Rabu, 14 Desember 2011

HUBUNGAN TASAWUF, ILMU KALAM, FILSAFAT DAN PSIKOLOGI

HUBUNGAN TASAWUF, ILMU KALAM, FILSAFAT DAN PSIKOLOGI

Setiap disiplin ilmu pasti memiliki keterkaitan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya itu memiliki kedudukan masing masing, ada yang menjadi ilmu pokok (ushul), cabang (furu’), pengantar (muqadimah) dan pelengkap (mutamimmah).
Membahas mengenai ilmu tasawuf, maka tidak akan terlepas keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya seperti: ilmu kalam, filsafat dan psikologi. Keterkaitan antara ilmu-ilmu ini adalah sebagai mutamimmah. Untuk lebih mengetahui lebih dalam mengenai hubungannya, terlebih dahulu kita memahami pengertian-pengertiannya.
HUBUNGAN TASAWUF, ILMU KALAM, FILSAFAT DAN PSIKOLOGI
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki keterkaitan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya itu memiliki kedudukan masing masing, ada yang menjadi ilmu pokok (ushul), cabang (furu’), pengantar (muqadimah) dan pelengkap (mutamimmah).
Membahas mengenai ilmu tasawuf, maka tidak akan terlepas keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya seperti: ilmu kalam, filsafat dan psikologi. Keterkaitan antara ilmu-ilmu ini adalah sebagai mutamimmah. Untuk lebih mengetahui lebih dalam mengenai hubungannya, terlebih dahulu kita memahami pengertian-pengertiannya.

2.1 Pengertian Tasawuf, Ilmu Kalam, Filsafat dan Psikologi Agama
Tasawuf adalah ajaran (cara dan sebagainya) otak mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar denganNya. Tasawuf, sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spritual dzauqiyah manusia dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut. Tasawuf berusaha mengetahui dan menemukan Kebenaran Tertinggi (Allah SWT) dan bila mendapatkannya, seorang sufi tidak akan banyak menuntut dalam hidup ini.
Ilmu kalam menurut Ibnu Kaldun adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional. Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) dan Dalil Naqli (Al-Qur’an dan Hadis).
Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumannya. Pengetahuan indera mencakup segala sesuatu yang dapat diindera. Batasnya: segala sesuatu yang tidak tertangkap panca indera; pengetahuan ilmu mencakup sesuatu yang dapat diteliti (riset). Batasnya: segala sesuatu yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian;pengetahuan filsafat mencakup segala sesuatu yang dapat difikir oleh akal budi (rasio). Tiga ciri berfikir filsafat, yaitu radikal, sistematis, universal.
Menurut DR. Jalaluddin, psikologi Agama adalah cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing.

2.2 Titik Persamaan Tasawuf, Ilmu Kalam, Filsafat dan Psikologi Agama
Tasawuf, ilmu kalam, filsafat dan psikologi agama mempunyai kemiripan objek kajian Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Lalu yang menjadi titik persamaan antara tasawuf dengan psikologi agama adalah sama-sama membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentu tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman.

2.3 Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argument rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertedensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Qur’an dan Hadits. Ilmu kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli).
Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohani). Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan dalam prilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama salaf, maka hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniyah dalam perdebatan kalam, sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniyah, ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniyah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah (hati).
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi.
Begitu juga ilmu tauhid dapat memberi konstribusi kepada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya, dengki, hasud dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak memiliki rasa sombong dan membanggakan diri. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah.
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

2.4 Keterkaitan Ilmu Tasawuf Dengan Filsafat
Ilmu tasawuf berkembang didunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminology jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminology yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh, salah satunya Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb, hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

2.5 Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
Dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan prilaku yang dipraktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat, zat dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi).
Ahli-ahli di bidang perawatan jiwa, terutama di negara-negara yang telah maju, memusatkan perhatiannya pada masalah mental sehingga mampu melakukan penelitian-penelitian ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dan keadaan mental. Mereka telah menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas, yang membagi manusia menjadi dua golongan besar, yakni golongan yang sehat dan golongan kurang sehat.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup. Orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara yang membawa dirinya dan orang lain pada kebahagiaan. Di samping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas sehingga terhindar dari kegelisahan dan gangguan jiwa, dan moralnya pun tetap terpelihara.
Pada perilaku yang sehat mental tidak akan tampak sebuak sikap yang ambisius, sombong, rendah diri dan apatis. Sikapnya terkesan wajar, menghargai orang lain, merasa percaya kepada diri dan selalu gesit. Setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagiaan bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya pun digunakan untuk menfaat dan kebahagiaan bersama. Kekayaan dan kekuasaan yang ada padanya bukan untuk bermegah-megah dan mencari kesenangan sendiri, tanpa mengindahkan orang lain, tetapi digunakan untuk menolong orang miskin dan melindungi orang lemah.
Sebaliknya, golongan yang kurang sehat mentalnya sangat luas, mulai yang paling ringan sampai yang paling berat. Dari orang yang yang merasa terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Berbagai penyakit tersebut sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidak tenangan itu akan memunculkan penyakit mental, yang pada gilirannya akan menjelma menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang disepakati.
Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan prilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat menjadi milik tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji, semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sinilah tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa atau ilmu kesehatan mental.



Daftar Pustaka
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia offline.
2. Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, C.V Pustaka Setia, Bandung, 2000.
3. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, C.V Pustaka Setia, Bandung, 2010.
4. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, DR., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
5. Abdul Qadir al-Jilani, Syekh, Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
6. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.

1 komentar: