan itu sebagai sebuah anugerah tetapi menimbulkan kecemasan dan ketakutan kepada pihak lain, sehingga yang ia lakukan adalah menghancurkan mereka terlebih dahulu sebelum (apabila) mereka menghancurkan kita. Mereka terkadang lupa tentang siapa yang dihancurkannya, ada siapa diantara mereka, siapa yang berhak atas kehidupan mereka. Bahkan mereka pun lupa apa sebenarnya yang menjadi perdebatan awal sehingga mereka berseberangan. Diantara dua faham, Mu’tazilah dan Asy’ariyah, paling tidak ada tiga garis besar perbedaan, yakni; tentang ketuhanan, kekuasaan Tuhan, dan manusia. 1. Ketuhanan Satu hal yang bukan menjadi perbedaan adalah Tuhan adalah satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh alam, dan Ia adalah ada yang pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah ataupun kelompok-kelompok lain tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam ini tiada lain adalah Tuhan, Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya, Ia tetap sebagai Tuhan, yang telah menciptakan bumi beserta isinya, langit beserta misteri-misteri yang tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu dipegang oleh seluruh kaum, sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu menyembah, yang disembah tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin. Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan. Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan yang menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya. Sedangkan Asy’ariyah memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak dapat terlepas dari sifat-sifat yang melekat padaNya. Kedua pendapat itu sulit untuk tidak diterima salah satunya. Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari segala sesuatu, termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada sifat Tuhan berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu sendiri. Sedangkan dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan antara zat dan sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula bersifat cair, api mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal tersebut tidak mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan sifatnya. Air, biarpun bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap berupa zat cair. Demikian pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya. Sama halnya dengan Tuhan, sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara Tuhan dengan apa yang melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan bahwa sifat merupakan bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja dan air berbentuk cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan dengan bahasa manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan berada pada dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah bahasa manusia untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan maha-maha yang lain, dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu memasukinya. 2. Kekuasaan Tuhan Tidak jarang kita terbentur dengan pemikiran-pemikiran yang menyangkut tentang kekuasaan Tuhan. Tuhan dengan sebutan Sang Penguasa akankah sebagai ‘dalang’ yang menggerakkan seluruh kegiatan dan gerak ‘wayangnya’ termasuk gerak tangan sang wayang. Ataukah Tuhan hanya sebagai pencipta manusia dan potensinya saja, dan membiarkan manusia berbuat sekehendak hatinya, tanpa harus ‘campur tangan’ dan hanya menunggu dan memberikan balasan yang sesuai ? Apabila kita meyakini hal yang pertama, maka hal itu akan menimbulkan rasa pesimisme, yang dengan bahasa Plato disebut Tymos,[23] bahwa apa yang telah ia peroleh dan dapatkan adalah memang sudah garis Tuhan dan kita tidak mempunyai daya apapun untuk merubahnya. Sedangkan apabila kita mempercayai hal yang kedua, maka mungkin ada yang mempertanyakan apakah Tuhan tidak berkuasa dan tidak peduli terhadap diri manusia? Lalu apa kegunaan Tuhan memberikan potensi beruapa akal dan daya-daya yang lain? Benar bahwa Tuhan telah memberikan anugerah terbesar bagi manusia yakni berupa akal dan hati. Bahkan dengan karunia ini pula, manusia menjadi berbeda dengan makhluk lain. Namun ini juga tidak berarti bahwa Tuhan membebaskan manusia berkehendak sesuka hati dengan tanpa campur tangan Tuhan (takdir). Manusia, alam dan seluruh semesta raya diciptakan Tuhan sebagaimana digambarkan seorang tukang jam yang membuat jam. Ia tahu dan telah memprogram bahwa jarum yang ia ciptakan akan bergerak dengan arah demikian, laju sekian dan melewati angka demi angka seperti yang ia perkirakan waktunya. Sedangkan jarumnya tidak perlu digerakkan terus menerus oleh tukang jam itu, karena ia telah memprogramnya dengan baik dan cermat. Sama halnya dengan manusia. Manusia digambarkan adalah jam yang digerakkan dan mengikuti laju dan nasib sebagaimana yang telah diprogram dan digariskan oleh pembuat jam, Tuhan. Ia bebas bergerak dengan kekuatannya sendiri tetapi ia tetap harus mengikuti arah dan program yang telah ditetapkan. Ia tidak bisa melawan kehendak penciptanya karena ia lemah dan kalah oleh kekuasaan Tuhan. 1. Manusia Sebagaimana telah disebutkan, bahwa manusia diciptakan menurut aturan dan takdir dari sang pencipta. Ia tidak mempunyai kehendak dan kekuatan yang diandalkan untuk melawan kehendak Ilahi. Lalu pertanyaan yang mungkin timbul selanjutnya, apakah fungsi Tuhan menciptakan akal dan daya-daya yang dianugerahkan kepada manusia, kalau toh ia harus mengikuti aturan Tuhan? Dalam bertingkah laku dan menjalani kehidupan, manusia tetap diberikan kesempatan untuk berbuat sesuka hati karena ia mampu untuk itu. Namun akal dan daya-daya yang dmiliki manusia itu sesungguhnya tidak lain adalah pada hakekatnya dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawabnya menjalankan garis kehidupan yang telah ditetapkan Tuhan. Jika kemudian ia tidak memenuhi tanggungjawabnya, bahkan bertentangan dengan garis yang telah ditetapkan dan benar-benar tidak dapat diperbaiki, maka ia dapat dikategorikan sebagai ‘jam yang rusak’ dan perlu masuk tong sampah. Namun apabila kerusakan yang diderita manusia itu hanya kerusakan-kerusakan ringan, Tuhan tentu tidak akan membiarkan ia berlarut-larut dalam kebimbangan. Hidayah dan ‘perbaikan-perbaikan seperlunya’ tentu akan diberikan Tuhan dengan jalan yang tidak terduga-duga. 1. KESIMPULAN Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara Mu’tazzilah dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar sebagai berikut: 1. Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam. 2. Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas. 3. Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita. PENUTUP Demikianlah sedikit coretan hasil buah pemikiran seorang yang masih awam dalam hal keilmuan. Tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran, kritik dan masukan yang konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi kita bersama, amin. DAFTAR PUSTAKA Aceh, Abu Bakar, Prof. Dr. H. Sejarah Filsafat Islam. Solo: Ramadhani. 1989. Al Syahrastani, Abi Al Fath Muhammad Abd. Al Karim Ibn Abi Bakr. Al Milal wa Al Nihal. Beirut: Darl Al Fikr. t.t.. Amin, M. Mansyur, ed.. Teologi Pembangunan. Yogyakarta: LKPS NU. 1989. Ensiklopedi Islam. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 1993. Fukuyama, Francis. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam. 2001. Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1992. —————-. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Muin, Taib Tahir Abdul. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya. 1986. Nasution, Harun. Teologi Islam. Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar