Senin, 05 Desember 2011

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA PERIODE PERTENGAHAN [1250 – 1800 M]

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA PERIODE
PERTENGAHAN [1250 – 1800 M]

Pada mada pertengahan ini, pembahasan difokuskan pada faktor kemajuan, kemunduran, dan kehancuran khilafah Abbasiyah. Masa ini merupakan awal kemunduruan bagi umat islam, setelah lebih dari lima abad [132-656 H/750–1258 M] mampu membentuk dan mengembangkan kebudayaan Islam hingga mampu membawa peradaban yang tinggi dan mengalami kejayaan dibawah pemerintahan Daylat Abbasiyah1.
Puncak kejayaan daulat ini terjadi pada masa Khalifah Harun al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga sampai masa Al Mutawakkil. Pada masa Harun al Rasyid, kekayaan negara yang banyak sebagian besar dipergunakannya untuk mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedokteran dan farmasi. Sementara pada masa Al Ma’mum, ia gunakan untuk menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, serta mendirikan Bait al Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di dalamnya diajarkan berbagai cabang ilmu, seperti kedokteran, matematika, geografi dan filsafat. Disamping itu, masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk mempelajari berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai halaqah di dalamnya.
Pada masanya, kota Bagdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan2.
1. Faktor-faktor Kemajuan
Masyarakat Islam pada masa Abbasiyah ini, mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :
a. Faktor Politik
Faktor politik yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam, adalah sebagai berikut :
1) Pindahnya ibu kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai Ibu kotanya [146 H]. Bagdad pada waktu itu merupakan kota yang paling tinggi kebudayaannya, dan merupakan pusatnya ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani.
2) Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana. Khalifahkhalifah Abassiyah, misalnya Al Mansur, banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan Persia.
3) Diakuinya Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa khalifah Al Ma’mum pada tahun 827 M. Mukhtazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir pada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa Dinasti Abassiyah I.
b. Faktor sosiografi
Faktor sosiografi yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan ilmu dan peradaban Islam, adalah sebagai berikut :
1) Meningkatnya kemakmuran umat Islam yang mengandalkan hasil dari bidang berbagai industri, kebudayaan berkembang pesat dan kemakmuran dapat tercapai pada saat itu.
2) Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Persia dan Romawi yang masuk Islam kemudian menjadi muslim yang taat. Dan terjalinnya perkawinan antara umat Islam dengan mualaf yang menghasilkan keturunan yang militant selain postur tubuh yang baik, kecerdasan akal, dan kecakapan berusaha,
3) Pribadi beberapa khalifah pada masa itu, seperti Al Mansur, Harun al Rasyid, dan Al Ma’mum yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga kebijaksanaanya banyak ditujukan kepada kemajuan ilmu pengetahuan.
c. Aktivitas Ilmiah
Ada beberapa aktivitas ilmiah yang berlangsung di kalangan umat Islam pada masa dinasti Abbasiyah yang mengantar mereka mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, yaitu:
1] Penyusunan Buku-buku Ilmiah
Dari para penghafal ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits, menyusun kitab tafsir, fiqih dan hadits
2] Penerjemahan
Penerjemahan dari bahasa Yunani, Suryani, dan sansekerta ke bahasa arab, yang meliputi buku-buku tentang kedokteran,obat-obatan, Biologi dan kimia. aljabar, ilmu hisab, dan menerjemahkan buku-buku karangen filofo terkenal seperti Apollonius, Plato, Aristoteles di himpun dalam perpustakaan

d. Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin mengantarkan merekamencapi puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah. Penerjemahan yang dilakukan dengan giat menyebabkan mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu Yunani, Persia, dan India, yang pada akhirnya kaum Muslimin mampu membangun kebudayaan ilmu, baik ilmu agama maupun filsafat dan sains [ilmu umum]. Fenomena ini menarik perhatian para ahli sejarah kebudayaan Islam karena sebagian besar orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan adalah kaum Mawaly [muslim bukan turunan Arab atau bekas budak], terutama mereka yang berasal dari keturunan Persia.

Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists [500 – 400 SM] adalah Socrates [469 – 399 SM], kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al- Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sejarawan menempatkan Al-Kindi sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al-Nadhim mendudukkan Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam [natural philosophy]. Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penterjemah terbaik kitab-kitab ilmukedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Disamping sebagai penterjemah, Al-Kindi menulis juga berbagai makalah.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal. Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf [mistisisme].
Demikianlah puncak kejayaan yang dialami oleh khalifah Abbasiyah hingga masa khalifah Al Mutawakkil. Namun sepeninggalnya, daulat ini mulai mengalami kemunduran karena khalifah-khalifah penggantinya pada umumnya lemah dan tidak mampu melawan kehendak tentara yang sangat berkuasa di istana. Kondisi demikian akhirnya menjadikan khalifah tak ubahnya seperti sebuah boneka yang berada di tangan meeka. Roda pemerintahan tidak lagi diatur oleh khalifah, melainkan diatur oleh tentaratentara dari Turki.

Pada masa inilah daulat Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sungguh pun telah mengalami berkali-kali pergantian khalifah, kemunduran daulat ini berakhir pada masa khalifah Al Mu’tashim [1242-1258 M]. Pada masa pemerintahannyalah kota Bagdad dihancurkan oleh Hulagu Khan.
Selanjutnya, pembahasan ini akan mencoba untuk mengkaji latar belakang masa kemunduran dan factor-faktor kemundurannya hingga mengalami kehancurannya. Hal ini tentu sangat menarik untuk dikaji, karena suatu dinasti yang begitu besar dengan ditopang oleh perekonomian yang mapan serta kebudayaan maupun peradaban yang tinggi perlahan-lahan mundur dan kemudian hancur.

A. LATAR BELAKANG KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Setelah mengalami masa kejayaan, umat Islam mengalami masa kemunduran dalam berbagai bidang. Hal ini dimulai dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Bagdad dan di Cordova.
Bagdad yang merupakan pusat kedaulatan Abbasiyah yang pertama kali dipimpin oleh Abu Abbas As Saffah, telah menguasai berbagai daerah yang ada dan memimpin daerah tersebut. Di bawah kekuasaan daulah Abbasiyah Islam mengalami kemajuan dalam berbagai bidang terutama dalam bidang pendidikan. Para pemimpin daulah Abbasiyah lebih memikirkan bidang pendidikan daripada daulah umayyah sebelumnya yang lebih focus pada bidang kemiliteran.
Daulah Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang pendidikan pada masa kekhalifahan Al Makmun. Khalifah Al Makmun adalah seorang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan diatas segalanya dan dia juga selalu memikirkan agama Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut. Dia berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani serta mengembangkan ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan baru. Filsafat Yunani yang bersifat rasional menjadikan Khalifah Al Makmun terpengaruh dan mengambil teologi Mu’tazilah menjadi teologi negara. Dalam masa itu, Islam menjadi Negara yang tak tertandingi dalam bidang pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu pengertahuan terhadap dunia.
Namun setelah silih bergantinya Khalifah, Islam mulai mengalami kemunduran terhadap bidang pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan keruntuhan daulah Abbasiyah sebagai suatu kedaulatan yang besar. Terjadinya jurang pemisah antara kekhalifahan dan komunitas keagamaan terutama dalam hal “ kemakhlukan Al Qur’an “ yang membuat terjadinya perselisihan antara beberapa kelompok. Kelompok yang satu mengatakan bahwa Al Qur’an itu adalah amkhluk yang diciptakan oleh Allah dan kelompok yang satu lagi menyatakan bahwa Al Qur’an merupakan Kalam Allah, bukan makhluk. Hancurnya Islam pada masa daulah Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi factor interen dan factor eksteren.
Dalam bidang interen yaitu :
1. Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah Abbasiyah terutama Arab, Prsia dan Turki
2. Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah, seperti Syi’ah, khawarij, murji’ah dll.
3. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Bagdad. Dikarenakan lemahnya penerus khalifah selanjutnya maka banyak kerajaan-kerajaan kecil yang memberontak terhadap daulah Abbasiyah dan ingin membentuk dinasti sendiri.
4. Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik. Pada awalnya daulah Abbasiyah adalah suatu kerajaan yang kaya akan harta, tetapi dikarenakan penerus khalifah berikutnya terbiasa bermewah-mewah sehingga keuangan menjadi terbuang sia-sia tanpa digunakan untuk hal yang berguna.
5. luasnya wilayah kekuasaan. Untuk mengatur daerah kekuasaan yang luas ini, diperlukan rasa saling percaya antar penguasa dan bawahannya. Tapi pada masa-masa akhir daulah Abbasiyah, kepercayaan inilah yang hilang diantara mereka.
6. dominasi militer. Pada masa khalifah al Mu’tasim, banyak direkrut jajaran militer dari budak-budak Turki. Dan ada sebagian dari mereka yang diangkat menjadi gubernur untuk memimpin suatu daerah. Namun, pada kelanjutannya mereka secara perlahan mengendalikan pemerintahan. Ini juga disebabkan pengauasa daulah yang lemahdan tidak mampu melawan mereka, sehingga memberi mereka kesempatan untuk mengatur pemerintahan.
Adapun dari bidang eksterennya adalah :
1. Perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang
2. Hadirnya tentara mongaol dibawah pimpinan Hulagu Khan, yang menghancurkan daulah Abbasiyah dan membakar seluruh buku-buku ilmu pengetahuan yanga ada di Bagdad
Sebab yang terakhir inilah yang menjadi puncak runtuhnya daulah Abbasiyah di Bagdad serta mundurnya bidang pendidikan lebih tampak nyata.
Sedangkan kemunduran di Cordova pada masa daulah Umayyah II. Daulah Umayyah II yang dipimpin pertama kali oleh Abdurrahman Ad Dakhil yang merupakan pelarian dari penguasa Abbasiyah. Puncak kekuasaan daulah Umayyah II terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman III dan Al Hikam. Kemajuan pada masa itu terlihat dalam berbagai bidang antara lain bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan intelektual. Di Cordova yang merupakan pusat daulah Umayyah II telah berdiri suatu universitas yang terpercaya dan mampu menandingi dua universitas besar lainnya, yaitu universitas Al Azhar di Kairo dan Nizamiyah di Bagdad. Universitas ini menarik banyak mahasiswa, baik mahasiswa kristen maupun mahasiswa dari negara Eropa lainya.
Pertemuan antara peradaban Arab Islam dengan peradaban masyarakat setempat menjadikan daerah itu pada masanya mempunyai kebudayaan Islam yang tinggi. Sehingga Spanyol menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam di daerah barat. Tetapi kemajuan tersebut ditentukan oleh penguasa yang memiliki sikap kuat dan berwibawa yang mampu mempersatuka Islam.
Setelah mencapai kemajuan da kesuksesan dalam berbagai bidang dan selama beberapa abad menjadi kiblat ilmu engetahuan, akhirnya mencapai kemunduaran yang disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya yaitu :
1. Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya munculnya perebutan kekuasaan diantara ahli waris
2. Lemahnya figur dan kharismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al Hakam II. Khalifah hanyalah sebagai simbol saja, sedang pelaksanaan pemerintahannya dijalankan oleh Wazir
3. Perselisihan diantara umat Islam itu sendiri yang disebabkan perbedaan kepentingan atau karena perbedaan suku dan kelompok yang merupakan peluang bagi pihak kristen untuk memecah belah Islam
4. Konflik umat Islam dan kristen, kebijakan para penguasa Muslim yang tidak melakukan Islamisasi secara sempurna dan hanya diwajibkan membayar upeti pada penguasa Islam di Spanyol
5. Munculnya Muluk At Tawaif ( kerajaan-kerajaan kecil ) yang masing-masing saling berebut kekuasaan.
Hal ini diperburuk dengan serangan pihak kristen yang sudah menyatu dan letak Spanyol yang terpencil dari daerah Islam lainnya sehingga Spanyol harus berjuang sendri tanpa adanya bantuan.
Dengan runtuhnya kekuaan Islam di Bagdad dan di Cordova maka mulailah kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam. Dan kehancuran total yang dihadapi kota-kota pendidikan dan kebudayaan Islam yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya pemikiran yang disebabkan antara lain :
1. Telah berlebihnya filsafat Islam ( yang bersifat Sufistik )
Kehidupan sufi berkembang dengan cepat. Keadaan umat yang frustasi menyebabkan kembali pada Tuhan dalam arti bersatu dengan tuhan, sebagaimana duiajarkan oleh para sufi. Di setiap Madrasah diajarkan tentang ajaran-ajaran sufisme, sehingga di dalam Madrasah hanya ada ilmu-ilmu agama sedangkan ilmu-ilmu lainnya tidak termasuk dalam pengajaran.
1. Sedikitnya kurikulum Islam
Pada Madrasah-madrasah, pengajaran umumnya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, seperti ilmu-ilmu yang murni yaitu : Tafsir, Hadis, Fikih dan Ushul Fikih, Ilmu Kalam, dan Teologi Islam sudah mulai tertinggal karena penyempitan kurikulum pada masa itu. Pada beberapa Madrasah tertentu, Ilmu Klam dicurigai, yang lebih di fokuskan kepada ilmu yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan juga materi yang ada banyak sedangkan waktu yang diberikan untuk mempelajarinya hanya sedikit sehingga para pelajar tidak terlalu memahami suatu ilmu.
1. Tertutupnya pintu ijtihad
Dengan dikuranginya kebebsan berpendapat dan memikirkan sesuatu dengan akal, maka banyak para ahli tersebut hanya mengutip ijtihad para ahli sebelumnya tanpa menemukan pemecahan terbaru tentang hal-hal permasalahan yang sedang berkembang dari hasil pemikiran mereka. Sehingga timbul pernyataan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Melihat hal-hal tersebut, maka jelaslah Islam mengalami masa kemunduran terutama dalam bidang pendidikan.
A. SISTEM PENDIDIKAN ISLAM PERIODE KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Kemunduran pendidikan Islam terletak pada merosotnya mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Materi pelajarannya seperti dijelaskan Zuhairini yang dikutip oleh Syamsul Nizar, sangat sederhana. Materi yang diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu-ilmu keagamaan. Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu pengetahuan. Rasionalismepun kehilangan peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis, penelitian dan ijtihad tidak lagi dikembangkan.
Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan temuan-temuan baru. Keterpesonaan terhadap buah fikiran masa lampau membuat umat Islam merasa cukup dengan pa yang sudah ada. Mereka tidak mau berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan keagamaan yang cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimatnya secara semantik atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan para ulama lain.
Diantara sebab-sebab kemacetan pemikiran dan kemunduran umat Islam adalah lenyapnya metode berfikir rasional, yang pernah dikembangkan oleh mu’tazilah. Pemikiran rasional mu’tazilah yang telah menimbulkan peristiwa ” mihnah ”, telah mengundang antipati umat Islam bukan saja terhadap aliran mu’tazilah tetapi juga terhadap metode berfikir rasional. Sejak saat itu, masyarakat tidak mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filosofis. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya fikir masyarakat Muslim sampai akhirnya pola berfikir mereka didominasi oleh supertisi, tahayul dan kejumudan.
Antipati terhadap mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kurikulum. Jatuhnya paham mu’tazilah mengangkat posisi kaum konservatif menjadi kuat. Untuk mengembalikan paham Ahlussunnah sekaligus memperkokohkannya, ulama-ulama melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendikan. Karena ulama dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan dan masalah hukum Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan fundamental bahwa wahyu merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh karena itu mereka hanya mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga pendidikan Islam.
Ketauhidan yang diajarkan Muhammad SAW telah diselubungi khurafat dan paham kesufian. Mesjid-mesjid ditinggalkan khurafat oleh golongan besar dan awam. Mereka menghias diri dengan azimat penangkal penyakit dan tasbih. Mereka belajar pada fakir dan darwis serta menziarahi kuburan orang-orang keramat.mereka memuja orang-orang itu sebagai orang suci dan perantara dengan Allah, karena menganggap Dia begitu jauh bagi manusia biasa untuk pengabdian langsung.
Sebagaimana yang dikatakan oleh M. Natsir yang dikutip oleh Chadijah Ismail, kemurnian tauhid terancam, guru-guru, pemimpin-pemimpin kerohanian dikultus, dijadikan perantara menziarahi kuburan dan barang-barang peninggalan orang tua-tua dikeramatkan. Dengan rusaknya kemurnian tauhid, hubungan antara hamba dengan Tuhannya menjadi kabur, hubungan hamba dengan sesama manusia dan alam sekitarnya jadi tidak karuan. Amal Ibadah yang tadinya murni, kemasukan berbagai macam bid’ah dan khurafat. Esencial demokrasi dalam tata negara digantikan oleh feodalisme dalam bermacam-macam bentuk dan intensitasnya. Ruh ijtihad, kemerdekaan berfikir, semangat untuk menjajah, mencari kebenaran merosot, yang tumbuh malah jiwa serba turut ( taqlid ). Daya cipta lumpuh, yang timbul adalah daya imitasi dan kesenian berakomodasi dengan situasi kondisi.
Umat Islam banyak terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok politik, aliran-aliran ilmu kalam dan filsafat Islam, golongan dan mazhab hukum fikih, jamaah-jamaah sufi dan tarikat. Ditambah dengan banyaknya hadits-hadits palsu dibuat orang dan tidak diperiksa dengan teliti sanad dan rawinya. Israiliyat dan nasraniyat dalam penafsiran sangat merusak citra Al Qur’an. Pintu ijtihad tertutup rapat.
Universitas Al Azhar yang didirikan abad X M jauh ditinggalkan oleh universitas Paris, Oxford dan Cambrige yang baru berdiri abad XIII M. universitas Islam Deobamd di India dan universitas Zaitunah di Tunisia tadak lagi dapat disebut universitas-universitas yang diharapkan oleh Al Qur’an.
Mata pelajaran seperti : Astronomi, física, nimia, kedokteran, biologi, sosiologi, ekonomi, politik sudah ditinggalkan karena dianggap bukan pelajaran agama, tapi itu ilmu umum. Padahal Al Qur’an tidak pernah membedakan bahwa kelompok pertama adalah ilmu agama dan kelompok kedua adalah ilmu umum.
Disamping itu, di zaman kemunduran banyak berkembang ajaran-ajaran tarekat yang tidak ada sandarannya Al Qur’an dan Hadits yang dapat dipegangi. Jabarti yang dikutip oleh Chadijah Ismail mengatakan : “ Orang Islam yang dulu pernah pertama kali mendirikan rumah sakit dan telah maju dalam bidang kedokteran, yang telah memberikan inspirasi bagi pendirian rumah sakit di seluruh Eropa, Semarang jatuh ke dalam keadaan yang menyangka percobaan nimia Francis semacam sihir.
Di dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta dikalangan umat. Dengan sikap hidup fatalistas tersebut, kehidupan mereka Sangay status, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fikih. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fikih lama dianggap sesuatu yang sudah baku, mantap dan benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.
Kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang menjadi zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah dibawah bimbingan an otoritas guru-guru sufi, yang selanjutya dikembangkan untuk menuntun para murid, yang dikenal berikutnya dengan istilah tarekat.
Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman yang dikutip oleh Syamsul Nizar : ” Di madrasah-madrasah yang bergabung dalam halaqah-halaqah dan zawiat-zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan kedalam kurikulum formal, kurikulum akademis yang terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi”.
Seseorang yang frustasi dan fatalis, tidak lagi percaya kepada kemampuannya untuk maju atau mengatasi problem kagamaan dan kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkna diri kepada Tuhan. Untuk itu mereka masuk ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam hidup umat Islam.
Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian penguasa terhadap kehidupan intelektualisme, menambah umat Islam semakin tidak bergairah untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu pengetahuan Islam mengalami stagnasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar