Senin, 05 Desember 2011

KOMPETENSI KEPRIBADIAN

MENGENAL, MENGEMBANGKAN, DAN
MEMBERDAYAKAN DIRI














DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN
DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
2009
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Dimensi Kompetensi 2
C. Kompetensi yang Hendak Dicapai 2
D. Indikator Pencapaian 2
E. Alokasi Waktu 3
F. Skenari 3
BAB II PENGENALAN DIRI 5
A. Mengenal Diri Sendiri 6
B. Mengenal Emosi Diri 14
C. Kepribadian 16
D. Kepribadian Tipe A dan B ......................................................... 19
E. Cara Membina Hubungan yang Lebih Baik 25
F. Persepsi Diri 34
BAB III MENGEMBANGKAN DIRI 36
A. Rasa Percaya Diri 36
B. Optimisme 41
C. Efikasi Diri 46
D. Asertifitas 50
E. Disiplin Diri 53
F. Daya Juang 54
G. Manajemen Waktu 56
BAB IV MEMBERDAYAKAN DIRI 58
A. Motivasi Kerja 81
B. Pengertian Komitmen terhadap Perubahan Organisasi
Pendidikan …………………………………………………......... 63
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen terhadap
Perubahan Organisasi Pendidikan……...………………………... 67
D. Pengertian Komitmen Kerja 75
E. Faktor-faktor Komitmen Kerja 77
F. Motivasi Kerja 81

DAFTAR PUSTAKA 89




DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Paduan Gaya Hubungan ............................................... 17

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Guna mewujudkan visi tersebut tentu segala sumber daya harus dikerahkan adar berfungsi optimal sesuai dengan posisi dan kapsistas masing-masing. Semua pendidikan dan tenaga kependidikan serta siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini hendaknya memiliki komitmen yang sama.
Salah satu unsur tenaga kependidikan yang memiliki peran strategis untuk membina, memantau, memberikan supervisi, dan mengevaluasi satuan atau lembaga pendidikan adalah Pengawas. Melihat tugasnya tersebut, pengawas memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan mutu pendidikan, yang pada akhirnya akan mewujudkan visi pendidikan nasional di atas. Peran tersebut tentunya menurut penguasaan berbagai kompetensi pada diri pengawas.
Kompetensi kepribadian bagi pengawas mendasari seluruh kompetensi lainnya, karena berkaitan dengan aspek nilai, sikap, perilaku, motivasi dan komitmen. Tanpa didukung oleh pribadi yang baik maka pengawas tidak akan dapat menunaikan tugasnya secara optimal, terutama dalam membina para kepala sekolah dan guru. Pengawas yang memiliki kepribadian menarik, mudah berkomunikasi, terbuka, berpikir dan bersikap positif, serta dapat melihat dan menempatkan dirinya secara proporsional sangat diperlukan. Kepribadian semacam ini dapat dikembangkan melalui tahapan mengenal diri sendiri, mengembangkan diri dan memberdayakan diri sendiri, walaupun selanjutnya pengawas juga diharapkan dapat mengenal, mengembangkan dan memberdayakan orang lain.
Dengan latar belakang di atas, maka materi pelatihan pengenalan, mengembangkan, dan memberdayakan diri (dan orang lain) ini menjadi penting dalam rangka mengembangkan pengawas pendidikan yang kompeten.

B. Dimensi Kompetensi
Dimensi kompetensi yang diharapkan dibentuk pada akhir pendidikan dan pelatihan ini adalah dimensi kompetensi kepribadian, yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap pengawas terhadap bagaimana mengenal, mengembangkan dan memberdayakan diri sendiri dan orang lain, untuk keberhasilan pelaksanaan tugas serta tanggungjawabnya.

C. Kompetensi yang Hendak Dicapai
Setelah menyelesaikan pelatihan ini Pengawas diharapkan dapat memahami cara mengenali dan menemukan kekuatan dan kelemahan pada diri sendiri, mengembangkan diri menjadi pribadi yang dapat diberdayakan dan berprestasi, sehingga membantu dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.

D. Indikator Pencapaian
Setelah mengikuti pelatihan ini, Pengawas diharapkan dapat:
1. Menjelaskan konsep pengenalan diri dan langkah-langkahnya
2. Mengidentifikasi tipe kepribadiannya sendiri
3. Mengembangkan kepribadian diri, agar dapat bersikap dan berperilaku asertif, percaya diri, optimis, komitmen dan berdaya juang tinggi.
4. Menjelaskan langkah-langkah dalam memotivasi serta memberdayakan diri dan orang lain.
5. Melaksanakan pembinaan, pengembangan dan pemberdayaan kepada kepala sekolah/guru sesuai dengan tipe kepribadian dan kecenderungan perilaku masing-masing.




E. Alokasi Waktu
No. Materi Diklat Alokasi
1. Pengenalan diri 2 jam
2. Mengembangkan diri 3 jam
3. Memotivasi diri 2 jam
4. Memberdayakan diri 3 jam
Jumlah 10 Jam

F. Skenario
1. Icebreaking dan Perkenalan
2. Penjelasan tentang dimensi kompetensi, indikator, alokasi waktu dan skenario pendidikan dan pelatihan pengenalan diri.
3. Pre-test
4. Eksplorasi pemahaman peserta berkenaan dengan langkah-langkah pengenalan diri, mengembangkan diri, dan memberdayakan diri, melalui pendekatan andragogi.
5. Penyampaian Materi Diklat:
a. Menggunakan pendekatan andragogi, yaitu lebih mengutamakan pe-ngungkapan kembali pengalaman peserta pelatihan, menganalisis, me-nyimpulkan, dan menggeneralisasi dalam suasana diklat yang aktif, ino-vatif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan bermakna. Peranan pelatih le-bih sebagai fasilitator, konselor, dan instruktur. Metode diklat yang di-terapkan meliputi ceramah interaktif, game dinamika kelompok yang relevan, diskusi kelompok terfokus, studi kasus, simulasi, pembuatan rancangan tindakan, didukung dengan penggunaan multi media yang tepat.
b. Diskusi kelompok terfokus tentang indikator keberhasilan pengenalan diri, mengembangkan dan memberdayakan diri serta orang lain.
c. Simulasi dan Praktik pengenalan, mengembangkan, dan memberdaya-kan diri serta orang lain.
6. Post test.
7. Penutup melalui refleksi bersama antara peserta dengan pelatih mengenai jalannya pelatihan.
BAB II
PENGENALAN DIRI

Profesi apa pun yang dipilih seseorang pasti menuntut tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Demikian pula dengan profesi Pengawas Pendidikan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun2007 Tentang Standar Kompetensi Sekolah/madrasah dinyatakan bahwa seorang pengawas satuan pendidikan memiliki tugas (1) melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan (2) meningkatkan kualitas proses belajar mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Dari uraian tugas tersebut jelas bahwa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, para pengawas satuan pendidikan harus memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain (dalam hal ini kepala sekolah, guru, dan staf sekolah) dan mampu memotivasi mereka untuk terus maju dan berubah ke arah lebih baik.
Akan tetapi, berhubungan dengan orang lain dan mendorong mereka untuk berubah bukanlah sesuatu yang mudah. Pernahkan kita merenungkan, mengapa seseorang memberikan respons yang berbeda dengan orang lain padahal kita menyatakan hal yang sama dan dengan cara yang sama pula kepada mereka? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa tiap manusia memiliki tipe kepribadian yang berbeda, dan setiap tipe kepribadian memiliki prioritas yang berbeda pula, baik dalam bertindak, berinteraksi, maupun bereaksi terhadap orang lain. Karena adanya perbedaan inilah, maka para pengawas satuan pendidikan perlu memiliki bekal untuk mengenali berbagai karakteristik kepribadian, baik karakteristik kepribadian dirinya sendiri maupun orang lain, sehingga bisa menjalin hubungan dengan baik untuk bisa mencapai tujuan yang diharapkan.

A. Mengenal diri sendiri
Pengenalan diri dimulai dari memahami diri sendiri, meliputi tahu dari apa kita dibuat, tahu siapa diri kita sesungguhnya, tahu mengapa kita bereaksi seperti yang kita lakukan, tahu kekuatan kita dan bagaimana cara kita meningkatkannya, tahu kelemahan kita dan bagaimana cara kita mengatasinya. Setiap orang menginginkan kepribadian yang lebih baik. Kita terburu-buru ke kursus kepribadian yang menjanjikan untuk mengubah kita menjadi orang yang otaknya cemerlang dalam waktu duapuluh empat jam; pengalaman evaluasi diri yang akan menjadikan kita dewa-dewa kecil dengan tenaga maksil; atau pelajaran sensitivitas, tempat kirta akan meraba-raba jalan kemasa depan yang fantastis.
Kalau kita semua seperti telur yang identik dalam sebuah karton, seekor ayam betina raksasa bisa menghangatkan kita dan mengubah kita menjadi anak ayam yang manis atau ayam jago yang gagah dalam sekejap mata, tetapi kita semua berbeda. Kita semua dilahirkan dengan rangka kekuatan dan kelemahan kita sendiri, dan tidak ada rumus ajaib yang bisa bekerja seperti mukjizat bagi kita semua. Sebelum kita mengenal keunikan kita, kita tidak bisa memahami bagaimana orang bisa duduk dalam seminar yang sama dengan pembicara yang sama dalam jumlah waktu yang sama pula dan semuanya mepunyai tingkat sukses yang berbeda-beda.
Kepribadian plus melihat diri sebagai individu yang merupakan campuran dari empat watak dasar dan mendorong kita untuk mengenal saya yang sesungguhnya dari dalam sebelum berusaha mengubah apa yang tampak pada permukaan.
Ketika Michelangelo siap untuk memahat patung David, dia melewatkan waktu untuk memilih marmer, sebab dia tahu bahan mentah akan menentukan keindahan proses belajar mengajar yang sudah jadi. Dia tahu bahwa dia akan mengubah bentuk batu, tetapi dia tidak bisa mengubah mutu dari bahan dasarnya.
Kita dilahirkan dengan ciri khas watak kita sendiri, bahan mental kita sendiri. Beberapa kita granit, beberapa lainya marmer, beberapa lainya lagi pualam, dan yang lainya lagi batu pasir. Jenis batu kita tidak berubah, tetapi bentuk kita bisa diubah. Demikian pula dengan kepribadian kita. Kita mulai dengan rangkaian ciri-ciri kita yang kita bawa masing-masing. Beberapa kualitas kita indah bertahtakan emas. Beberapa lainnya bercacat dan bergaris-garis kelabu. Keadaan kita, IQ kita, kebangsaan kita, ekonomi kita, lingkungan kita, pengaruh orangtua kita bisa mencetak kepribadian kita, tetapi batu dibawahnya masih tetap sama.
Watak saya adalah diri saya yang sesungguhnya; kepribadian saya adalah pakaian yang saya kenakan. Saya bisa melihat ke cermin di pagi hari dan melihat wajah yang biasa-biasa saja, rambur lurus, dan tubuh gemuk. Itulah diri saya yang sesungguhnya. Syukurlah saya dalam waktu satu jam saya bisa membubuhkan makeup untuk menciptakan wajah yang warna warni; saya bisa mencolokkan besi pengeriting untuk membentuk rambut saya; dan saya bisa memakai gaun indah untuk menyamarkan terlalu banyak bagian tubuh yang menggembung. Saya telah memanggil diri saya yang sesungguhnya dan memberinya pakaian, tetapi saya belum secara permanen mengubah apa yang ada dibawahnya.

1. Pengertian Kepribadian
Secara garis besar, persoalan dalam psikologi kepribadian berkisar di sekitar dua persoalan pokok, yaitu: menentukan apakah kepribadian itu dan usaha untuk mengukur apa yang telah ditentukan itu. Usaha-usaha untuk me-mecahkan persoalan yang pertama menghasilkan berbagai macam konsep dan teori tentang kepribadian, sedangkan usaha untuk memecahkan persoalan yang kedua menghasilkan berbagai alat atau tes untuk mengungkapkan atau mengu-kur kepribadian (Suryabrata, 2000). Apabila seseorang ingin mempelajari ma-salah kepribadian maka yang akan dijumpainya bukan hanya satu teori saja, melainkan bermacam-macam teori tentang kepribadian. Untuk mempermudah pemahaman maka dari sekian banyak teori tentang kepribadian tersebut dilakukan penggolongan-penggolongan.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian kepribadian yang te-lah dinyatakan oleh beberapa ahli psikologi, meskipun tidak semua batasan kepribadian dapat diakomodasikan di sini. Allport menyatakan bahwa kepriba-dian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkung-annya (dalam Suryabrata, 1998). Bischof (1970) menyatakan bahwa kepriba-dian dapat dilihat sebagai integrasi dari aspek-aspek kognitif, afektif, kongtif dan karakteristik fisik individu seperti yang diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain. Kepribadian merupakan motif perilaku atau sistem berpe-rilaku.
Sementara itu, Atkinson (1996) memberikan batasan kepribadian seba-gai pola perilaku dan cara berpikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri individu terhadap lingkungan. Eysenck (dalam Suryabrata, 1998) membe-rikan definisi kepribadian sebagai keseluruhan pola perilaku baik yang aktual maupun potensial dari organisme yang ditentukan oleh pembawaan dan ling-kungan. Menurut Cattel (dalam Hall dan Lindzey, 1999) kepribadian dipan-dang sebagai suatu hal yang dapat memungkinkan prediksi tentang apa yang akan dilakukan individu dalam situasi tertentu berkenaan pada perilaku yang menyeluruh baik perilaku yang tampak atau tidak tampak.
Berdasarkan beberapa batasan kepribadian yang telah dipaparkan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula beberapa kesimpulan berkaitan dengan pengertian kepribadian. Pertama, kepribadian bukan hanya berkaitan dengan masalah kejiwaan saja, melainkan berkaitan juga dengan masalah kognitif, afektif, konatif yang terintegrasi ke dalam kesatuan kepribadian yang nampak dalam perilaku seseorang. Kedua, kepribadian mengandung tendensi determi-nasi yang ikut memainkan peranan yang aktif dalam tingkah laku individu.
Ketiga, kepribadian ikut menentukan keunikan atau kekhasan individu yang satu dengan individu yang lainnya. Tidak ada dua orang yang benar-be-nar sama dalam caranya menyesuaikan diri terhadap lingkungan, jadi dengan demikian berarti tidak ada dua orang yang mempunyai kepribadian yang sama persis. Keempat, kepribadian mengantarai individu dengan lingkungannya. Setiap individu pasti berinteraksi dan berusaha beradaptasi dengan lingkung-annya, kepribadian ini berperan sebagai sesuatu yang mempunyai fungsi atau arti adaptasi dan menentukan (Suryabrata, 1998).
Dapat disimpulkan bahwa kepribadian menempati posisi yang mempu-nyai peranan penting dalam kehidupan seseorang. Reaksi individu terhadap lingkungan dan perilakunya ternyata dipengaruhi oleh kepribadiannya. Kepri-badian pengawas dibentuk oleh banyak faktor. Pengalaman yang diperoleh pengawas akan mempengaruhi kepribadiannya.

2. Tipe Kepribadian Introvert dan Extravert
Menurut perspektif disposisi, kepribadian dapat dibedakan berdasarkan tipenya (Carver dan Scheier, 1996). Salah satu contoh penggolongan kepriba-dian yang didasarkan atas tipologisnya adalah tipe kepribadian extravert dan introvert. Tipe kepribadian ini pertama kali dikemukakan oleh Carl Gustav Jung yang menganut aliran psikoanalisis, dengan teorinya tentang struktur kesadaran manusia (Eysenck, 1950).
Menurut Jung (dalam Suryabrata, 1998), struktur kesadaran manusia digolongkan menjadi dua , yaitu : (a) Fungsi jiwa dan (b) sikap jiwa. Fungsi jiwa yaitu suatu bentuk aktivitas kejiwaaan yang secara teoritis tidak mengala-mi perubahan dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan fungsi jiwa secara rasional, yaitu pikiran dan perasaan, dan secara irasional yaitu pen-diriaan dan intuisi. Sikap jiwa merupakan arah dari energi psikis umum atau libido yang menjelma ke dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Orientasi jiwa terhadap dunianya dapat mengarah ke dalam maupun ke luar. Jung juga menyatakan bahwa pada dasarnya dalam diri individu terdapat dua kecenderungan tipe kepribadian yang berlawanan arah, namun selalu salah satu kecenderungan tampak dominan dan yang lainnya inferior.
Kecenderungan tipe kepribadian yang dominan terdapat pada kesadar-an, sebaliknya kecenderungan kepribadian yang inferior berada dalam ketidak-sadaran. Artinya, bila dimensi introvert lebih dominan maka dimensi tersebut berada dalam kesadaran manusia, sedangkan dimensi extravert sifatnya inferi-or dan terletak dalam ketidaksadaran, begitu juga sebaliknya (Suryabrata, 1998). Tipe kepribadian extravert dan introvert merupakan suatu dimensi yang bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain pada suatu kontinum. Sugiyanto dan Adiyanti (1983) menyatakan jika seorang introvert cenderung untuk menghindari percaturan sosial, mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada keperluan untuk meluaskan pergaulan atau hubungan dengan orang lain. Hal ini tidak berarti negatif karena tidak jarang mereka mampu berpres-tasi secara menakjubkan. Seorang introvert bersembunyi bukan sekedar untuk merenung, mungkin mereka sedang berpikir tentang sesuatu obyek atau mem-pelajari sesuatu yang belum dimengerti, bahkan mungkin sedang terjadi suatu proses kreatif di dalam dirinya (Jung, dalam Mischel dan Mischel, 1973).
Eysenck (Carver dan Scheier, 1996) menyebutkan bahwa orang-orang berkepribadian introvert cenderung berhati-hati, terkontrol, kalem dan penuh pertimbangan dalam perilaku mereka. Jika mengalami ketidakstabilan emosi cenderung murung, pesimis, cemas., meskipun demikian mereka memiliki ta-raf intelektualitas tinggi, perbendaharaan kata baik, teliti tetapi lamban, taraf aspirasi tinggi, cenderung keras kepala, agak kaku, dalam keadaan stabil seo-rang introvert nampak riang dan tenang. Sebaliknya seorang bertipe kepriba-dian extravert adalah seorang yang tidak pernah “diam”, hidup adalah untuk pergaulan. Mereka tidak pernah terlepas dari kesibukan yang melibatkan keha-diran orang lain (Sugiyanto dan Adiyanti, 1983). Eysenck ( 1950) menyatakan seorang individu yang bertipe kepribadian introvert orientasi jiwanya terarah ke dalam dirinya, dalam pengambilan keputusan maka nilai-nilai subyektif berperanan penting.
Individu bertipe kepribadian extrovert, orientasi jiwanya terarah ke lu-ar, kepada obyek dan hubungan antar obyek. Individu yang bertipe kepribadi-an extrovert tipikal bersifat sosiabel, nilai-nilai obyektif berperan penting, membutuhkan orang lain untuk diajak bicara dan tidak menyukai aktifitas sendiri, menyukai perangsangan, suka melakukan tindakan beresiko secara tiba-tiba, umumnya impulsif, suka pada perubahan, cenderung agresif dan perasaannya tidak di bawah kontrol yang ketat. Sebaliknya, tipikal seorang introvert adalah pemalu, suka menyendiri dan menjaga jarak dengan orang lain, tidak percaya pada impuls seketika, tidak menyukai perangsangan, suka hidup teratur, perasaannya di bawah kontrol yang ketat, menjunjung nilai-nilai etis.


3. Faktor-Faktor Dasar kepribadian Extravert dan Introvert
Eysenck dan Wilson (1982) mengklasifikasikan ciri-ciri tingkah laku yang operasional pada tipe kepribadian extravert dan introvert menurut faktor-faktor kepribadian yang mendasarinya, yaitu :
a) Activity : Pada aspek ini diukur bagaimana subyek dalam melakukan aktivitas-nya, apakah energik dan gesit atau sebaliknya lamban dan tidak bergairah. Ba-gaimana subyek menikmati setiap pekerjaan yang dilakukan, jenis pekerjaan atau aktivitas apa yang disukainya.
b) Sociability : Aspek sociability mengukur bagaimana individu melakukan kon-tak sosial. Apakah interaksi sosial individu ditandai dengan banyak teman, suka bergaul,menyukai kegiatan sosial, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, menyukai suasana ramah tamah, atau sebaliknya individu kurang dalam kontak sosial, merasa minder dalam pergaulan, menyukai aktivitas sendiri.
c) Risk Taking : Aspek ini mengukur apakah individu berani mengambil risiko atas tindakannya dan menyukai tantangan dalam aktivitasnya.
d) Impulsiveness: Untuk membedakan kecenderungan extravert dan introvert berdasarkan cara individu mengambil tindakan, apakah cenderung impulsif, tanpa berpikir secara matang keuntungan dan kerugiannya atau sebaliknya mengambil keputusan dengan mempertimbangkan konsekuensinya.
e) Expressiveness: Aspek ini mengukur bagaimana individu mengekspresikan emosinya baik emosional sedih, senang, takut. Apakah cenderung sentimental, penuh perasaan, mudah berubah pendirian dan demonstratif, atau sebaliknya mampu mengontrol pikiran dan emosinya, tenang, dingin.
f) Reflectiveness : Aspek ini mengukur bagaimana ketertarikan individu pada ide, abstrak, pertanyaan filosofis. Apakah individu cenderung suka berpikir teoritis daripada bertindak, instropektif.
g) Responbility : Aspek ini membedakan individu berdasarkan tanggung jawab terhadap tindakan maupun pekerjaannya.
Kecenderungan tipe kepribadian extrovert-introvert ini bisa diamati dari tujuh (7) faktor yang mewarnai perilaku seseorang. Pemahaman akan ketujuh faktor tersebut akan mempermudah pemahaman akan tipe kepribadian extrovert-introvert ini. Pengawas pasti memiliki kecenderungan pada tipe-tipe di atas, sehingga dapat dipahami jika hubungan dengan orang lain khususnya kepala sekolah dan guru berbeda antara pengawas satu dengan yang lainnya. Kenyataan di lapangan pengawas dihadapkan pada kepala sekolah dan guru dengan tipe yang bervariasi, sehingga kecenderungan penanganannya juga bervariasi

4. Kita dapat mengenali perbedaan pada orang lain
Begitu kita mempunyai pengertian mengenai diri sendiri melalui telaah tentang empat watak, kita bisa membuka seluruh hubungan antar manusia yang positif. Kita dapat mengambil prinsip-prinsip yang telah kita pelajari dan menerapkannya dalam arah yang praktis. Kita bisa mengetahui orang lain yang bertipe kepribadian:
Sanguinis yang popular memasuki pesta dengan mulut terbuka, menc-ari pendengar. Tidak bisa hanya beristrirahat diam-diam dan rileks. Sanguinis yang popular akan berpindah-pindah dari satu kelompok lainya. Sanguinis yang popular berbicara secara ektrim dan bersemangat tanpa perlu ada hubu-ngannya dengan keberanian. Sanguinis yang popular adalah orang yang paling menginginkan semua perubahan, sebab mereka menyukai gagasan dan proyek baru, dan mereka dengan tulus mengapdikan diri untuk menjadi orang yang popular dan tidak ofensif. Orang sanguinis yang popular paling baik dalam:
a. Berurusan dengan orang lain secara antusias
b. Menyatakan pemikiran dengan penuh gairah
c. Memperlihatkan perhatian.
Orang melankolis yang sempurna berlawanan dengan sanguinis yang popular dan orang koleris yang kuat yang masuk dengan merebut dan menon-jolkan diri, orang melankolis yang sempurna akan masuk deangan diam-diam dan tidak mencolok. Orang melankolis yang sempurna merasa sulit menerima pujian. Orang melankolis yang sempurna sering mempunyai citra diri yang ne-gatif. Orang melankolis yang sempurna tidak menyukai komentar yang keras dan dia tidak menyukai kalau anda menarik perhatian orang lain kepada diri-nya. Salah satu kepastian yang menakjubkan pada diri orang melankolis yang sem purna adalah keyakinannya bahwa tidak ada seorang pun dalam kehidup-an yang tepat seperti dirinya. Orang melankolis yang sempurna paling baik dalam:
a. Mengurus perincian dan pemikiran secara mendalam
b. Memelihara catatan, bagan, dan grafik
c. Menganalisis masalah yang terlalu sulit bagi orang lain.
Orang koleris yang kuat, seperti sanguinis yang popular, merasa sulit untuk rileks, dan dia cenderung suka duduk di tepi kursi. Orang koleris yang kuat mengetahui segala-galanya mengenai setiap persoalan dan dengan senang hati akan mengatakan kepada anda lebih dai apa yang anda perlu ketahui tentang apa saja.
Orang koleris yang kuat paling baik dalam:
a. Pekerjaan dalam keputusan yang paling cepat
b. Persoalan yang memerlukan tindakan dan pencapaian seketika
c. Bidang-bidang yang menuntut control dan wewenang yang kuat
Orang phlegmatic yang damai akan masuk perlahan-lahan, sambil tersenyum simpul, merasa senang karena begitu banyak orang datang ke perte-muan yang tidak begitu penting. Orang phlegmatic yang damai cenderung su-ka berkelompok antara sesamanya. Kalau orang koleris yang kuat meletakkan kekuatannya tepat dihadapan anda, sehingga kesalahannya juga jelas berada ditempat terbuka, orang phlegmatic yang damai menyimpan yang terbaik dan terburuk didalam selubung. Orang phlegmatic yang damai paling baik dalam:
a. Posisi penengahan dan persatuan
b. Badai yang perlu diredakan
c. Rutinitas yang terasa membosankan bagi orang lain

B. Mengenal Emosi Diri
Sekarang kita yakin Anda semua sudah memahami orang sanguinis popular yang meluap-luap dan periang, orang melankolis sempurna yang mendalam dan analitis. Kedua watak ini, sementara berlawanan sama sekali dalam tujuan dan reaksi, punya satu ciri khas yang sama. Keduanya emosional dan terpengaruh dengan keadaan. Sanguinis yang populer hidup dengan perasaan dan kehidupanya merupakan rangkaian naik turun yang cepat. Orang melankolis yang sempurna akan berdiri menjauh dan memandang kehidupan yang selalu penuh pergolongan ini dengan penilaian penuh kritik “kalau saja kita bisa tenang” “ kalau saja dia bisa menguasai perasaan”. Orang sanguinis yang popular punya suasana hati naik turun dalam satu menit, dan orang melankolis yang sempurna naik turun dalam satu bulan.
Berurusan dengan orang koleris yang kuat dan orang phlegmatis yang damai. Keduanya tidak begitu rumit, dibandingkan orang yang sanguinis yang popular dan orang melankolis yang sempurna yang emosional dan terpengaruh oleh keadaan. Orang koleris yang kuat adalah orang yang langsung, jelas, dan aktif dengan satu tujuan tunggal; melakukan dengan cara saya---SEKARANG! Punya tujuan yang diatas segala-galanya ingin menghindari kontroversi dan konflik. Orang koleris mungkin meledak-ledak ketika seseorang tidak melakukan sesuatu secara benar, tetapi setelah dia menaruh setiap orang ditempatnya, dia merasa semua sudah berahkir dan kembali ke langkahnya yang normal. Orang phlegmatis yang damai mungkin sesaat terjatuh ketingkat rendah ketika dia karena sesuatu yang gagal menghindari kesulitan, meskipun ia bertekat kuat untuk melakukannya, tetapi anda mungkin bahkan tidak memperhatikannya. Orang phlegmatic yang damai membanggakan dirinya sebagai orang yangsetabil dan berkata, “ saya tidak pernah menbiarkan siapapun tahu bagaimana perasaan saya tentang sesuatu.”
1. Kepribadian sanguinis yang popular
Sanguinis yang popular selalu menginginkan sesuatu yang baru akan berlangsung, mereka melakukan sebaik-baiknya kalau aura kesenangan bisa diterima. Orang sanguinis yang popular cenderung antusias terhadap pekerjaan baru dan melakukan yang sebaik-baiknya sampai keunikannya hilang. Sanguinis yang popular dikendalikan oleh keadaan. Emosi mereka naik dan turun mengikuti apa yang yang terjadi di sekeliling mereka.
2. Kepribadian melankolis yang sempurna
Mereka sangat perasa dan mudah sakit hati. Orang melankolis yang sempurna adalah perfeksionis, sulit bagi mereka yang menerima pekerjaan yang tidak setara dengan standar mereka.
3. Kepribadian koleris yang kuat
Mereka berbakat pemimpin, dan sifat mereka mendorong mereka ke kedudukan pemegang kontrol.
4. Kepribadian phlegmatis
Orang phlegmatic yang damai adalah orang yang paling menyenangkan dan mudah bergaul, tetapi mereka memerlukan motivasi yang positif. Orang phlegmatic bisa menetapkan tujuan, tetapi sifat mereka mencegah keingiman untuk melakukan hal itu kalau mereka bisa menghindari keharusan memikirkan hal itu jauh sebelumnya.

C. Kepribadian
Definisi kepribadian yaitu organisasi dinamik dari sistem-sistem psikologis dalam individu, yang membentuk pola karakteristik perilaku, pikiran dan perasaan individu dalam menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungan. Kepribadian dapat diartikan sebagai jumlah total dari cara-cara yang ditempuh seorang individu untuk bereaksi terhadap dan berinteraksi dengan yang lain. Kepribadian sebagai pola karakteristik tertentu dari pikiran, emosi dan perilaku yang mencerminkan gaya pribadi individu dalam berinteraki dengan lingkungan fisik dan sosial.
Menurut William Marston, tipe kepribadian seseorang dapat diketahui berdasarkan observasi terhadap pola perilaku yang ditampilkannya. Tipe kepribadian tersebut terdiri atas tipe dominant, inspiring, supportive, dan cautious. Tiap tipe kepribadian tersebut menggambarkan paduan dari dimensi gaya hubungan dengan orang lain, yaitu peramah (outgoing) atau pendiam (reserved) dan dimensi prioritas, yaitu berorientasi terhadap tugas (task-oriented) atau berorientasi terhadap orang (people-oriented). Hal ini divisualisasikan dalam gambar 2.1. di bawah ini:
OUTGOING
TASK ORIENTED D I PEOPLE ORIENTED
C S
RESERVED
Gambar 2.1. Paduan Gaya Hubungan

1. Tipe D (Dominant) merupakan perpaduan Outgoing dan Task-oriented.
2. Tipe I (Inspiring) merupakan perpaduan Outgoing dan People-oriented
3. Tipe S (Supportive) merupakan perpaduan Reserved dan People-oriented
4. Tipe C (Cautious) merupakan perpaduan Reserved dan Task-oriented
Rincian karakteristik dari tiap-tiap tipe kepribadian tersebut adalah sebagai berikut:
A. TIPE “DOMINANT”
Kata-kata penjelas Dominan (dominant), pengatur (direct), penuntut/banyak permintaan (demanding), tegas (decisive), tekun (determined), pelaku (doer)
Mind-set Lakukan! Wujudkan! Raih kemenangan! Hasil!
Hal yang disukai Kegiatan, Kompetisi, Kerja keras, Melakukan sesuatu, Tantangan, Mendapatkan hasil, Menjadi pimpinan, Menyelesaikan tugas-tugas
Mereka adalah orang yang Goal-oriented, tidak mudah puas, percaya diri, tabah, tekun, menyadari pentingnya prestasi
Dimotivasi oleh Tantangan, pilihan, pengendalian
Lingkungan yang dibutuhkan Kebebasan, kewenangan, kegiatan yang bervariasi, kesempatan berkembang
Gaya komunikasi Komunikasi lugas/terus terang
Kelemahan Kurang sensitif terhadap orang lain, kurang bisa santai, kurang sabar.

B. TIPE “INSPIRING”
Kata-kata penjelas Bersemangat (inspiring), berpengaruh (influencing), penting (important), interaktif (interactive), mengesankan (impressive), berminat pada hubungan dengan orang lain (interrested in people)
Mind-set Jadi bintang pertunjukan; bersenang-senang dan gembira!
Hal yang disukai Mempengaruhi orang lain, rencana jangka pendek, membuat orang tertawa, melakukan banyak hal/kegiatan, berbincang-bincang dengan orang lain, prestise, dipandang penting.
Mereka adalah orang yang Banyak bicara, pandai memulai hubungan, menyenangkan, cenderung membesar-besarkan, mudah gembira, senang menonton.
Dimotivasi oleh Penghargaan, persetujuan, popularitas
Lingkungan yang dibutuhkan Prestise, hubungan persahabatan, kesempatan untuk mempengaruhi orang lain, Kesempatan untuk mengilhami orang lain, kesempatan untuk mengemukakan ide.
Gaya komunikasi Bersahabat dan komunikasi informal
Kelemahan Kurang bisa mengelola waktu, kurang realistis, kurang mendengarkan orang lain, kurang memperhatikan penyelesaian tugas

C. TIPE “SUPPORTIVE”
Kata-kata penjelas Pendukung (supportive), kokoh (steady), tabah/teguh hati (stable), ramah (sweet), peka (sensitive), sentimentil (sentimental)
Mind-set Netral. Bergaullah dengan semua orang. Tidak ada konflik.
Hal yang disukai Perdamaian, harmoni, ketenteraman hati, kelompok persahabatan, kerja tim, menolong orang lain, kerjasama.
Mereka adalah orang yang Beorientasi kelompok (team-oriented), bersahabat, kooperatif, teman setia, peka terhadap kebutuhan orang lain, mau memahami dan menerima orang lain
Dimotivasi oleh Keamanan, penghargaan, kepastian/jaminan (Assurance)
Lingkungan yang dibutuhkan Wilayah khusus (specialization), identifikasi dengan kelompok, pola kerja yang mapan, situasi yang stabil, lingkungan yang konsisten
Gaya komunikasi Komunikasi yag hangat, terbuka, tulus.
Kelemahan Sulit bila harus menghadapi perubahan, tidak mampu mengatakan “Tidak”, sulit bertindak bebas/independen

D. TIPE “CAUTIOUS”
Kata-kata penjelas Hati-hati (cautious), penuh perhitungan (calculating), mampu (competent), konsisten (consistent), pemikir (contemplative), teliti (careful)
Mind-set Kerjakan sesuatu dengan benar dan sempurna. Apa rencananya? Sudahkah mempertimbangkan segala sesuatunya? Apa tujuan sesungguhnya? Mengapa?
Hal yang disukai Konsistensi, kerja hebat, mengerjakan dengan tepat, informasi/data, nilai (value), kualitas, segala sesuatu berjalan dengan benar, ada perencanaan, prosedur, kejujuran.
Mereka adalah orang yang Berorientasi pada prosedur (procedure-oriented), mengabdikan diri pada tugas, terfokus pada detail, logis, akurat, menaruh rasa hormat (respectful)
Dimotivasi oleh Jawaban berkualitas, keunggulan, nilai (value)
Lingkungan yang dibutuhkan Tugas yang ditentukan dengan jelas, sumber daya dan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas, bebas untuk mengajukan pertanyaan, resiko terbatas, tugas yang membutuhkan perencanaan dan ketepatan
Gaya komunikasi Komunikasi yang logis, tepat, dan detail.
Kelemahan Analisis berlebihan (over-analizyng), kurang mampu menepati deadline, perfeksionis, kurang mampu mengekspresikan perasaan, kurang memperhatikan pentingnya perasaan orang lain.

D. Kepribadian Tipe A dan B
1. Pengertian Kepribadian Tipe A dan B
Kepribadian individu secara garis besar dikategorikan ke dalam dua tipe oleh Friedman dan Rosenman, yaitu kepribadian tipe A dan B. Kepriba-dian tipe A dan B merupakan dua tipe kepribadian yang saling berlawanan. Friedman dan Rosenman menyebut kepribadian tipe A sebagai kepribadian yang penuh kemauan menggebu, karena ditunjukkan dengan perilaku individu yang selalu waspada, ambisius, selalu ingin bersaing, tidak sabar, dan agresif, cenderung menciptakan suasana permusuhan. Kepribadian tipe B dipandang sebagai kepribadian yang lebih tenang dan lebih lembut dibanding tipe A, karena ditunjukkan dengan perilaku yang tenang, lembut hati dan tidak kalut. Individu berkepribadian tipe A lebih berpeluang menderita stress dan lebih banyak mendapat gangguan kesehatan, dibanding tipe B. Individu berkepriba-dian tipe A cenderung melakukan sesuatu dengan cepat (berjalan, berbicara, makan), dan memiliki toleransi yang kecil terhadap individu lain yang tidak sejalan dengan dirinya.
Orientasi kepribadian tipe A adalah suatu tipe kepribadian individu yang penuh kemauan menggebu, ditunjukkan dengan perilaku agresif, ambisius, suka bersaing, tidak sabar, kurang toleransi terhadap individu lain yang tidak sejalan dengan dirinya dan lebih menekan kuantitas daripada kualitas. Kepribadian tie B merupakan kebalikan dari tipe A, yaitu suatu bentuk kepribadian individu yang tenang dan lembut, karena ditunjukkan dengan orientasi perilaku yang tenang, lembut hati, jarang menunjukkan suatu dorongan keinginan menggebu, sabar dan lebih menekankan kualitas daripada kuantitas.
2. Faktor-fator Penentu Kepribadian
Ada dua faktor yang menentukan dalam pembentukan kepribadian individu, yaitu genetik dan lingkungan.
a. Genetik
Faktor genetik memainkan peran utama dalam pembentukan kepribadian, khususnya yang berhubungan dengan keunikan atau perbedaan masing-masing individu, yaitu kecerdasan (intelligence) dan watak (temperament). Sedangkan dalam pembentukan nilai-nilai, keyakinan dan cita-cita, faktor genetik tidak banyak berperan. Contoh perbedaan individu yang dipengaruhi watak adalah tingkat aktifitas dan ketakutan. Ada individu yang selalu ingin mengisi kegiatannya dengan penuh kesibukan, namun ada individu lain yang lebih suka menjalani aktifitasnya dengan membaca buku atau tidur siang. Ada individu yang pemberani dan ada individu yang penakut atau terlalu berhati-hati. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan bersifat genetik atau diwariskan. Jika ciri-ciri kepribadian sepenuhnya ditentukan oleh keturunan, ciri-ciri tersebut sudah ada pada saat kelahiran dan tidak ada pengalaman yang bisa menggantikannya. Namun karakteristik kepribadian tidak sepenuhnya ditentukan oleh keturunan.
b. Lingkungan
Pengaruh lingkungan membuat individu memiliki kesamaan maupun keunikan yang berbeda satu sama lain. Empat nilai-nilai kerja lingkungan yang menentukan kepribadian adalah budaya, kelas sosial, keluarga dan kelompok sebaya.
1) Budaya
Setiap budaya memiliki pola perilaku, ritual dan keyakinan
masing-masing, yang sudah terlembagakan dan disetujui oleh individu-individu anggota budaya tersebut. Berarti sebagian besar anggota budaya memiliki banyak persamaan dalam karakteristik-karakteristik kepribadian tertentu. Individu sering tidak menyadari pengaruh budaya, hingga akhirnya mereka berhubungan dengan anggota-anggota budaya lain, yang memiliki pandangan yang berbeda (bahkan bertentangan) dengan dirinya tentang alam dan lingkungannya. Pengaruh peristiwa tersebut sangat besar, karena mampu mempengaruhi setiap aspek kehidupan individu. Aspek-aspek kehidupan yang dipengaruhi adalah bagaimana individu memahami kebutuhan-kebutuhan dan cara memuaskannya, pengalaman-pengalaman tentang berbagai macam emosi yang berbeda dan cara mengekspresikannya, hubungan dengan individu lain dan diri sendiri, menentukan suasana hal yang dipikirkan apakah lucu atau sedih, menghadapi kehidupan dan kematian, serta menilai kondisi yang sehat dan sakit.
2) Kelas Sosial
Faktor kelas sosial menentukan status yang dimiliki individu, yaitu berbagai peran yang harus dijalani, tugas yang melingkupi dan hak istimewa yang dapat dinikmati. Faktor ini mempengaruhi bagaimana individu melihat diri mereka sendiri, dan merasa sebagai anggota kelas sosial lainnya. Faktor kelas sosial juga sperti faktor budaya, yang mempengaruhi cara-cara individu memahami berbagai situasi yang dihadap, serta bagaimana harus meresponnya.
3) Keluarga
Orang tua kadang memiliki pola perilaku yang berbeda-beda, misalkan; penuh kehangatan dan kasih sayang, penuh kebencian, menyadari kebutuhan anak tentang kebebasan dan otonomi, atau bahkan terlalu melindungi dan mengekang. Tiap-tiap pola perilaku orangtua mempengaruhi perkembangan kepribadian anak-anaknya. Minimal ada tiga cara yang menghubungkan pola perilaku orang tua dengan perkembangan kepribadian anak, yaitu:
a) Melalui perilaku orang tua itu sendiri, yaitu orang tua menghadirkan situasi yang berpotensi menimbulkan perilaku tertentu dalam diri anak. Contoh : situasi penuh frustasi berpotensi menimbulkan agresif pada anak.
b) Orang tua merupakan model peran dalam proses identifikasi dalam diri anak.
c) Orang tua kadang memberikan ganjaran (secara selektif) terhadap perilaku-perilaku tertentu yang dimunculkan anak.
Selain peran orang tua, peran saudara kandung juga penting dalam pembentukan kepribadian anak. Fakta menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu (anak) dari luar keluarga, dapat berperan lebih penting dalam mempengaruhi perkembangan kepribadian individu tersebut beserta saudara kandungnya dalam keluarga.
4) Kelompok Sebaya
Berbagai pengalaman diperoleh dalam kelompok individu yang sebaya (anak-anak maupun dewasa), akan mempengaruhi perkembangan kepribadian individu tersebut. Keadaan ini mengakibatkan kemungkinan bahwa dalam keluarga yang sama, seorang anak memiliki perilaku yang berbeda dengan saudara kandungnya. Anak belajar banyak hal di dalam rumah, namun pengaruh yang diakibatkan sangat spesifik dan terbatas hanya dari lingkungan rumah. Pengaruh tersebut sering pudar ketika harus berhadapan dengan pengaruh yang diperoleh anak dari kelompok sebaya. Kelompok sebaya mengenalkan individu pada aturan-aturan perilaku baru, dan menyediakan pengalaman-pengalaman yang akan memiliki pengaruh lebih kuat pada perkembangan kepribadian. Kesimpulannya adalah pengaruh orang tua sangat penting pada masa awal perkembangan kepribadian, namun pada masa berikutnya keterlibatan kelompok sebaya dalam kehidupan individu lebih berpengaruh dalam pembentukan kepribadian yang bersifat permanen.
Selain nilai-nilai kerja genetik dan lingkungan, ada faktor ketiga yang juga berperan dalam pembentukan kepribadian individu, yaitu faktor situasi. Kepribadian individu walaupun umumnya stabil dan konsisten, justru berubah dalam situasi-situasi yang berbeda. Permintaan yang bervariasi dari situasi berbeda menimbulkan aspek berbeda dari kepribadian individu. Hal yang menarik adalah bahwa situasi tampak sangat berbeda dari kepribadian individu. Hal yang menarik adalah bahwa situasi tampak sangat berbeda dalam batasan-batasan yang diterapkan pada perilaku. Beberapa situasi membatasi banyak perilaku, contoh: situasi wawancara untuk mendapat pekerjaan. Situasi lain mempunyai pembatasan yang relatif sedikit, contoh: situasi piknik di sebuah taman umum.
3. Dimensi dan Indikator Orentasi Kepribadian Tipe A dan B
Terdapat dua dimensi dasar pola orientasi perilaku individu berkepribadian tipe A, yaitu :
a. Dimensi yang berhubungan dengan unsur ketidaksabaran, keterdesakan waktu, dan kemarahan.
b. Dimensi yang berhubungan dengan unsur prestasi dan persaingan.
Dimensi-dimensi tersebut dapat diamati melalui indikator-indikator orientasi kepribadian. Adapun indikator-indikator orientasi individu berkepribadian tipe A adalah :
a. Agresif, mengarah pada permusuhan
b. Ambisius
c. Suka bersaing
d. Tidak kreatif, karena lebih mengandalkan pengalaman masa lalu daripada mengembangkan solusi atau terobosan baru
e. Selalu bergerak, berjalan dan makan secara cepat
f. Merasa tidak sabar dengan tingkatan dari kebanyakan peristiwa yang ada
g. Berusaha keras untuk berpikir atau melakukan dua atau tiga hal sekaligus
h. Tidak dapat menghadapi waktu luang
i. Lebih menekankan kuantitas daripada kualitas
Sedangkan indikator-indikator orientasi individu berkeprbadian tipe B adalah:
a. Tenang dan lemah lembut
b. Tidak ambisius
c. Merasa tidak perlu memamerkan atau membahas prestasi diri sendiri atau apa yang sudah dicapai, kecuali jika hal itu dituntut oleh situasi
d. Kreatif, yaitu selalu mencari terobosan-terobosan baru dalam memecahkan masalah
e. Tidak pernah mengalami keterdesakan waktu
f. Memiliki sifat sabar
g. Dapat merasa santai dalam bekerja
h. Bermain untuk mendapatkan kegembiraan dan relaksasi, bukan untuk memperlihatkan superioritas diri
i. Lebih menekankan kualitas
Pengawas sekolah sebelum melakukan tugasnya sebagai supervisor, baik terhadap guru, kepala sekolah, maupun tenaga kependidikan yang lain, sebaiknya dapat mengenal dengan lebih baik tipe kepribadian yang dimiliki oleh kliennya. Pengenalan kepribadian ini akan sangat mendukung dalam penentuan pendekatan supervisi yang akan digunakan, misalnya apakah informal, formal, klinis, kesejawatan, atau individual professional development atau cooperative professional development, sehingga akan memepermudah pelaksanaaan kepengawasan.

E. Cara Membina Hubungan yang Lebih Baik
Bila kita telah mengenali tipe kepribadian diri sendiri, kita bisa mencoba untuk mengenali tipe kepribadian para kepala sekolah, guru, dan staf sekolah lainnya. Dengan demikian, kita akan bisa menentukan bagaimana cara berinteraksi yang lebih baik dengan mereka. Hal ini akan memudahkan kita dalam menjalankan tugas sebagai pengawas satuan pendidikan. Agar mudah dalam berinteraksi dengan para kepala sekolah, guru, dan staf sekolah lainnya, marilah kita pahami Pedoman untuk menjalin hubungan yang lebih baik berdasarkan tipe kepribadian orang yang berinteraksi.
Pedoman Untuk Membina Hubungan yang Lebih Baik
A. TIPE “DOMINANT”
Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan
Dominant
(D) Keuntungan :
Cita-cita, kebanggaan, dan keinginan untuk mencapai tujuan akan menjadi sangat positif dan saling menguatkan
Kesulitan :
Kekuatan untuk saling bersaing merupakan tantangan yang sangat besar. Kita maupun orang ini sama-sama tidak mau mundur atau menyerah atau berkompromi.
Strategi :
Jangan memaksakan persoalan. Biarkan orang ini memiliki beberapa pilihan, pengendalian, dan kewenangan. Jangan beradu argumen atau memberikan ultimatum. Arahkan pada pekerjaan (business)
Inspiring
(I) Keuntungan :
Baik kita maupun orang ini adalah orang-orang yang bergerak cepat. Orang ini ingin menyenangkan kita dan mengikuti kepemimpinan kita.
Kesulitan :
Kita yang terfokus pada penyelesaian tugas bisa bertentangan dengan orang ini, yang ingin bersenang-senang dan berprinsip “biarkan hidup berjalan apa adanya”. Orang ini tidak mampu mendukung kita dalam penyelesaian tugas. Orang ini lebih terfokus pada orang daripada tugas.
Strategi :
Sadarilah bahwa orang ini tidak biasa terfokus pada satu hal, melainkan pada banyak hal. Bantulah orang ini (Inspiring people) dalam menyelesaikan tugas dengan cara BEKERJA BERSAMANYA. Jadikan segala sesuatu MENYENANGKAN. Biarkan ia berbicara dan bersosialisasi. Kita harus berlega hati mengekspresikan persetujuan kita kepadanya. Terimalah ekspresi emosi/ perasaannya.
Supportive
(S) Keuntungan :
Kita senang memimpin, dan orang ini senang mengikuti dan menolong. Orang yang supportive akan merasa aman selama kita menampilkan perilaku yang terkendali dan stabil.
Kesulitan :
Jika kita terlalu keras, orang ini akan merasa terintimidasi dan menganggapnya sebagai persoalan pribadi. Kita bisa salah paham, menganggap kelembutan hatinya sebagai “lemah”, Hal ini bisa menyakiti hatinya dan ia merasa ditolak. Jangan lupa bahwa ia adalah seorang yang people-oriented dan ia cenderung “bergerak lambat”
Strategi :
Sabarlah. Uraikanlah segala sesuatu secara rinci dan tahap demi tahap dalam menyelesaikan tugas. Komunikasikan hal ini dengan tenang dan cara yang lembut. Rileks, jangan menekan. Sering-seringlah mengekspresikan penghargaan. Jangan lupa pula untuk bersikap tulus.
Cautious
(C)
Keuntungan :
Baik kita maupun orang ini terfokus pada tugas dan senang bekerja secara independen. Dengan perhatian orang ini pada detail, kita dapat menyelesaikan banyak tugas bersama-sama.
Kesulitan :
Kita cenderung bergerak cepat sedangkan orang ini sangat banyak pertimbangan. Kita ingin segala sesuatu dikerjakan sekarang, sedangkan orang ini ingin segala sesuatu dikerjakan dengan benar. Keinginan kita untuk mengendalikan sesuatu bisa jadi membuatnya merasa kecil hati karena orang ini tidak tahan dengan tekanan.
Strategi :
Jangan tergesa-gesa atau menekan orang ini. Juga jangan mengkritiknya. Sabarlah, dan berilah ia waktu untuk membuat keputusan. Relakan hati kita menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menjawabnya dengan cara sopan. Jangan berharap bahwa orang ini mau mengambil resiko seperti kita.

HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE DOMINANT:
Setiap orang itu penting. Janganlah terlalu menekan orang lain. Biarkan mereka bekerja sesuai dengan kecepatannya.

B. TIPE “INSPIRING”
Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan
Dominant
(D) Keuntungan :
Baik kita maupun orang ini sama-sama ramah dan didorong oleh kegiatan, serta senang dengan kemenangan. Kita boleh merasa bangga dengan kekuatan dan prestasi orang ini.
Kesulitan :
Kita mungkin melihat orang ini terlalu mengendalikan, sementara kita seorang yang permisif. Kita lebih sosial, sedangkan orang ini lebih mengutamakan tugas
Strategi :
Harus kita pahami bahwa orang ini berorientasi pada arah dan hasil. Jadi, kita juga harus mencoba lebih terarah dan mencapai tujuan bersama-sama. Kita tak perlu takut dengan pertentangan, dan jangan sampai menjadikan pertentangan itu sebagai masalah pribadi. Kita harus mau bekerja dahulu, baru kemudian bersenang-senang.
Inspiring
(I) Keuntungan :
Kita dan orang ini sama-sama orang yang bersemangat dan menikmati kebersamaan dengan orang lain, suka bersenang-senang, serta cenderung mudah memaafkan.
Kesulitan :
Baik kita maupun orang ini cenderung emosional dan mungkin saling bersaing untuk mendapatkan perhatian. Selain itu juga impulsif, dan hal ini merupakan tantangan bagi pelaksanaan tanggung jawab dan bertahannya keteraturan.
Strategi :
Kita perlu ingat untuk mendengar orang lain karena dia pun sama seperti kita, senang berbicara banyak. Pada saat mengerjakan tugas penting, jagalah agar masing-masing tetap bertanggung jawab dan jelas pula siapa bertanggung jawab tentang apa. Kita juga perlu memberikan pengakuan yang tulus terhadap kemampuan, ide, dan kontribusi orang ini.
Supportive
(S) Keuntungan :
Kita dan orang ini adalah orang yang people-oriented. Kita senang berbicara sedangkan orang ini senang mendengarkan. Kita maupun orang ini cenderung untuk bisa bergaul dengan baik.
Kesulitan :
Sebagian besar tantangan berhubungan dengan kecepatan. Kita senang segala sesuatu yang berjalan dengan cepat, bersemangat, spontan, dan berenergi, sedagkan orang ini senang segala sesuatu berjalan dengan tenang, perlahan, dan dapat diprediksikan.
Strategi :
Kita harus memperlambat pendekatan kita dan menurunkan sedikit kobaran semangat kita. Kita juga harus tulus dengan penghargaan dan pujian kita. Jangan sampai kita mempermalukan ia di depan umum. Kita perlu memberikan waktu padanya untuk tertarik dan terbuka pada kita.
Cautious
(C)
Keuntungan :
Kekuatan kita yang berlawanan dengan orang ini merupakan penyeimbang yang baik bagi kelemahan masing-masing. Kita bisa belajar dari sifat analitis orang ini, sedangkan orang ini bisa belajar untuk tidak terlalu serius dalam menghadapi segala hal serta belajar untuk lebih menikmati kesenangan.
Kesulitan :
Perbedaan di antara kita dengan orang ini bisa menimbulkan salah pengertian. Kita senang berbicara dan bersama orang lain, sedangkan orang ini lebih menyukai saat-saat bersendiri.
Strategi :
Kita harus menurunkanlah reaksi emosional kita, mencoba untuk lebih memperhatikan fakta-fakta dan objektif, khususnya dalam menghadapi konflik. Jangan sampai kita menyuruh dan mendesak orang ini untuk terburu-buru. Kita harus mencoba untuk spesifik dalam berkomunikasi, dan meminta orang ini untuk berbicara dan melakukan segala sesuatu secara harfiah.
HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE INSPIRING:
Belajar itu penting. Tugas harus diselesaikan. Tetaplah fokus.


C. TIPE “SUPPORTIVE”
Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan
Dominant
(D) Keuntungan :
Kita adalah seorang pendukung dan pemberi semangat yang hebat bagi orang ini, orang yang selalu berusaha untuk meraih prestasi dan menggunakan kepemimpinan.
Kesulitan :
Orang ini bisa membuat kita kelelahan dengan tindakannya yang selalu mengendalikan dan meminta pelaksanaan tugas segera. Kita senang rileks dan “bergerak” perlahan, tapi orang ini melakukan segala sesuatu seolah-olah dalam keadaan mendesak. Kita bisa jadi stres, sementara orang ini bisa jadi tidak sabar.
Strategi :
Jangan menganggap sebagai masalah pribadi bila orang ini mengambil tindakan tanpa kita. Cobalah lebih tabah dan result-oriented dengan orang ini. Coba pula untuk lebih terarah, tegas, dan berorientasi tindakan bila bekerja sama dengan orang ini.
Inspiring
(I) Keuntungan :
Kita maupun orang ini cenderung untuk bisa bergaul dengan baik karena sama-sama people-oriented, dan saling memberikan pujian dan penghargaan yang dibutuhkan untuk merasa nyaman tentang diri sendiri.
Kesulitan :
Kesulitan terbesar adalah dalam menjaga “kecepatan” orang ini. Orang ini menyukai semangat dan kegiatan, sedangkan kita lebih tenang dan lambat. Orang ini memiliki lingkup sosial yang besar, dan kita merasa kewalahan dibuatnya.
Strategi :
Kita perlu mencoba lebih ramah/bersahabat dan enerjik dengan orang ini. Orang ini sangat impulsif. Kita harus berhati-hati untuk tidak membiarkan orang ini menyuruh kita melakukan sesuatu. Buatlah beberapa batasan, dan jangan merasa tertekan dengan energinya. Harus kita sadari bahwa ia orang yang bergaul dalam lingkup sosial yang besar, sehingga kita tidak perlu menganggap sebagai masalah pribadi bila perhatiannya pada kita hanya sedikit.
Supportive
(S) Keuntungan :
Kita maupun orang ini sudah biasa dan menikmati kebersamaan dengan orang lain, menyukai keadaan rileks dan suasana yang pribadi.
Kesulitan :
Tantangan terbesar adalah dalam hal komunikasi. Baik kita maupun orang ini saling berbicara tidak secara langsung dan tidak secara tegas mengatakan apa yang kita masing-masing inginkan. Kita maupun orang ini sama-sama tidak senang membuat keputusan yang sulit. Kita maupun orang ini tidak menyukai konflik atau ketegangan, sehingga menghindari membicarakan isu-isu yang tidak menyenangkan.
Strategi :
Yang perlu kita lakukan adalah mencoba untuk lebih mengambil inisiatif dan ketegasan, menyadari bahwa beberapa konflik dan perubahan itu sehat, mencobal untuk memahami bagaimana orang lain merasa, dan mencoba untuk jujur menyatakan perasaan kita. Jangan sampai kita menyembunyikan perasaan tersakiti. Kita juga sebaiknya mendiskusikan berbagai isu dan perasaan.
Cautious
(C)
Keuntungan :
Baik kita maupun orang ini sama-sama “bergerak lambat”, tak ada yang terdorong untuk tergesa-gesa, dan lebih suka menghindari konflik. Kita dan orang ini bisa menikmati kebersamaan tanpa banyak percakapan.
Kesulitan :
Kita cenderung sensitif, sedangkan orang ini cenderung kritis. Sifat feeling-oriented kita bisa bertentangan dengan sifat logic-oriented orang ini. Kita ingin hubungan yang hangat, namun orang ini lebih “dingin”.
Strategi :
Jangan sampai kita menjadikan pertanyaan dan kritik orang ini sebagai masalah pribadi. Orang ini senang berpikir secara mendalam dan menganalisis segala sesuatu. Kita harus mencoba untuk memberikan jawaban yang mendalam pula. Jangan memaksakan orang ini kedalam ketertutupan. Sadarilah bahwa orang ini lebih task-oriented daripada people-oriented, sehingga ia tidak akan sehangat atau sesensitif kita.
HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE SUPPORTIVE:
Tak masalah untuk mengatakan “Tidak”. Yakinlah dengan keputusan kita. Cobalah lebih percaya diri.

D. TIPE “CAUTIOUS”
Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan
Dominant
(D) Keuntungan :
Kita dan orang ini memiliki kecenderungan yang sama yaitu menyelesaikan tugas. Bila memiliki tujuan yang sama, maka kita dan orang ini akan bisa menjadi tim yang efektif.
Kesulitan :
Kesulitan akan muncul bila kita dan orang ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam penyelesaian tugas. Kita ingin segala sesuatu berjalan dengan benar, sementara orang ini ingin segala sesuatu berjalan dengan cepat, benar atau salah bukan masalah. Orang ini beranggapan bahwa kita berlebihan dalam menganalisis sesuatu, sementara kita mungkin menganggap orang ini terlalu gegabah.
Strategi :
Kita harus mau menerima kenyataan bahwa orang ini perlu pengendalian dan kemampuan mengambil tindakan, serta membiarkannya mengambil resiko. Kita tidak perlu mengkritik atau mengharapkan kesempurnaan, tapi justru perlu menghargai dan dan menyokong penyelesaian tugasnya. Kita perlu mencoba untuk melihat sudut pandangnya daripada memperdebatkan pandangan kita.
Inspiring
(I) Keuntungan :
Kekuatan kita maupun orang ini saling menyeimbangkan. Kita butuh kesegaran dan kegembiraan orang ini, sementara orang ini membutuhkan logika dan disiplin kita.
Kesulitan :
Karena kita berlawanan dalam kepribadian, mungkin kita akan mengalami saat-saat sulit untuk saling memahami. Kita mungkin tidak “nyambung” dengan sifatnya yang banyak bicara dan ramah, sementara ia pun tidak “nyambung” dengan sifat kita yang analitis dan hati-hati. Standar kita mungkin terlalu tinggi baginya. Kita mungkin tidak secara spontan memberinya pujian yang sebenarnya menjadi pendorong baginya untuk melakukan sesuatu.
Strategi :
Kita harus memodifikasi harapan kita padanya. Kita harus menyadari bahwa orang ini tidak akan pernah memperhatikan detail sebagaimana kita lakukan. Kita harus menemukan kekuatan orang ini, dan jangan ragu untuk memberinya penghargaan dan persetujuan.
Supportive
(S) Keuntungan :
Kita dan orang ini sama-sama “bergerak lambat” dan menikmati hubungan yang bebas dari konflik.
Kesulitan :
Bisa jadi kita akan frustrasi saat orang ini tidak mempertimbangkan cara yang kita lakukan atau tidak menunjukkan semangat untuk merinci sesuatu. Orang ini feelings-oriented sehingga mungkin saja kita dianggap dingin dan kaku.
Strategi :
Perlu kita sadari bahwa fokus kita terhadap pengerjaan tugas dengan benar berlawanan dengan fokus orang ini pada ketenangan dan keamanan dalam hubungan (relationship). Kita harus mencoba untuk menjadi seseorang yang lebih hangat dan akrab dengan orang ini, berhati-hati jangan sampai mengkritik, bahkan sebaliknya, memberikan penghargaan tulus atas setiap usaha yang dilakukannya. Kita pun jangan menetapkan standar yang terlalu tinggi, karena bisa jadi orang ini akan merasa tidak mampu dan kemudian menyerah.
Cautious
(C)
Keuntungan :
Kita dan orang ini sama-sama pekerja keras dan terfokus pada detail dan kualitas. Dalam pembicaraan, kita maupun orang ini cenderung serius dan saling mengemukakan fakta.
Kesulitan :
Ada kesulitan bila kita dan orang ini saling tidak menyetujui tentang apa yang benar. Salah satu dari kita atau orang ini merasa “Benar”, tapi yang lain merasa “Lebih Benar”. Kita maupun orang ini dapat dengan mudah menutup dan menarik diri, serta cenderung “berperang “ dengan berkomunikasi secara tidak langsung.
Strategi :
Kita harus mencoba terbuka dan fleksibel saat orang ini mengusulkan cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu, juga harus sangat berhati-hati dengan kritikan, karena kita tahu bahwa kritikan terhadap pekerjaan kita merupakan hal yang sangat kita takuti. Kita tidak boleh menentukan standar yang begitu tinggi sehingga orang lain merasa tidak akan mampu mencapainya. Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah memilihlah kata-kata yang spesifik saat memberikan dorongan pada orang ini dan mengatakan dengan jelas apa yang dilakukannya dengan benar dan mengapa kita menyukai hal tersebut.
HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE CAUTIOUS:
Setiap orang itu penting. Ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna. Janganlah terlalu menganalisis segala sesuatu.

Pengawas dapat mengembangkan hubungan yang baik dengan guru, kepala sekolah, staf sekolah dan pihak lain apabila memahami kepribadian diri sendiri dan kepribadian orang lain. Hal itu dapat dilakukan secara bertahap dan melalui proses yang panjang sehingga dapat teridentifikasi kepribadian seperti apa yang dimiliki, baik kepribadian diri sendiri maupun kepribadian orang lain.

F. Persepsi Diri
Persepsi diri bukanlah suatu bawaan, sehingga persepsi diri dibentuk melalui suatu proses. Proses dalam pembentukan persepsi dari seseorang individu terhadap dirinya sendiri akan menjadi faktor utama dalam mempengaruhi pola-pola kepribadian. Persepsi diri dapat menjadi dasar bagi pembentukan konsep diri seseorang karena konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri baik secara fisik, psikis, sosial atau moral. Persepsi ini dibentuk oleh pengalaman-pengalaman individu di masa lalu, yang dipengaruhi oleh adanya pemberian hadiah dan hukuman oleh orang lain yang berarti dalam kehidupan individu tersebut. Persepsi tersebut meliputi sesuatu yang dicita-citakan maupun keadaan yang sesungguhnya. Aspek fisik yang dipersepsi meliputi penilaian terhadap tubuh, pakaian, benda miliknya. Aspek psikis yang dipersepsi meliputi penilaian terhadap fikiran, perasaan, sikap individu terhadap dirinya. Aspek sosial yang dipersepsi meliputi penilaian terhadap bagaimana peranan sosial dalam masyarakat. Aspek moral yang dipersepsi meliputi penilaian terhadap nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah dalam kehidupan seseorang.
Persepsi diri adalah suatu proses saat seseorang merasa tidak yakin dengan sikapnya sendiri, sehingga ia menyimpulkan sesuai dengan sikap orang lain terhadap dirinya melalui observasi terhadap perilaku yang ditampilkan oleh dirinya sendiri dan situasi saat perilaku itu terjadi.
Proses memahami adalah melihat faktor-faktor internal individu yaitu sifat, sikap, nilai, emosi dan sebuah anggapan tentang fungsi hubungan antara perilaku seseorang yang tampak dan lingkungan yang memberikan stimulus untuk membangkitkan respon yang berkaitan. Faktor lingkungan adalah faktor yang paling penting untuk mendorong analisis dalam persepsi diri, sehingga dapat memberikan petunjuk tentang sejauh mana tingkat lingkungan (misalnya objek, batasan dan orang) dapat mengontrol ekspresi perilaku seseorang yang ditampilkan. Jadi jika kontrol lingkungan kuat, maka seseorang menganggap bahwa perilaku yang ditampilkan bebas dari kontrol lingkungan, maka seseorang akan menganggap bahwa perilaku tersebut adalah hasil refleksi dari keadaan unternal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi diri adalah:
a. Pengaruh pembenaran yang berlebihan yaitu jika hadiah atau pujian yang berasal dari eksternal akan mengarahkan seseorang untuk menghilangkan faktor-faktor yang penting dalam atribusi dirinya. Akibat pemberian hadiah terhadap motivasi tergantung dari cara seseorang menerimanya. Hadiah dapat dilihat sebagai pengontrol atau sebagai pemberi informasi dan pendukung otonomi.
b. Ketidaksadaran tentang alasan dalam melakukan sesuatu, yaitu jika seseorang dalam menjelaskan perilakunya sendiri sering tidak berdasarkan pada proses terjadinya pemberian informasi yang tepat, tetapi lebih menekankan pada intuisi mereka tentang kemungkinan penyebab perilaku itu terjadi. Oleh karena itu orang sering salah tentang penyebab terjadinya suatu perilaku.
Pengawas memiliki persepsi diri sebagai hasil dari pengalaman yang diperoleh sehingga berpengaruh pada kinerjanya. Persepsi diri seorang pengawas tentu berbeda-beda, tetapi dapat dikembangkan ke arah persepsi yang positif sehingga dapat memberi pencerahan kepada sejawat, maupun pada kepala sekolah dan guru.













BAB III
MENGEMBANGKAN DIRI

Pertentangan dalam hubungan sosial bukan hal yang aneh, baik karena masalah pekerjaan maupun masalah pribadi. Adakalanya pertentangan tersebut segera berakhir, namun adakalanya berlarut-larut, dan semuanya terjadi karena perilaku yang ditampilkan semua pihak dalam menyikapi pertentangan tersebut. Dalam hubungan kerja, tentu sangat diharapkan agar pertentangan yang muncul bisa segera ditangani, sehingga tujuan dari masing-masing pekerjaan bisa tercapai secara optimal. Yang menjadi masalah adalah, perilaku seperti apakah yang paling dapat diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan sehingga kedua belah pihak yag bermasalah sama-sama merasa diperlakukan adil.
Sebelum kita membahas materi ini lebih lanjut, kita lakukan dulu evaluasi diri untuk mengukur seberapa jauh tingkat keasertifan kita saat ini.

A. Rasa Percaya Diri
Pernah merasa takut untuk mengeluarkan seluruh potensi diri? Atau merasa berat untuk tampil di depan umum karena malu setengah mati? Kalau iya, berarti ada masalah dengan rasa percaya diri kita. Percaya diri adalah bagian dari alam bawah sadar dan tidak terpengaruh oleh argumentasi yang rasional. Ia hanya terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat emosional dan perasaan. Maka untuk membangun percaya diri diperlukan alat yang sama, yaitu emosi, perasaan, dan imajinasi. Memiliki rasa percaya diri (PD) itu penting. Kalau punya PD tinggi, kita bisa mengembangkan potensi diri secara maksimal. Kita tidak perlu lagi merasa malu apabila dilihat banyak orang saat melewati sekelompok orang. Kita juga jadi berani angkat tangan untuk bertanya di dalam kelas. Nah, kira-kira apa ya yang bisa menyebabkan kita suka minder atau kurang PD? Ternyata banyak juga. Penyebab jadi tidak Pede:
1. Kita suka mengembangkan sikap dan pendapat negatif tentang diri kita.
2. Kalau merasa malu dengan fisik kita, yakinkan di hati kalau semua itu
adalah anugrah Tuhan yang pasti ada manfaatnya.
3. Kita jadi penakut karena terbiasa sejak kecil untuk tidak melakukan kesalahan.
4. Kita berada di lingkungan yang mayoritas tidak punya rasa percaya diri tinggi.
5. Kita sering terpengaruh dengan pendapat orang lain, dan malangnya tidak semua pendapat itu benar.
Emosi, perasaan dan imajinasi yang positif akan meningkatkan rasa percaya diri. Sebaliknya emosi, perasaan dan imajinasi yang negatif akan menurunkan rasa percaya diri. Bagaimana caranya supaya diri kita selalu dikelilingi oleh energi positif yang maksimum? Simak kiat-kiat berikut ini :
1. Menghilangkan pengaruh negatif.
Rangsangan negatif dapat berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, kantor atau lingkungan pekerjaan, sekolah dan sebagainya. Apabila kita terperangkap dalam suatu kondisi hubungan antar manusia yang sangat buruk, segera cari solusi. Cara pertama adalah dengan berdamai atau berkompromi dengan lingkungan. Terima kondisi dengan ikhlas. Tapi kalau tidak membawa hasil positif, lebih baik keluar saja dari lingkungan tersebut apapun resikonya.
2. Pengakuan dan Penghargaan
Pengakuan dan penghargaan orang lain terhadap keberadaan, perbuatan atau prestasi kita, akan sangat meningkatkan rasa percaya diri. Masalahnya tidak banyak orang lain yang melakukan hal itu. Hanya orang-orang positif yang mau melakukan hal itu. Solusinya adalah bergabunglah dengan kelompok orang-orang yang positif. Cara lain, kita bisa memulai dengan melakukan pengakuan dan penghargaan pada diri kita sendiri. Sekecil apapun perbuatan positif yang kita lakukan, akui dalam diri kita, atau beri hadiah kecil-kecilan.
3. Pujian
Sama seperti halnya pengakuan, pujian dapat meningkatkan rasa percaya diri kita. Siapa yang tidak senang kalau ada yang memuji penampilan, kepintaran atau keahlian kita. Pujian pun jarang diberikan pada lingkungan orang yang mayoritas berpikiran negatif.
4. Memanjakan diri
Memanjakan diri itu penting dan perlu. Karena dengan begitu, kita akan merasa sebagai manusia yang berharga dan bisa menghargai orang lain.
5. Beranggapan baik terhadap diri sendiri
Ini cara yang paling mudah untuk meningkatkan percaya diri kita, karena dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja
6. Dapatkan input positif melalui panca indra
Input positif dapat diperoleh lewat kisah-kisah heroik, kisah sukses, kisah yang motivatif dan emosional dari tokoh atau pebisnis yang sukses. Kisah-kisah tersebut dapat memotivasi kita untuk berpikir dan bertindak positif. Kita bisa mendapatkan input tersebut dari buku, kaset, dan tv.
7. Biasakan bersikap positif
Mulailah bersikap positif dari diri sendiri dengan melakukannya pada kehidupan sehari-hari. Pastikan memori kita hanya menyimpan peristiwa positif. Pandang orang lain secara imbang dengan diri kita. Selalu berbuat jujur. Dan tunjukan bahwa kita memang punya rasa percaya diri.
8. Perhatikan Postur Tubuh
Mungkin kedengarannya ini tak memiliki hubungan dengan rasa percaya diri yang kita bicarakan ini, tetapi sebenarnya bagaimana sikap duduk atau berdiri Anda, mengirimkan pesan tertentu pada orang-orang yang ada di sekekliling Anda. Jika pesan tersebut memancarkan rasa percaya diri, Anda akan mendapatkan tanggapan positif dari orang lain dan tentu saja ini akan memperbesar rasa percaya diri Anda sendiri. Jadi mulai perhatikan sikap duduk dan berdiri untuk menunjukan Anda memiliki rasa percaya diri.
9. Ingat Kembali Saat Anda Merasa Percaya Diri
10. Latihan
Kapanpun Anda ingin merasakan rasa percaya diri, kuncinya adalah latihan sesering mungkin. Bahkan Anda dapat membawanya dalam tidur. Dengan kemampuan yang terlatih, Anda tak akan kesulitan menampilkan rasa percaya diri kapanpun itu dibutuhkan.
11. Kenali Diri Sendiri
Pikirkan segala hal tentang apa yang Anda sukai berkenaan dengan diri sendiri dan segala yang Anda tahu dapat Anda lakukan dengan baik. Jika Anda kesulitan melakukan ini, ingat tentang pujian yang Anda peroleh dari orang-orang - Apa yang mereka katakan - Anda melakukannya dengan baik? Sebuah gagasan bagus untuk menuliskan semua ini, hingga Anda bisa melihatnya lagi untuk mengibarkan rasa percaya diri kapanpun Anda membutuhkan inspirasi.
12. Jangan Terlalu Keras pada Diri Sendiri
Jangan terlalu mengkritik diri sendiri, jadilah sahabat terbaik bagi diri Anda. Namun, saat seorang teman sedang melalui masa sulit, Anda tak akan mau terlibat dalam masalahnya hingga menguras emosi Anda sendiri kan? Tentu saja Anda tak mau.
13. Jangan Takut Mengambil Resiko
Jika Anda seorang pengambil resiko, Anda pasti akan temukan kalau tindakan ini mampu membuahkan rasa percaya diri. Tak ada yang lebih bermanfaat dalam menumbuhkan rasa percaya diri layaknya mendorong diri sendiri keluar dari zona nyaman. Selain itu, tindakan ini juga berfungsi bagus untuk mengurangi rasa takut Anda akan ha-hal yang tak Anda ketahui, plus bisa dari pembangkit rasa percaya diri yang luar biasa.
Apa yang harus dilakukan:
1. Berdiri Tegak, Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah merubah penampilan, berdirilah yang tegak, busungkan dada dan coba tampillah sempurna.
2. Bersikap Asertif, Mulai sekarang cobalah merubah sikap, jadilah orang yang tahu kapan harus berkata tidak dan kapan berkata ya. Coba sekali-kali untuk tidak terlalu membayangkan orang lain akan berkomentar apa tentang diri kamu. Dan jangan takut bikin perubahan.
3. Obyektif Menilai Diri Sendiri. No body's perfect, nggak ada orang lain di dunia ini yang sempurna, dan nggak ada juga orang di dunia ini yang benar. nggak berguna. Karenanya jujurlah menilai diri sendiri, jangan selalu menganggap dirimu tidak mampu dan orang lain selalu lebih unggul.
4. Buang Rasa Takut. Cara mudah untuk berani menghadapi oarang lain adalah menatap mata lawan bicara kita, tapi jangan memandanginya. Menatap lain dengan memandang, kalau memandang biasanya kamu memperhatikan lawan bicaramu, bagaimana cara bicaranya, bagaimana mimik wajahnya.
5. Sedikit Basa Basi. Cobalah untuk bersikap basa basi, tapi jangan sampai basi beneran karena akan membosankan.
6. Bicaralah Yang Lugas. salah satu ciri orang yang kurang pede adalah tidak bicara secara lugas, selalu muter, biasanya terlalu banyak berkata, eeee, anu, ya, nah, to, cek, kok, dan yang sejenisnya.
7. Mencari Informasi. Mau menambah percaya diri tak bisa hanya bermodalkan keadaan lahiriah semata.
8. Bersosialisasi. Semua kalangan memiliki keunikannya sendiri. Anda akan menjadi manusia yang lebih terbuka dengan mencoba menyelami aneka rupa kalangan ini.
9. Sederhana.
Percaya diri itu seni. Jika Anda merasa belum percaya diri, maka Anda bisa menjadi percaya diri. Jika Anda sudah merasa percaya diri, maka Anda bisa menjadi lebih percaya diri. Percaya diri itu dinamis, ia bisa naik dan turun, berubah dan berkembang. Apa yang perlu Anda lakukan, adalah menjaganya agar tetap berada di tingkat yang optimal dan sehat. Kepercayaan diri pengawas seringkali terbalut oleh kedudukan strukturalnya sehingga ia disegani bahkan ditakuti. Percaya diri yang diri yang diharapkan dari seorang pengawas adalah keterbukaan, keberanian, dan kejujuran dalam menjalankan tugasnya sehingga terhindar dari perasaan percaya diri negatif.

B. Optimisme
1. Pengertian Optimisme
Webster’s College Dictionary (dalam Sitz dan Poche, 1998) mendefinisikan optimisme sebagai tendensi untuk melihat dari sisi yang lebih favorable atau harapan bahwa hasil yang paling favorable atas kejadian atau peristiwa akan diraih. Selanjutnya disampaikan bahwa keyakinan dalam optimisme merefleksikan adanya kepastian, sedangkan sikap menunjukkan adanya ketidakpastian akan masa depan. Keyakinan merupakan sebuah dikotomi, yang menggambarkan ada atau tidak ada, sedangkan sikap dikonsepsualisasikan sebagai kemungkinan akan hasil. Optimisme diprediksi melalui hasil subjektif berdasarkan penilaian individu. Jika menampakkan keyakinan, maka hal tersebut merefleksikan kepastian (hasil akan terjadi atau tidak terjadi), tetapi jika menampakkan sikap, maka optimisme merefleksikan ketidakpastian (hasil kemungkinan terjadi). Hinze dan Suire (1997) menyimpulkan konstruk dari optimisme sebagai berikut:
a. Optimisme merupakan sebuah konstruk yang menimbulkan istilah kepastian atau kemungkinan.optimisme dikonseptualisasikan dalam istilah keyakinan atau sikap
b. keyakinan dalam optimisme berkorelasi dengan kepastian, sedangkan sikap dalam optimisme berhubungan dengan ketidakpastian terhadap hasil,
c. optimisme tidak dapat dipelajari,
d. optimisme hanya dapat dievaluasi melalui korelasinya terhadap hasil dalam kenyataan, pada saat peristiwa terjadi.
Hinze dan Suire (1997) menyampaikan tentang konstruk dari optimisme yang dikonseptualisasikan melalui tiga cara, yaitu:
a. Sebagai sikap, optimisme dikonseptualisasikan dalam istilah kemungkinan terhadap ketidakpastian harapan akan hasil pada masa depan, yang akan mengantarkan pada penilaian secara overestimate (dalam hubungan antara arah positif sikap dengan hasil positif dalam kenyataannya) dan underestimate (dalam hubungan antara arah negatif dan hasil negatif),
b. Sebagai keyakinan, optimisme dikonseptualisasikan dalam istilah kepastian terhadap harapan akan hasil pada masa depan, yang akan mengarahkan pada korelasi yang searah (antara arah positif terhadap harapan akan hasil aktual dan kenyataannya), serta korelasi searah (antara arah negatif terhadap harapan akan hasil dengan hasil negatif pada kenyataannya),
c. Optimisme yang tidak realistis dikonseptualisasikan sebagai sebuah sikap, yaitu kemungkinan ketidakpastian terhadap harapan akan masa depan sebagai kebalikan akan hasil pada masa lalu, yang akan mengantarkan pada penilaian yang overestimate (dalam korelasi antara arah positif sikap dan hasil dalam kenyataannya) dan underestimate (dalam hubungan antara arah negatif sikap dengan hasil negatifnya).
Dunavold (1997) sendiri mendefinisikan optimisme sebagai sikap positif atau disposisi seseorang bahwa sesuatu yang akan terjadi benar-benar karena kemampuan orang tersebut. Selanjutnya Dunavold (1997) menyampaikan tiga komponen dari optimisme, yaitu: komponen biologis, pembelajaran dan kognitif.
a. Komponen Biologis
Komponen biologis dari optimisme dikemukakan oleh Tiger. Menurut Tiger (dalam Dunavold, 1997), ketika seseorang terluka, maka endorphins disekresi lebih banyak, yang berfungsi sebagai analgesik atau mengurangi rasa sakit dan menghasilkan perasaan euphoria/kegembiraan. Kondisi tersebut merupakan adaptasi secara biologis terhadap hal yang tidak menyenangkan yang membuat seseorang lebih optimis terhadap kejadian negatif yang dialami tersebut.
b. Komponen Pembelajaran
Komponen pembelajaran dari optimisme dikemukakan oleh Seligman dan didukung oleh Goleman. Goleman (dalam Dunavold, 1997), menyatakan bahwa harapan dan optimisme dapat dipelajari. Dia percaya bahwa efikasi diri, yaitu keyakinan bahwa seseorang menguasai setiap kejadian atau peristiwa dalam kehidupan akan mengantarkan pada harapan dan optimisme. Melalui pembelajaran-pembelajaran dari kejadian-kejadian tersebut, seseorang akan mengembangkan optimismenya.
c. Komponen Kognitif
Komponen kognitif dari optimisme dikemukakan oleh Snyder (dalam Dunavold, 1997), bahwa dalam optimisme terkandung perencanaan dan biasanya pernyataan-pernyataan dari orang yang mempunyai optimisme tinggi didasarkan atas fakta-fakta yang logis dan konkret. Optimisme biasanya didasarkan atas bukti-bukti yang dapat dinilai atau dipertimbangkan secara rasional. Seligman (1995) mengemukakan konsep optimisme yang merupakan perluasan dari Teori Atribusi. Seligman (1995) menyampaikan bahwa optimisme merupakan gaya penjelasan terhadap kejadian baik dan buruk yang diwujudkan dalam tiga dimensi, serta penyebab dari tiga dimensi tersebut, yaitu oleh faktor internal atau eksternal. Ketiga dimensi tersebut adalah: permanence, pervasiveness dan personalization.
d. Permanence (Kadang-kadang vs Selalu)
Orang yang optimis memandang kejadian buruk sebagai sesuatu hal yang bersifat temporer atau kadang-kadang, sedangkan orang yang pesimis memandangnya sebagai sesuatu yang bersifat permanen atau selalu. Jika dihadapkan pada kejadian yang baik atau menyenangkan, orang yang optimis memandangnya sebagai sesuatu yang bersifat permanen atau selalu, sedangkan orang yang pesimis memandangnya sebagai sesuatu yang temporer atau kadangkadang.
e. Pervasiveness (Spesifik vs Global)
Orang yang optimis memandang keberhasilan dari yang telah dilakukannya sebagai sesuatu yang bersifat global atau sepanjang waktu hidupnya, sedangkan orang yang pesimis memandangnya sebagai sebuah kebetulan sesaat untuk kejadian tertentu (spesifik). Jika mengalami kejadian yang buruk, orang yang optimis memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang bersifat spesifik (terjadi pada suatu situasi tertentu saja), sedangkan orang yang pesimis memandangnya sebagai hal yang bersifat global (sepanjang kehidupannya).
f. Personalization (Internal vs Eksternal)
Dimensi ke tiga dari optimisme menyangkut penyalahan terhadap diri sendiri (self blame), dan dibagi menjadi dua, yaitu: general self blame (sifatnya permanen dan global) dan behavioral self blame (bersifat temporer dan spesifik). Orang yang optimis akan menerapkan behavioral self blame (bersifat temporer, spesifik dan karena faktor internal), sedangkan orang yang pesimis akan menerapkan general self blame (bersifat menetap, global dan disebabkan karena faktor eksternal).

McCann (2002) secara tegas menyatakan bahwa optimisme adalah dasar dari berpikir positif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa optimisme merupakan kekuatan psikologis yang menyebabkan seseorang mempunyai harapan umum bahwa mereka akan mendapatkan kesuksesan melalui kerja keras yang dilakukannya.
Harapan tersebut membuat seseorang melakukan upaya-upaya secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Sebaliknya jika seseorang mengharapkan kegagalan, maka usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan tugas-tugas cenderung kecil dan lebih melihat masa depan sebagai hal yang penuh dengan rintangan-rintangan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa cukup sulit untuk membuat definisi tentang optimisme, dan akhirnya terdapat bermacam-macam definisi tentang optimisme. Secara umum optimisme menyangkut harapan dan cara seseorang memandang masa depan serta konsekuensi dari cara pandang tersebut (positif atau negatif) terhadap keberhasilan dan kegagalan, yang berbentuk perilakunya sekarang (menyangkut tingkat usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan masa depan. Pengawas harus memiliki optimisme yang tinggi sehingga dapat berkinerja dengan baik.
2. Manfaat Optimisme
Secara umum manfaat optimisme adalah untuk kesuksesan dalam bidang pekerjaan, pendidikan, olah raga dan kesehatan.
a. Optimisme dan Kesuksesan di Tempat Kerja
Kesuksesan di tempat kerja tidak hanya ditentukan oleh kemampuan, bakat, maupun motivasi, tetapi juga oleh tingkat optimisme yang dimiliki oleh pendidik. Hal tersebut diperkuat oleh McCann (2002) yang menjelaskan bahwa pendidik yang optimis dapat melihat secara lebih banyak kesempatan-kesempatan daripada orang yang pesimis. Mereka lebih dapat menangani permasalahan-permasalahan yang muncul menurut cara pandang yang lebih positif. Lebih lanjut McCann (2002) menyimpulkan empat hal yang menyebabkan kesuksesan orang yang optimis di tempat kerja, yaitu: 1) orang yang optimis mampu memfokuskan energi, antusiasme dan ketahanan agar dapat memformulasikan dan mencapai tujuan-tujuan hidupnya, 2) orang yang optimis mampu mencari alternatif-alternatif cara untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang ditemui di tempat kerja, 3) orang yang optimis melakukan upaya-upaya untuk mencari penyelesaian dan bantuan orang-orang di sekitarnya, 4) orang yang optimis mampu mengatur waktu untuk mencapai tujuan.
b. Optimisme dan Kesuksesan dalam Bidang Olah Raga
Atlet yang optimis lebih termotivasi untuk sukses dan lebih menetap atau konsisten dalam melakukan usaha (More, 1998).
c. Optimisme dan Kesuksesan dalam Bidang Pendidikan
More (1998) mengemukakan bahwa siswa yang optimis akan melakukan eksplorasi dalam belajar secara lebih banyak. Penelitian Kamen dan Seligman menemukan bahwa dua siswa yang mempunyai kemampuan akademik sama, sedangkan gaya penjelasannya berbeda akan menghasilkan grade yang berbeda, dengan siswa yang optimis mempunyai grade yang lebih tinggi daripada yang pesimis.
d. Optimisme dan Kesehatan
More (1998) mengatakan bahwa orang yang optimis cenderung dapat mengontrol kehidupannya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih berguna untuk meningkatkan derajat kesehatannya.

C. Efikasi Diri
1. Pengertian Efikasi Diri dalam Perubahan
Perkembangan awal tentang efikasi diri dimulai dari reaksi terhadap aliran behaviorisme yang menekankan perilaku yang tampak dan mengabaikan proses internal. Bandura (1986) mengenalkan konsep keyakinan efikasi diri, yaitu penilaian seseorang tentang kapasitas dirinya untuk mengorganisasi pendidikan dan melakukan serangkaian latihan tindakan yang diperlukan dalam berbagai situasi yang menuntut perfomansi. Proses tersebut mengandung pengertian bahwa seseorang meyakini diri mereka sendiri mampu untuk mengontrol pikiran, perasaan dan tindakannya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Salah satu situasi yang menuntut perfomansi lebih dari pendidik adalah ketika terjadi perubahan organisasi pendidikan. Pada saat terjadi perubahan organisasi pendidikan muncul ketidakpastian di antara para pendidik, sehingga menuntut peran pendidik yang lebih tinggi untuk mensukseskan perubahan organisasi pendidikan. Pendidik jika meyakini kemampuannya, maka mereka dapat mengontrol pikiran, perasaan dan tindakannya untuk mencapai tujuan-tujuan dalam perubahan organisasi pendidikan.
Hal tersebut jika terjadi dalam proses perubahan organisasi pendidikan, pendidik yang meyakini bahwa mereka mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang mendukung proses perubahan organisasi pendidikan, maka mereka akan menunjukkan perfomansi kerja yang lebih baik dan dapat mendukung perubahan organisasi pendidikan. Sebaliknya jika pendidik kurang yakin terhadap pengetahuan, kemampuan dan ketrampilannya selama ini, maka mereka justru akan menampakkan perfomansi yang berada di bawah kemampuan mereka.
Hal tersebut akan mendukung jika terjadi perubahan organisasi pendidikan, karena pendidik yang mempunyai efikasi diri dalam perubahan tinggi akan mampu mengatasi situasi yang penuh ketidakpastian dan tekanan, serta mampu memotivasi diri mereka untuk melakukan langkah-langklah nyata yang dapat membantu kesuksesan perubahan organisasi pendidikan.
Secara khusus Wanberg dan Banas (2000) mengemukakan konsep efikasi diri dalam perubahan sebagai keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menangani situasi perubahan dan untuk memfungsikan dirinya secara lebih baik terhadap pekerjaan yang dijalankan meskipun terjadi berbagai tuntutan yang berasal dari perubahan orgaanisasi.
Bandura (1997) menyampaikan tiga aspek dalam efikasi diri, yaitu: level, strength dan generality, melalui tiga aspek tersebut dapat diukur efikasi diri yang dimiliki oleh seseorang. Level menyangkut tingkatan tugas yang harus diselesaikan oleh seseorang, dari yang tuntutannya sederhana, moderat sampai yang memerlukan perfomansi maksimal. Range tuntutan tugas tersebut menampilkan berbagai kesempatan dan rintangan agar diperoleh kesuksesan perfomansi. Pada saat terjadi perubahan organisasi pendidikan, level ditunjukkan oleh tingkatan tugas yang harus dikerjakan oleh pendidik, dari pekerjaan yang sudah mapan selama ini atau rutin, sampai pekerjaan-pekerjaan baru untuk mensukseskan perubahan organisasi pendidikan. Strength menyangkut keyakinan tentang kapabilitas yang dimiliki untuk menampilkan perfomansi pada berbagai level yang diidentifikasi.
Pendidik yang mempunyai kekuatan tinggi akan menampilkan perfomansi yang lebih tinggi terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh organisasi pendidikan ketika terjadi perubahan. Generality menyangkut luasnya penilaian efikasi seseorang pada berbagai range aktivitas (dimensi atau aktivitasnya bermacam-macam atau hanya pada domain atau aktivitas yang khusus). Dalam situasi perubahan organisasi pendidikan, pendidik yang dapat menangani tugas-tugas yang beragam, bukan hanya tugas-tugas yang selama ini dilakukan akan menunjukkan efikasi diri dalam perubahan tinggi.
Berdasarkan konsep-konsep yang telah diuraikan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri dalam perubahan merupakan keyakinan pendidik akan kemampuan dirinya untuk menangani tugas-tugas dalam perubahan organisasi pendidikan dan mengatasi situasi yang penuh ketidakpastian sebagai akibat perubahan yang terjadi. Pengawas yang mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya tinggi akan menunjukkan perfomansi yang lebih baik daripada mereka yang kurang atau tidak yakin. Penilaian efikasi diri dalam perubahan dapat diketahui melalui level, strength dan generality terhadap tugas-tugas dalam perubahan organisasi pendidikan, proses perubahan organisasi pendidikan dan konsekuensi dari perubahan organisasi pendidikan.

2. Cara Efikasi Diri dalam Perubahan Mempengaruhi Perfomansi
Bandura (1986, 1997) secara detil menyampaikan empat cara keyakinan efikasi diri mempengaruhi perfomansi, dan cara tersebut ketika diterapkan dalam situasi perubahan organisasi pendidikan.
a. Perilaku Pemilihan
Seseorang cenderung akan menolak melakukan suatu tugas ketika efikasi dirinya rendah, sebaliknya secara umum akan menerima berbagai tugas saat efikasi dirinya tinggi.
b. Usaha dan ketekunan
Semakin kuat seseorang merasakan efikasi dirinya, semakin giat dan tekun usaha yang dilakukan orang tersebut. Pendidik yang memiliki efikasi diri dalam perubahan tinggi akan menunjukkan usaha-usaha yang kuat untuk mensukseskan perubahan organisasi pendidikan, dan jika menemui rintangan-rintangan, pendidik tetap akan menunjukkan ketekunan serta tidak mudah menyerah sebelum tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tercapai.
c. Pola Berpikir dan Reaksi Emosi
Individu yang mempunyai efikasi diri rendah cenderung untuk mempercayai bahwa sesuatu harus dipikir secara berlebih daripada yang senyatanya ada. Kondisi ini akan memunculkan stress dan keterbatasan visi tentang cara yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan. Sebaliknya orang yang mempunyai efikasi diri tinggi akan memberikan perhatian dan usaha yang lebih untuk memenuhi tuntutan dari berbagai situasi dan terpacu ketika dihadapkan pada rintangan-rintangan. Efikasi diri yang dirasakan juga membentuk causal thinking, orang yang mempunyai efikasi diri tinggi merasakan tidak cukupnya usaha yang dilakukan untuk mendapatkan perfomansi terbaik (hal inilah yang mendukung orientasi kesuksesan), sedangkan orang yang rendah efikasi dirinya merasakan kekurangan kemampuan dan hal inilah yang menyebabkan kegagalan. Ketika perubahan terjadi, pendidik yang mempunyai efikasi diri dalam perubahan tinggi cenderung memandang perubahan sebagai sesuatu hal yang biasa dalam dinamika organisasi pendidikan. Mereka tidak melebih-lebihkan segala sesuatu yang terjadi, termasuk ekses yang ditimbulkan oleh perubahan, sehingga kondisi emosi juga cenderung tertata dan hal tersebut dapat mengurangi tingkat stress yang dirasakan pendidik.

D. Asertifitas
Dalam hubungan interpersonal, perilaku seseorang terhadap orang lain dapat dikelompokkan menjadi perilaku asertif, perilaku submisif, dan perilaku agresif. Pada saat kita menampilkan perilaku “manis”, “tidak menimbulkan masalah bagi orang lain”, lemah, pasif, mengorbankan diri sendiri, tidak bisa menolak, membiarkan kebutuhan, pendapat, pikiran, penilaian orang lain mendominasi kebutuhan, pendapat, pikiran, dan penilaian diri kita sendiri, maka kita sudah menampilkan perilaku submisif. Sebagai contoh: seorang Kepala Sekolah cenderung menghindari memberi tugas yang cukup rumit kepada salah seorang guru karena guru tersebut seringkali mengajukan keberatan bila diberi tugas seperti itu.
Perilaku submisif ini cepat atau lambat akan menimbulkan rasa terancam dan tersakiti, tidak puas, depresi, penyakit fisik, serta akan mengukuhkan keberadaan perilaku agresif orang lain.
Perilaku agresif adalah perilaku yang self-centered (hanya mengutamakan hak, kepentingan, pendapat, kebutuhan, dan perasaan sendiri), mengabaikan hak orang lain. Orang-orang yang agresif berasumsi bahwa hanya dirinyalah yang benar, sehingga perilakunya berisi permusuhan dan kesombongan. Mereka sering menggunakan kemarahan dan bahasa tubuh yang agresif serta perilaku mengancam lain untuk menggertak, menaklukkan, dan mendominasi orang lain. Mereka akan menggunakan bahasa yang menyakiti orang lain untuk menyimpulkan bahwa seseorang bersalah serta mempermalukannya. Sebagai contoh, saat seorang guru tidak bisa melaksanakan tugas seperti yang diharapkannya, seorang kepala sekolah berkata “Masa yang begini saja tidak bisa. Saya kan sudah bilang, kerjakan saja seperti petunjuk saya, tidak perlu cari-cari cara lain”.
Perilaku asertif adalah perilaku yang merupakan ekspresi/pernyataan dari minat, kebutuhan, pendapat, pikiran, dan perasaan, yang dilakukan secara bijaksana, adil dan efektif, sehingga hak-hak kita bisa dipertahankan dengan tetap memperhatikan penghargaan atas kesetaraan dan hak orang lain.
Perilaku asertif membuat seseorang menjadi lebih percaya diri dan merasa berharga, memiliki konsep diri yang tepat, meningkatkan pengendalian diri (self-control) dalam kehidupan sehari-hari, serta memperoleh hubungan yang adil dengan orang lain. Perilaku asertif ini merupakan penangkal terhadap perilaku submisif dan perilaku agresif.
Munculnya perilaku asertif didorong oleh keyakinan bahwa:
1. Saya sederajat/setara dengan orang lain, dengan hak dasar yang sama
2. Saya bebas untuk berpikir, memilih, dan membuat keputusan untuk diri saya sendiri
3. Saya mampu untuk mencoba sesuatu, membuat kesalahan, belajar, dan mengembangkan diri.
4. Saya bertanggung jawab atas tindakan saya dan respons saya terhadap orang lain
5. Saya tidak perlu minta ijin untuk mengambil tindakan
6. Tidak masalah bila tidak setuju dengan orang lain. Persetujuan tidak selalu diperlukan dan tidak selalu tepat.
Bila dibandingkan, maka karakteristik ketiga jenis perilaku tersebut adalah sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.1.
Perbedaan Karakteristik Perilaku

Sifat Perilaku Submisif Perilaku Agresif Perilaku Asertif
Penghargaan kepada orang lain Tinggi Rendah Tinggi
Penghargaan kepada diri sendiri Rendah (Biasanya) tinggi Tinggi
Tindakan utama • Tunduk kepada orang lain
• Saya yang terakhir
• Kelemahan tampak
• Kekuatan jadi kurang penting
• Selalu menyerah • Menyerang orang lain
• Saya yang pertama
• Kelemahan di sembunyikan
• Kekuatan dibesar-besarkan
• Tidak tunduk • Menghargai orang lain
• Saya dan Anda sederajat
• Terbuka mengenai kelemahan dan kekuatan
• Pertukaran yang adil
Keuntungan yang dirasakan • Tidak diganggu
• Resiko pribadi rendah
• Akan disukai • Mendapatkan apa yang diinginkan
• Tidak diganggu
• Akan dihargai • Banyak mendapatkan apa yang diinginkan
• Akan dihargai
• Hubungan yang adil/wajar
Kerugian yang mungkin didapat • Hubungan buruk
• Diabaikan
• Orang lain mengambil keuntungan • Hubungan buruk
• Ada balas dendam tersembunyi
• Kehilangan komunikasi • Tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan
• Membingungkan/ membuat cemburu orang lain

Ada beberapa asumsi yang mendasari, mengapa kita perlu melatih diri untuk berperilaku asertif. Pertama, setiap orang memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Kedua, setiap orang memiliki hak yang sama. Ketiga, setiap orang bisa memberikan kontribusi terhadap apa yang dibicarakan. Selain itu, perilaku asertif juga berguna sebagai penangkal terhadap rasa takut, malu, kepasifan, bahkan kemarahan.

E. Disiplin Diri
Sebenarnya apa arti kedisiplinan sehingga memberikan dampak yang begitu besar? Kedisiplinan adalah sikap mental untuk melakukan hal-hal yg seharusnya pada saat yang tepat dan benar-benar menghargai waktu. Meskipun pengertian disiplin sangat sederhana, tetapi agak sulit untuk menerapkan konsep-konsep kedisiplinan tadi hingga membudaya kedalam kehidupan kita sehari-hari.
Contohnya mungkin Anda sebagai pengawas sudah memiliki program kerja kepengawasan. Tetapi selepas liburan panjang atau sebab-sebab lainnya anda menunda pelaksanaan program tersebut. Anda justru menjadi kurang bersemangat untuk bekerja kembali atau malas untuk memulai dan mengulur-ulur waktu.
Sementara tips melatih kedisiplinan lainnya adalah dengan membiasakan diri hanya mengkonsumsi makanan yg sehat dan bergizi serta menerapkan pola makan yg baik. Bukan berarti makanan kita harus mahal atau dibeli dari restoran elit. Contoh makanan yg sehat dan bergizi adalah bermacam jenis buah dan sayuran. Bila makanan kita selalu sehat dan bergizi, maka dapat dipastikan energi dan vitalitas kita meningkat utk mengerjakan tanggung jawab secara tepat dan cepat hingga mencapai hasil yang terbaik.
Proses saat beribadah kepada Tuhan YME merupakan apresiasi yang terdalam dan mendapatkan kedamaian hati. Tetapi beribadah atau mendekatkan diri kepada Tuhan YME sebenarnya juga merupakan latihan kedisiplinan yang paling utama. Contohnya umat Islam yang menjalankan ibadah 5 kali sehari, umat Kristiani sekali setiap hari Minggu, umat Buddha setiap pagi dan sore, dan lain sebagainya. Kepatuhan untuk melaksanakan rutinitas ibadah sesuai aturan agama tentu saja melatih kedisiplinan, sekaligus memperkaya hati dan jiwa kita dengan kedamaian, percaya diri, kreatifitas dan
energi cinta Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penundaan bukan selalu pertanda buruk. Sebab penundaan untuk tidak berpuas diri dulu selama ini selalu menyebabkan karakter disiplin saya lahir kembali. Semakin saya gunakan prinsip tersebut, saya menciptakan semakin banyak kemajuan dalam hal keuangan, hubungan sosial, spiritual dan bisnis.
Orang-orang yang sukses adalah orang-orang yang selalu menerapkan kedisiplinan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Cobalah menerapkan kedisiplinan dalam kehidupan, dan Anda tidak akan pernah menyesal. Bila kedisiplinan sudah menjadi bagian dari kesadaran atau budaya pribadi kita, berarti kita sudah membangun dasar yang kehidupan yang kuat sebagai seorang yang sukses dan selalu bersemangat. Pengawas yang sukses adalah pengawas yang mampu mendisiplinkan dirinya secara optimal sehingga apa yang telah direncanakan maupun apa yang seharusnya dilakukan dapat diselesaikan dengan baik.

F. Daya Juang
Daya juang atau adversity quotien merupakan konsep tentang potensi manusia berupa kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi masalah hidup berupa kesulitan atau hambatan. Adversity quotien terdiri atas konsep tentang kognitif, kondisi fisiologis neuron otak dan emosi. Adversity quotien mengandung konsep ukur terhadap komponen-komponen yang berfungsi sebagai respon yang digunakan manusia dalam menghadapi kesulitan. Adversity quotien adalah respon individu terhadap kesulitan yang dihadapi yaitu berupa respon yang dapat berfungsi untuk bertahan (tidak berputus asa atau mengundurkan diri) dan menghadapi kesulitan untuk diselesaikan. Respon ini merupakan respon persepsi di mana di dalamnya terdapat peran kognitif dalam memandang permasalahan kesulitan yang dihadapi.
Aktivitas manusia digerakkan oleh upaya pencapaian tujuannya. Adversity quotien menjelaskan bahwa dorongan manusia dalam mencapai tujuan tersebut merupakan dorongan inti untuk mendaki. Tujuan yang dimaksud dalam Adversity quotien adalah tujuan yang berhubungan dengan pencapaian kebutuhan aktualisasi diri, sedang mendaki yang dimaksud adalah pertumbuhan dan perbaikan hidup pada satu individu.
Terdapat tiga jenis individu dalam hubungannya dengan energi untuk mendaki dan menghadapi hambatan-hambatan yang menyertai upaya tersebut, yaitu quitters, campers dan climbers. Tingkat yang paling rendah disebut quitters, tingkatan menengah disebut campers dan yang tertinggi climbers.
Quitters merupakan orang-orang yang berhenti dan tidak ada keinginan untuk mendaki. Individu jenis ini tidak memiliki energi untuk mencapai kebutuhan aktualisasi diri. Mereka memilih menghindar dari tantangan-tantangan yang nantinya akan dihadapi ketika mereka mendaki. Mereka merasa cukup dengan semua yang sudah diperoleh dan berharap (dengan mengambil sikap ini) tidak akan mendapat tantangan-tantangan kehidupan daripada apabila mereka mendaki. Semangat individu minim sehingga kualitas kerja rendah dan menjadi tidak kreatif.
Campers adalah seperti orang-orang yang berkemah. Campers mengarah pada individu-individu yang telah berusaha melakukan pendakian atau berusaha mencapai tujuan. Namun kemudian berhenti ketika mencapai pada tingkat tertentu dan merasa telah cukup sukses sehingga ia berhenti dalam mendaki. Satu titik kesuksesan bukanlah tujuan hidup. Kesuksesan hanya merupakan satu keberhasilan dalam menghadapi rintangan. Dengan demikian Adversity quotien tidak mengenal tujuan akhir. Berhentinya upaya untuk memperjuangkan aktivitas diri berarti ia telah berhenti mendaki. Individu ini termasuk merugi karena ia tidak berupaya mencapai puncak yang bisa dicapainya. Pada dasarnya campers berupaya menghindar pengalaman yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan besar.
Climbers berarti pendaki. Menurut Adversity quotien, climbers adalah sebutan untuk individu yang semua hidup membaktikan diri untuk pendakian. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian nasib naik atau buruk, ia terus mendaki. Climbers selalu berfikir tentang kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai aktivitas diri dengan tidak pernah membiarkan hambatan-hambatan menghalangi pendakiannya.
Climbers berkeyakinan bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana meskipun orang lain bersikap negatif dan menyatakan bahwa hal itu tidak mungkin ditempuh dan climbers selalu yakin akan menemukan cara membuat segala sesuatu terjadi karena climbers tidak pernah khawatir pada resiko dan yakin akan adanya keberhasilan atas usaha-usaha yang ditempuhnya.
Ketiga jenis sikap tersebut terbangun oleh proses belajar individu atas pengalaman dan persepsi individu terhadap hal-hal yang dihadapi. Dengan demikian nilai Adversity quotien yang dimiliki oleh individu bukanlah disposisi yang sifatnya bawaan, melainkan dapat dipelajari dan dilatih.

G. Manajemen Waktu
Banyak orang mengalami stres karena merasa tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan semua tanggung jawabnya karena ada deadline, pembatasan anggaran dan tekanan kompetisi maka individu menjadi lebih banyak bekerja. Solusinya adalah pandai dalam mengatur waktu. Dua kunci yang diperlukan untuk mengatur waktu adalah 1) kemampuan untuk menentukan prioritas 2) kemampuan untuk konsentrasi secara penuh pada satu hal dalam satu waktu.
Jika merasa bahwa waktu yang dimiliki tidak pernah cukup untuk melakukan segala pekerjaan yang harus dilakukan, maka harus menentukan skala prioritas pada aktivitas yang dilakukan. Sebagian besar orang banyak melakukan hal-hal yang kecil dibanding yang utama karena sesuatu yang kecil lebih mudah dan mereka sering lebih senang dibanding hal-hal yang besar. Biasanya waktunya lebih tersita untuk hal yang kecil padahal sebenarnya untuk hal besar ketersediaan waktu juga harus lebih banyak.
Disiplin diri untuk mengatur pekerjaan dan fokus untuk menghargai tugas merupakan merupakan tanda waktu yang dimiliki di bawah kontrol. Hal tersebut dapat mengurangi tingkat stres. Ada dua hal agar waktu yang dimiliki tetap di bawah kontrol adalah: 1) Membuat keputusan hari ini untuk menjadi ahli dalam mengatur waktu 2) Menentukan prioritas secara jelas pada semua pekerjaan sebelum memulai aktivitas, mendisiplinkan diri untuk memulai pada tugas yang penting dan tetap fokus. Hal itu akan mengurangi stres dengan segera.
Empat pilar pada managemen waktu secara efektif adalah:
Pilar pertama adalah identifying roles. Banyak orang secara nyata tidak berfikir tentang peran yang mereka lakukan dalam hidup. Tugas yang pertama menuliskan peran kunci dalam hidup. Tulis peran sebagai anggota keluarga misal sebagai suami/istri, bapak/ibu, anak, paman/tante, kakek/nenek. Peran lain adalah di sekolah atau pekerjaan, pilih bagian khusus yang ingin difokuskan.
Pilar kedua adalah selecting goals. Setelah melengkapi pilar pertama langkah selanjutnya adalah berfikir satu atau dua hasil yang ingin dicapai pada setiap peran selama minggu depan. Hal tersebut harus dicatat sebagai goal. Idealnya goal setiap minggu harus merupakan bagian dari goal jangka panjang.
Pilar yang ketiga adalah scheduling. Tujuan di minggu depan harus didefinisikan. Misalnya ingin meningkatkan kemampuan presentasi, jadwal dalam minggu tersebut pergi ke internet untuk mencari materi presentasi, kursus keterampilan presentasi. Pada tahap ini perlu mengidentifikasi peran dan menentukan goal, menjabarkan setiap goal pada hari-hari tertentu dalam minggu ini. Pengawas harus mampu mengelola waktu dengan baik, sehingga dapat menjalankan program kepengawasannya secara baik pula. Kedisiplinan pengawas merupakan syarat mutlak, tetapi bukan keangkuhan yang diunggulkan untuk menutupi ketidakmampuan dalam mengelola waktu.








BAB IV
MEMBERDAYAKAN DIRI


A. Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan belajar sebagai empat aspek organisasi pendidikan dengan para pendidik adalah sebagai berikut:
1. Informasi mengenai kinerja organisasi pendidikan
2. Imbalan-imbalan yang didasarkan atas kinerja organisasi pendidikan
3. Pengetahuan yang memungkinkan para pendidik memahami dan menyumbang pada kinerja organisai pendidikan
4. Kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi arah dan kinerja organisasi pendidikan.
Dalam suatu pendekatan lini proses belajar mengajar, hal-hal di atas cenderung dikonsentrasikan di tangan pemimpin dan pengawas sekolah. Dengan pendekatan pemberdayaan belajar, keempat aspek di atas cenderung digerakkan ke bawah, ke arah pendidik. Bahkan, dengan definisi ini, pemberdayaan belajar bisa berkisar antara member staf sebuah kotak saran sampai meminta mereka mengendalikan sekolah tanpa pemimpin dan pengawas sekolah.
Terdapat tiga tipe pemberdayaan :
1. Suggestion involvement merupakan sebuah pergeseran kecil yang menjauhi model control. Para pendidik didorong untuk menyumbangkan ide-ide melalui program-program saran formal atau lingkaran-lingkaran kualitas, tetapi kegiatan-kegiatan kerja sehari-hari mereka tidak benar-benar berubah. Suggestion involvement bisa membuahkan pemberdayaan tanpa mengubah pendekatan proses belajar mengajar, Mendefinikan pemberdayaan belajar dari sudut pandang Suggestion involvement.
2. Job Involvement merupakan penyimpangan yang signifikan dari model control karena ia secara dramatis membuka kandungan proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar didesain ulang sedemikian rupa sehingga para pendidik menggunakan aneka ide-ide ketrampilan. Para pendidik percaya tugas-tugas mereka penting.mereka mempunyai kebebasan lumayan besar dalam memutuskan bagaimana mengerjakan pekerjaannya. Mereka mendapat umpan balik lebih besar daripada pendidik dalam organisasi-organisasi pendidikan dan mereka masing-masing menangani satu bagian pekerjaan yang tertentu dan utuh. Meskipun demikian, terlepas dari tingginya tingkat pemberdayaan belajar yang dibawakannya. Pendekatan job involvement ini tidak mengubah keputusan-keputusan strategis tingkat yang lebih tinggi yang menyangkut struktur organisasi pendidikan. Semua itu tetap menjadi tangung jawab pemimpin dan pengawas sekolah.
3. High involvement adalah tingkat yang ketiga, suatu organisasi-organisasi pendidikan high involvement memberi para pendidik tingkat terrendah, mereka mempunyai perasaan dilibatkan tidak hanya dalam bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan mereka, atau seberapa efektif kinerja kelompok mereka ,tetapi juga dalam kinerja total organisasi pendidikan. Praktis setiap aspek organisasi pendidikan yang berorientasi pada control. Informasi mengenai segala aspek kinerja manajemen pendidikan dibagi secara horizontal di seantero organisasi pendidikan, maupun secara vertical (naik turun ke semua tingkat struktur). Para pendidik mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang luas dalam teamwork, problem-solving dan operasi-operasi belajar mengajar.
Misinterpretasi-misinterpretasi umum tentang pemberdayaan pendidikan bukanlah:
1. Delegasi
Perbedaan antara delegasi dan pemberdayaan pendidikan. Delegasi dilakukan oleh pemimpin dan pengawas sekolah. Pemberdayaan jika berjalan dengan baik dilakukan oleh para pendidik. Seringkali delegasi sama dengan dumping. Kadang-kadang ia lebih positif dan berupa suatu keseimbangan antara pengarahan dan otonomi. Tetapi biasanya ia masih tidak memiliki unsur dukungan seperti yang dilibatkan oleh pemberdayaan pendidikan.
2. Tanggung jawab
Tanggung jawab sendiri bukanlah pemberdayaan, pemberdayaan pendidikan bukanlah sekedar masalah menyodorkan tanggung jawab lebih besar di suatu organisasi pendidikan.
Memahami kekuatan-kekuatan, kelemahan-kelemahan, dan batas-batas anda, berarti mengenal diri sendiri. Melalui penilaian-penilaian formal maupun informal, dari para pemimpin dan pengawas sekolah serta para pendidik berusaha memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. Pengetahuan diri adalah suatu kekuatan. Dalam organisasi pendidikan yang diberdayakan para pendidik harus mampu mendapatkan informasi mengenai kekuatan-kekuatan, kelemahan-kelemahan, dan kinerja mereka sendiri dari penilaian-penilaian semua orang. Mencoba melihat pekerjaan Anda dalam konteks seluruh sekolah, bukan hanya konteks bagian anda di dalamnya. Mengembangkan kepercayaan diri dan cita-cita diri yang memungkinkan Anda mengemban tanggung jawab. Kepercayaan diri dan cita-cita membangun motivasi yang termasuk paling kuat, tetapi sekaligus juga membangun batasan-batasan yang termasuk paling berpengaruh pada upaya untuk mengubah perilaku.

Untuk menjadi orang yang diberdayakan, orang perlu :
1. Mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk mengemban tanggung jawab
2. Mengemban tanggung jawab
3. Berbagi tanggung jawab
4. Membantu orang-orang lain dalam tim mereka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan personal yang mereka butuhkan agar efektif
5. Mengembangkan kreatifitas personal dan tim
6. Mencari cara-cara untuk menciptakan perubahan
7. Siap menantang cara berfikir yang sudah lama diterima
8. Menerima tanggung jawab bukan saja atas pekerjaan sendiri, tetapi juga atas kariernya
9. Menjaga keseimbangan yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi
10. Mengerjakan pekerjaan yang ia nikmati
11. Terus belajar

Mengemban tanggung jawab
Orang bisa menerima tanggung jawab di beberapa tingkatan :
1. Atas tugas-tugas yang secara langsung dialokasikan hanya kepadanya
2. Atas tugas-tugas yang dialokasikan pada suatu kelompok secara umum.
3. Atas tugas-tugas yang tidak dialokasikan kepada siapapun.
4. Atas tugas-tugas yang belum dicetuskan.
Orang yang sepenuhnya terberdayakan menerima tanggung jawab di semua tingkatan di atas dan biasanya tidak perlu berfikir dua kali untuk bertindak. Namun, untuk mencapai titik itu dibutuhkan waktu dan usaha keras. Pemberdayaan seseorang terjadi dalam tiga tahap, yang mirip dengan tahap-tahap pertumbuhan seorang anak kecil :
1. Dependensi : ketergantungan hierarkis pada tataran-tataran.
2. Independensi : ketika seorang individu mampu membuat keputusan sendiri. Pada tahap ini ia mendapatkan kepercayaan diri, menjadi suka memberontak dan menguji batas-batas pemberdayaan mereka.
3. Interdependensi : seorang individu menemukan bahwa orang tidak mungkin hidup sendiri. Dan mempelajari suatu dependensi baru yang didasarkan atas kesederajatan. Kerja sama dan kepercayaan pada rekan-rekan kerja. Mengemban keterampilan-keterampilan yang perlu untuk mengemban tanggung jawab. Sejumlah keterampilan diperlukan untuk mencapai titik interdepensi
Berbagi kekuasaan dan tanggung jawab. Secara umum, setiap pemimpin dan pengawas sekolah harus berbagi setidak-tidaknya 25 persen
dari pekerjaannya setiap tahun, dengan jalan :
1. Mendelegasikan tanggung jawab pada orang-orang yang sudah dibimbing untuk menerimanya.
2. Mensistematisasikan proses-proses sedemikian rupa, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan tingkat masukan pertimbangan dan kendali manajerial yang sama.
Mengembangkan kepercayaan pada kolega dan membantu mereka mengembangkan kepercayaan pada anda. Kepercayaan adalah unsur esensial dalam melakukan pertimbangan apakah anda bisa mendelegasikan tugas dan tanggung jawab pada orang lain. Ada tiga komponen dasar kepercayaan dalam hubungan yang bersifat professional :
1. Kepercayaan pada integritas dan kemauan baik masing-masing pihak
2. Kepercayaan bahwa anda berbagi tujuan-tujuan yang sama, atau terbuka tentang tujuan-tujuan yang bertentangan
Kepercayaan pada kompetensi masing-masing untuk mengerjakan apa yang dijanjikan. Mengembangkan jaringan informasi dan pengaruh yang efektif. Berbagi informasi memberikan efek, hal ini menciptakan kesetiaan dengan jalan membiarkan bawahan tahu bahwa mereka dipercayai dan ide-ide mereka dihormati. Hal itu mendukung arus komunikasi umum dan itu membantu memastikan para pemimpin dan pengawas sekolah agar mendengar tentang masalah-masalah yang berkembang supaya dapat dilokalisir dan tidak menyebar.

B. Pengertian Komitmen terhadap Perubahan Organisasi pendidikan
Definisi tentang komitmen sangat beragam, antara lain dikemukakan oleh London dan Howart (dalam Culverson, 2002). Menurut London dan Howart (dalam Culverson, 2002), komitmen menunjukkan identifikasi pendidik terhadap sasaran-sasaran organisasi pendidikan, keterlibatan terhadap peran di dalam pekerjaan, perasaan loyal dan afeksi terhadap organisasi pendidikan. Mowday, dkk. (1982) mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu terhadap organisasi pendidikan dan keterlibatan dalam organisasi pendidikan khusus. Lebih lanjut disampaikan bahwa ada tiga karakteristik komitmen, yaitu:
a. Keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan sasaran-sasaran organisasi pendidikan,
b. Keinginan untuk memberikan upaya terhadap kepentingan organisasi pendidikan, dan
c. Keinginan yang kuat untuk menjaga keanggotaan pendidik dalam organisasi pendidikan.
Nijhof, dkk. (dalam Culverson, 2002) mendefinisikan komitmen sebagai perasaan loyal dan identifikasi terhadap organisasi pendidikan, pekerjaan dan kelompok yang dimiliki pendidik. Definisi tersebut tidak hanya mencakup karakteristik individu dalam komitmen (perasaan loyal atau tingkat usaha yang dilakukan terhadap pekerjaan), tetapi juga mengacu pada penerimaan terhadap nilai-nilai organisasi pendidikan dan keinginan untuk tetap tinggal di organisasi pendidikan. Lebih lanjut disampaikan bahwa perasaan loyal dan identifikasi terhadap organisasi pendidikan mengekspresikan motivasi untuk memberikan usaha yang maksimal terhadap pekerjaan, motivasi untuk bertanggung jawab, dan keinginan untuk belajar. Dalam situasi perubahan organisasi pendidikan, komitmen pendidik ditunjukkan dengan tetap loyal dan mengidentifikasi secara psikologis terhadap proses perubahan yang terjadi dan memberikan usaha-usaha yang maksimal untuk mendukung perubahan.
Perubahan sering dideskripsikan sebagai proses yang terjadi melalui serangkaian fase yang berbeda-beda dan memerlukan waktu yang lama. Menurut Lewin’s (dalam Kinichi, dkk., 2001), ada tiga fase dalam proses perubahan organisasi pendidikan, yaitu unfreezing, moving dan freezing. Pada saat fase unfreezing, merupakan hal yang penting untuk menciptakan sense of urgency, sehingga pendidik siap untuk berubah. Armenakis, dkk. (1993) menggambarkan kesiapan terhadap perubahan organisasi pendidikan sebagai keyakinan, sikap dan intensi dari anggota organisasi pendidikan bahwa perubahan merupakan hal yang diperlukan dan agar perubahan tersebut berhasil, maka dukungan dari seluruh pendidik diperlukan. Selama proses implementasi (fase ke dua dan ke tiga), dukungan aktif dari pendidik merupakan hal yang penting (Armenakis dan Bedeian, 1999). Saat pendidik diminta untuk berpartisipasi dan saat usulan-usulan mereka didengarkan secara serius, maka komitmen mereka terhadap perubahan organisasi pendidikan akan meningkat (Armenakis dan Bedeian, 1999). Jaffe, dkk. (dalam Devos, dkk., 2001) menegaskan bahwa komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan memegang peran yang penting untuk kesuksesan perubahan organisasi pendidikan. Lebih lanjut Devos, dkk.( 2001) menyampaikan bahwa kesiapan terhadap perubahan organisasi pendidikan dan komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan saling berhubungan. Keduanya mengindikasikan tingkatan dari anggota-anggota organisasi pendidikan untuk memberikan dukungan terhadap perubahan organisasi pendidikan.
Armenakis, dkk. (1999) menegaskan bahwa komitmen merupakan salah satu faktor penting yang menunjukkan keterlibatan pendidik untuk mendukung perubahan organisasi pendidikan. Lebih lanjut Conner (dalam Herscovitch dan Meyer, 2002) mendeskripsikan komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan sebagai perekat yang memberikan ikatan penting antara pendidik dan sasaran-sasaran perubahan organisasi pendidikan. Sedangkan menurut Conner dan Patterson (dalam Herscovitch dan Meyer, 2002), prevalensi paling penting yang memberikan kontribusi terhadap kegagalan perubahan adalah jika pendidik kehilangan komitmen.
Konsep komitmen yang sering diacu adalah yang dikemukakan oleh Meyer dan Allen (1990). Menurut mereka, komitmen adalah kondisi psikologisatau mind-set, yang menunjukkan keinginan pendidik untuk menjaga keanggotaannya di organisasi pendidikan. Mereka menyampaikan tiga komponen komitmen, yaitu: affective commitment (keinginan untuk menjaga keanggotaan di organisasi pendidikan), continuance commitment (pertimbangan rasional tentang untung ruginya jika meninggalkan organisasi pendidikan) dan normative commitment (kewajiban yang dirasakan untuk menjaga keanggotaan). Hal tersebut jika diterapkan dalam perubahan organisasi pendidikan, maka affective commitment akan ditunjukkan pendidik oleh keinginan mereka untuk tetap menjaga dan memberikan dukungan terhadap proses perubahan, ada ikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan dalam perubahan organisasi pendidikan berdasarkan keinginannya sendiri; continuance commitment digambarkan sebagai pertimbangan rasional tentang untung ruginya pendidik jika mereka akan meninggalkan organisasi pendidikan karena adanya perubahan di organisasi pendidikan tersebut, pendidik mempertimbangkan untuk tetap tinggal di organisasi pendidikan walaupun terjadi perubahan, karena dengan tetap tinggal di organisasi pendidikan, kebutuhankebutuhan mereka dapat terpenuhi; sedangkan normative commitment ditunjukkan oleh pendidik dengan keyakinan mereka tentang tanggung jawab terhadap perubahan organisasi pendidikan, mereka merasa seperti mempunyai kewajiban untuk tetap loyal terhadap perubahan organisasi pendidikan.
Sumber daya yang melekat pada diri individu untuk melakukan serangkaian tindakan tersebut merefleksikan:
a. Keinginan untuk memberikan dukungan secara emosional, melakukan identifikasi dan keterlibatan terhadap perubahan organisasi pendidikan berdasarkan keinginannya sendiri (affective commitment to change),
b. Pengakuan bahwa secara rasional bahwa terdapat kerugian jika mereka tidak memberikan dukungan terhadap perubahan, karena dengan memberi dukungan akan dapat memenuhi kebutuhan pendidik (continuance commitment to change), dan,
c. Turut bertanggung jawab dan loyal untuk memberikan dukungan terhadap perubahan (normative commitment to change). Wanberg dan Banas (2000) mengistilahkan komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan sebagai keterbukaan terhadap perubahan organisasi pendidikan. Secara khusus Miller, dkk. (dalam Wanberg dan Banas, 2000) mengkonsepsikan keterbukaan terhadap perubahan organisasi pendidikan sebagai:
1) Keinginan untuk memberikan dukungan terhadap perubahan organisasi pendidikan,
2) afeksi yang positif tentang hasil potensial yang berasal dari perubahan (perasaan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan-keuntungan dalam beberapa hal).
Armenakis, dkk. (1993) juga menjelaskan bahwa keterbukaan terhadap perubahan organisasi pendidikan merupakan hal yang kritis dalam proses perubahan, pendidik yang mempunyai keterbukaan terhadap perubahan organisasi pendidikan akan menunjukkan kesiapan terhadap perubahan organisasi pendidikan. Miller, dkk. (1994) juga menegaskan bahwa keterbukaan terhadap perubahan organisasi pendidikan yang tinggi menunjukkan tingginya kerja sama pendidik dan dapat untuk mengatasi perilaku penolakan terhadap perubahan, seperti pertengkaran, kebencian, sengaja berdusta dan kehilangan kerja sama dengan manajemen.
Komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan dan keterbukaan terhadap perubahan organisasi pendidikan saling berkaitan, dan menunjukkan kesiapan dan dukungan dari pendidik terhadap perubahan organisasi pendidikan. Sumber daya tersebut terdiri dari tiga aspek, yaitu: affective commitment to change, continuance commitment to change dan normative commitment to change.
Pengawas dituntut memiliki kemampuan untuk mengakomodasi dan mengawal perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi pendidikan sehingga terwujud organisasi yang dinamis dan sehat. Pengalaman dan kecermatan pengawas menentukan keberhasilan melaksanakan tanggung jawab tersebut.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen terhadap Perubahan Organisasi pendidikan
Devos, dkk. (2001) mengemukakan bahwa faktor pertama yang mempengaruhi komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan berhubungan dengan proses pengimplementasian dari perubahan spesifik yang terjadi. Faktor-faktor tersebut menunjukkan perbedaan aspek yang berasal dari agen perubahan saat proses perubahan secara fundamental terjadi.
1. Faktor-faktor yang Berasal dari Proses Perubahan
a. Dukungan dari manajemen puncak
Ketika perubahan besar terjadi, pimpinan sekolah dari organisasi pendidikan merupakan kunci dalam proses komunikasi ini. Anggota-anggota organisasi pendidikan tidak akan menganggap perubahan sebagai hal yang mendapat perhatian serius jika manajemen puncak tidak secara aktif memberikan dukungan terhadap proses perubahan. Pengembangan sense of urgency dan visi yang dikomunikasikan dan ditunjukkan kepada pendidik merupakan elemen penting dalam proses perubahan. Perubahan organisasi pendidikan akan kurang berhasil jika manajemen puncak gagal menyampaikan informasi tentang proses perubahan kepada pendidik
b. Kepemimpinan di tingkat menengah
Keberhasilan perubahan memerlukan kekuatan yang dapat mengarahkan koalisi. Kekuatan koalisi ini mengalir bersama dukungan yang diberikan oleh manajemen puncak. Kelompok-kelompok dalam organisasi pendidikan tidak akan kuat jika kepemimpinan di level menengah tidak mempunyai kekuatan. Manajer-manajer level menengahlah yang menerjemahkan tujuan-tujuan umum dari perubahan organisasi pendidikan ke dalam sasaran-sasaran khusus dari tiap departemen. Gaya kepemimpinan personal yang ditunjukkan oleh manajer level menengah dan hubungan sosial dengan anak buah mereka selama proses perubahan terjadi merupakan elemen penting yang perlu dijaga dan dimonitor. Selanjutnya disampaikan bahwa dukungan secara aktif, kemampuan untuk menangkap kesempatan-kesempatan baru dan kemampuan untuk mendukung anggota-anggota organisasi pendidikan secara wajar merupakan elemen yang krusial bagi kepemimpinan tingkat menengah.

c. Waktu
Waktu memerankan dua peran sentral dalam proses perubahan. Pertama, pengimplementasian proses perubahan melalui fase-fase yang berbeda. Fase-fase tersebut memerlukan waktu. Kondisi ini memerlukan waktu yang cukup untuk mencoba dan mengekslorasikan perilaku baru yang diharapkan dari proses perubahan (Jaffe, dkk., 1994).
d. Partisipasi
Kurangnya partisipasi merupakan penyebab utama kegagalan perubahan organisasi pendidikan. Hal yang substantif dari partisipasi pendidik dalam proses perubahan adalah pengambilan keputusan yang dibagi (shared dicisionmaking). Jika hal tersebut dilakukan, maka komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan cenderung lebih tinggi. Partisipasi menyediakan kesempatan dari anggota-anggota organisasi pendidikan untuk menerima lebih banyak informasi. Tanpa informasi-informasi tersebut, anggota-anggota organisasi pendidikan akan cenderung sulit memberikan dukungan terhadap upaya-upaya perubahan. Kekurangan informasi dan rumor-rumor akan membuat pendidik membuat kesimpulan dengan mudah bahwa upaya-upaya perubahan mengalami kegagalan (Reichers, dkk., 1997). Selanjutnya disampaikan bahwa jika hal tersebut dialami oleh pendidik, maka komitmen pendidik terhadap perubahan cenderung menurun.

2. Faktor-faktor Kontekstual
Devos, dkk. (2001) menyampaikan bahwa faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi komitmen terhadap perubahan organisasi pendidikan dibagi menjadi tiga level, yaitu: level organisasi pendidikan, unit kerja/kelompok, dan individu.
a. Level organisasi pendidikan
1) Keadilan prosedural
Proses pengambilan keputusan dari manajemen puncak
memainkan peran penting untuk menciptakan iklim dan kultur bagi keberlangsungan perubahan organisasi pendidikan. Kepercayaan yang saling timbal balik dan kemungkinan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan merupakan sentral dalam pengembangan iklim perubahan yang bersahabat. Manajer-manajer yang memperhatikan hal-hal tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari anggota-anggotanya, dinilai adil dan kredibel. Kredibilitas tersebut merupakan awal yang penting bagi seorang pimpinan sekolah. Sejauh mana keputusan dari manajemen puncak dinilai adil dapat didefinisikan sebagai keadilan prosedural. Konsep keadilan ini mengacu pada komunikasi yang bersifat dua arah, konsistensi keputusan terhadap unit-unit dalam organisasi pendidikan yang berbeda, transparansi dari keputusan dan kemungkinan untuk meng-counter pandangan-pandangan dari manajemen puncak.
2) Penghargaan
Kepercayaan terhadap keputusan-keputusan manajemen puncak kepada anggota-anggota organisasi pendidikan adalah diberikannya penghargaan. Penghargaan ini akan menentukan iklim yang kondusif bagi keberlangsungan perubahan. Organisasi pendidikan yang berani mengambil resiko untuk memberikan penghargaan akan menstimulasi adanya pembelajaran organisasi pendidikan dan inovasi. Hal tersebut akan berbeda dengan organisasi pendidikan yang cenderung birokratis, yang mementingkan hal-hal yang bersifat prosedural dan menekankan adanya hukuman. Sistem penghargaan dalam organisasi pendidikan merupakan subsistem dari kebijakan dan prosedur dalam organisasi pendidikan. Pendidik akan berperilaku sesuai dengan penghargaan yang diberikan oleh organisasi pendidikan kepada mereka. Lebih lanjut ditegaskan bahwa sistem pengupahan terhadap perfomansi akan mempengaruhi perilaku pendidik di
tempat kerja.
3) Sejarah perubahan
Kesiapan pendidik terhadap perubahan dipengaruhi oleh track record keberhasilan pengimplementasian perubahan organisasi pendidikan Jika perubahan organisasi pendidikan mengalami kegagalan pada masa yang lalu, pendidik cenderung enggan terhadap inisiatif perubahan.
b. Unit kerja atau kelompok
1) Kenyamanan psikologis
Di samping faktor-faktor organisasi pendidikan, perubahan perilaku juga dipengaruhi oleh faktor-faktor interpersonal dan level kelompok, karena perubahan terjadi dalam interaksi tatap muka (face-to-face interaction). Kesiapan pendidik terhadap perubahan tergantung pada keyakinan mereka tentang respon orang-orang sekitarnya.
Kepercayaan terhadap manajemen puncak dan sistem penghargaan yang menstimulasi perilaku pengambilan resiko pada level organisasi pendidikan harus dilengkapi atau diimbangi dengan kepercayaan timbal balik dan kepercayaan dalam kegiatan unit-unit kerja. Selanjutnya disampaikan definisi kenyamanan psikologis sebagai persepsi pendidik terhadap lingkungan, yang meliputi kedekatan hubungan interpersonal, sikap positif dari rekan sekerja dan hubungan antara anggota dengan supervisor. Jika anggota meyakini bahwa manajer tidak memberikan bantuan secara psikologis, maka pendidik cenderung akan mengalami kesulitan untuk menghadapi perubahan.
2) Partisipasi terhadap pekerjaan
Di samping partisipasi pendidik terhadap upaya-upaya perubahan yang besar, partisipasi terhadap pekerjaan secara umum mempengaruhi motivasi pendidik terhadap perubahan dalam skala besar. Partisipasi terhadap pekerjaan secara umum diharapkan akan mempunyai kontribusi positif terhadap komitmen pendidik terhadap perubahan.
3) Dukungan sosial
Dukungan sosial mengacu pada ketersediaan bantuan dari pihak lain yang berupa informasi, afeksi, kenyamanan, dorongan atau penguatan. Individu yang mendapatkan lebih banyak dukungan sosial dari lingkungannya cenderung mengalami kesehatan mental dan fisik dalam taraf yang lebih tinggi selama mengalami kejadian-kejadian hidup yang penuh tekanan. Dukungan sosial yang berasal dari rekan sekerja dapat membantu pendidik untuk berusaha mengatasi perubahan yang terjadi.
4) Individual
a) Locus of control
Berdasarkan studi-studi tentang hubungan antara karakteristik personal dan kewirausahaan diketahui bahwa locus of control merupakan satu karakteristik personal yang penting terhadap perilaku inovatif. Locus of control sering didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kemampuannya untuk mengontrol lingkungan. Internal locus of control melihat diri mereka sendiri sebagai agen yang aktif dan meyakini bahwa mereka dapat mengontrol lingkungan dan kesuksesan mereka sendiri. Sedangkan external locus of control melihat diri mereka sendiri sebagai agen pasif dan meyakini bahwa kejadian-kejadian dalam kehidupan mereka dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dan dikuasai oleh pihak lain. Dalam situasi perubahan, pendidik yang mempunyai internal locus of control cenderung melibatkan diri mereka terhadap proses perubahan, karena mereka meyakini bahwa kesuksesan perubahan tergantung usaha keras mereka sendiri.
b) Kepuasan kerja
Pendidik yang mempunyai kepuasan kerja tinggi akan lebih
termotivasi untuk mendukung perubahan organisasi pendidikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen pendidik terhadap perubahan organisasi pendidikan berasal dari faktor proses perubahan dan kontekstual, baik pada level organisasi pendidikan, unit kerja atau kelompok dan individu. Optimisme dan efikasi diri dalam perubahan merupakan faktor yang diduga mempengaruhi komitmen pendidik terdapat perubahan, yang berasal dari faktor kontekstual, khususnya pada level individual. Dukungan yang dirasakan dari organisasi pendidikan merupakan faktor yang diduga mempengaruhi komitmen pendidik terhadap perubahan, yang berasal dari faktor kontekstual pada level unit kerja atau kelompok.
Setiap orang yang melaksanakan fungsi kepemimpinan harus mampu memberdayakan orang lain agar mau melakukan upaya-upaya untuk menca- pai tujuan organisasi. Demikian pula dengan pengawas satuan pendidikan. Sejalan dengan tugas pokoknya yaitu melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja sekolah, kepala sekolah, guru, dan seluruh staf sekolah, maka para pengawas dituntut memiliki kemampuan memberdayakan agar bekerja seoptimal mungkin guna peningkatan kualitas kinerja mereka.
Memberdayakan berarti “memasukkan daya ke dalam”, atau “menyalurkan energi dan antusiasme”. Memberdayakan berarti membuat usaha yang sistematis dan berkesinambungan untuk memberi orang lain informasi, pengetahuan, dukungan, dan kesempatan yang lebih banyak guna melatih kekuatan mereka untuk meraih keberhasilan. Maka tahap pertama dalam memberdayakan orang lain adalah menjaga agar jangan sampai mengulang melakukan apapun yang bisa membuat mereka merasa tak berdaya atau yang mengurangi energi dan antusiasme mereka atas apa yang mereka lakukan.
Sebelum membahas lebih jauh tentang upaya memberdayakan orang lain, marilah kita evaluasi dulu, apakah kita selama ini sudah cukup memberdayakan orang lain.
2. Memberdayakan Orang Lain
Kebutuhan yang paling mendalam dari masing-masing orang adalah harga diri, merasa dianggap penting, bernilai, dan bermanfaat. Apa pun yang kita lakukan dalam interaksi dengan mereka, pasti akan mempengaruhi harga diri mereka. Kita harus mempunyai kerangka acuan yang sangat tepat untuk menentukan segala sesuatu yang dapat kita lakukan untuk mendorong harga diri mereka, dan karenanya juga memunculkan perasaan kekuatan pribadi mereka. Berikanlah kepada mereka apa yang kita sukai bagi diri kita sendiri.
Tiga hal sederhana yang dapat kita lakukan setiap hari untuk memberdayakan orang lain dan membuat mereka merasa nyaman dengan diri mereka sendiri akan diuraikan di bawah ini.
a) Apresiasi (Appreciation)
Mungkin hal paling sederhana untuk membuat orang lain merasa nyaman dengan dirinya sendiri adalah ekspresi kita yang berkesinambungan atas segala hal yang mereka lakukan, besar maupun kecil. Katakan “terima kasih” dalam setiap kesempatan yang sesuai.
Makin banyak kita mengucapkan terima kasih atas apa yang mereka lakukan untuk kita, makin banyak hal yang akan mereka lakukan. Setiap saat kita berterima kasih pada mereka, kita telah menjadikan mereka merasa lebih baik. Kita membangkitkan rasa harga diri mereka dan meningkatkan self-image mereka. Kita membuat mereka merasa dipentingkan. Kita membuat mereka merasa bahwa mereka berharga dan berguna. Kita telah memberdayakan mereka.
Bila kita mengembangkan sikap penghargaan yang mengalir dengan tulus dari diri kita kedalam seluruh interaksi kita dengan orang lain, kita akan sangat terkejut dengan kenyataan mengenai betapa populernya kita dan betapa orang lain sangat berhasrat untuk membantu kita dalam melakukan apa pun yang kita kerjakan.
b) Pendekatan (Approach)
Cara kedua untuk membuat orang menjadi merasa dipentingkan, untuk meningkatkan harga diri mereka, dan memberikan mereka rasa kekuatan dan berenergi adalah dengan banyak menggunakan pujian dan pendekatan. Ken Blanchard (Brian, 2007) menyarankan untuk memberikan “pujian satu menit” pada setiap kesempatan. Jika kita memberikan pujian dan pendekatan yang jujur dan tulus kepada orang lain atas prestasi mereka, besar maupun kecil, kita akan dikejutkan dengan kenyataan betapa banyaknya orang yang menyukai kita dan betapa banyaknya orang yang dengan sukarela mau membantu kita mencapai tujuan.
Ada hukum resiproksitas psikologis yang menyatakan “jika anda merasa baik tentang diri saya, maka saya akan menemukan cara untuk membuat anda merasa baik tentang diri anda”. Dengan perkataan lain, orang akan selalu mencari cara membalas kebaikan kita kepada mereka. Jika kita mencari setiap kesempatan untuk melakukan dan mengatakan sesuatu yang membuat orang lain merasa nyaman tentang diri mereka, kita akan heran dengan tidak hanya bagaimana senangnya perasaan kita, tapi juga heran dengan hal-hal menakjubkan yang mulai terjadi di sekitar kita.
c) Perhatian (Atention)
Cara ketiga untuk memberdayakan orang lain, membangun harga diri, dan membuat mereka merasa penting adalah memberikan perhatian penuh terhadap mereka saat mereka bicara. Sebagian besar orang sangat disibukkan dengan usaha untuk didengar, yang membuat mereka jadi tidak sabar saat orang lain bicara. Ingatlah, satu kegiatan paling penting yang harus dilakukan dari waktu ke waktu adalah mendengarkan secara sungguh-sungguh terhadap orang lain saat
mereka berbicara atau mengeksresikan diri.

D. Pengertian Komitmen Kerja
Pengertian komitmen banyak dikemukakan oleh para ahli yang pada dasarnya mengacu pada komitmen organisasi. Komitmen artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan pencapaian tujuan organisasi. Secara perilaku, pendidik yang memiliki komitmen terhadap lembaga organisasinya apabila pendidik tersebut telah bekerja selama beberapa waktu lamanya dan akan merasa kehilangan banyak hal apabila meninggalkan lembaga tersebut. Secara sikap, komitmen dipandang sebagai suatu keadaan dimana seseorang mengidentifikasikan dirinya pada suatu lembaga atau organisasi pendidikan dan tujuan-tujuannya serta ingin tetap menjadi anggota dari organisasi pendidikan tersebut. Komitmen merupakan suatu sikap, cara pandang dan pendapat yang terdapat dalam diri pendidik untuk bersikap loyal atau setia terhadap lembaga organisasi pendidikan. Komitmen juga merupakan perasaan psikologis seseorang terhadap tempat individu melakukan aktivitasnya. Perasaan psikologis berupa janji, rasa tanggung jawab, loyal kepada organisasi pendidikan dan tetap mempertahankan keanggotaannya serta percaya pada nilai-nilai dan tujuan organisasi pendidikan. Menurut Haslam (2001) pengertian komitmen sebagai suatu kondisi psikologis yang mencerminkan kemauan seseorang untuk menampilkan perilaku yang meningkatkan peluang pencapaian tujuan organisasi pendidikan.
Komitmen merefleksikan seberapa dalam keterlibatan individu terhadap apa yang dikerjakannya (Kreitner dan Kinicki, 2004). Individu yang komit memiliki pendirian terhadap cita-citanya dan pantang putus asa meski berada di bawah tekanan, karena individu tersebut menginvestasikan dirinya pada situasi tersebut. Komitmen merefleksikan dirinya dengan lembaga organisasi pendidikan tempatnya bekerja dan komit pada tujuan organisasi pendidikan. Hal ini merupakan sikap kerja yang penting karena individu yang komit diharapkan akan menunjukkan kemauan untuk bekerja keras guna mencapai tujuan organisasi pendidikan dan memiliki keinginan besar untuk tetap bekerja pda lembaga organisasi pendidikan tersebut. Pendidik yang memiliki komitmen kerja tinggi akan memberi performansi terbaik bagi lembaga dan akan memiliki dedikasi, loyalitas dan keanggotaan dalam lembaga organisasinya. Pendidik yang memiliki komitmen yang tinggi ditandai dengan catatan kehadiran yang baik, masa kerja yang lebih lama, kecenderungan bekerja keras dalam pekerjaan dan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan yang komitmennya rendah. Individu yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki keyakinan, penerimaan kuat akan nilai-nilai dan tujuan organisasi pendidikan, kemauan untuk memberi upaya keras bagi kepentingan organisasi pendidikan dan keinginan kuat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi pendidikan. Pendidik dengan komitmen tinggi dengan kata lain akan lebih bernilai bagi organisasi pendidikan dibanding pendidik dengan komitmen rendah.
Komitmen kerja di atas, pada dasarnya mempunyai kesamaan penekanan yaitu adanya proses yang ada pada diri pendidik untuk mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi pendidikan. Komitmen kerja menunjukkan hubungan atau keterikatan psikologis pendidik dengan lembaga organisasinya, pendidik yang memiliki komitmen kerja tinggi akan memiliki keyakinan, penerimaan kuat akan nilai-nilai dan tujuan organisasi pendidikan, berupaya keras bagi kepentingan organisasi pendidikan dan senantiasa berusaha memelihara keanggotaannya dalam organisasi pendidikan.

E. Faktor-Faktor Komitmen Kerja
Komitmen afektif adalah afeksi atau pendekatan emosional individu kepada organisasi pendidikan yang membuat diri individu tersebut memiliki keyakinan dan komitmen kuat, individu terlibat didalamnya dan memiliki kepuasan untuk bergabung disuatu organisasi pendidikan. Komitmen kontinuansi adalah kecenderungan individu untuk ikut serta pada aktivitas dalam suatu organisasi pendidikan dimana individu tersebut memiliki beberapa investasi yang telah dibawa kepada organisasi pendidikan.
Faktor komitmen organisasi pendidikan yaitu a. komitmen afektif didefinisikan sebagai pendekatan secara afeksi atau perasaan individu terhadap organisasi pendidikan tempat individu tersebut bekerja; b. komitmen kontinuansi didefinisikan sebagai komitmen investasi dari individu yang telah ditanamkan dalam organisasi pendidikan, sehingga dalam diri individu muncul rasa memiliki terhadap perkembangan dan kemajuan organisasi pendidikan; c. komitmen normatif didefinisikan sebagai pengalaman sosial individu yang menimbulkan loyalitas tinggi individu terhadap organisasi pendidikan. Ketiga faktor tersebut memiliki pandangan bahwa komitmen merupakan aspek psikologis yang merupakan karakteristik dari hubungan pendidik dengan organisasi pendidikan tempatnya bekerja, dan memiliki pengaruh kepada penentuan kelanjutan atau pemberhentian keanggotaan individu dalam suatu organisasi pendidikan.
Pendidik yang memiliki komitmen afektif akan tetap berada di dalam organisasi pendidikan karena tingkat keyakinannya. Pendidik dengan komitmen kontinuansi akan tetap berada dalam organisasi pendidikan karena mereka membutuhkannya dengan menanamkan beberapa investasi pada organisasi pendidikan dan pendidik yang memiliki komitmen normatif akan tetap tinggal dalam organisasi pendidikan karena rasa memiliki dan loyalitas yang tinggi sebagai pengaruh dari perjalanan sosial yang telah ditempuh.
Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi pendidikan adalah: a. karakteristik personal yang meliputi usia, masa kerja dan motivasi berprestasi (berhubungan positif), kepribadian, dan tingkat pendidikan (berhubungan negatif dengan komitmen); b.karakteristik pekerjaan, yang meliputi kejelasan peran, tantangan, dan kesesuaian dengan kemampuan; c. karakteristik struktural, meliputi desentralisasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, ketergantungan fungsional, tingkat formalisasi, kepemilikan, dan kontrol terhadap organisasi pendidikan.
Komitmen sangat terkait dengan faktor-faktor individu dan faktor organisasi pendidikan. Individu yang memiliki keinginan untuk maju dan berkembang memiliki komitmen kerja tinggi. Self-esteem, locus of control, generalized self-efficacy dan neuroticism, membentuk ciri atau sifat kepribadian yang luas yang disebut core self-evaluations (evaluasi diri inti), menurutnya sifat-sifat yang luas ini berhubungan dengan motivasi dan hasil kerja. Selanjutnya Judge, Erez dan Bono (dalam Erez dan Judge, 2001) menegaskan bahwa konsep core self-evaluations akan berkaitan dengan prestasi kerja terutama melalui motivasi, individu dengan core self-evaluations yang positif akan lebih termotivasi untuk melaksanakan dan menunjukkan tingkat pelaksanaan tugas yang lebih tinggi. Hubungan antara core self-evaluations dengan prestasi kerja, sebagian akan didukung oleh motivasi, khususnya oleh tingkat tujuan dan komitmen organisasi pendidikan. Komitmen merupakan representasi persetujuan dari pihak pendidik terhadap tujuan dan sasaran dari organisasi pendidikan serta sikap bersedia untuk bekerja menuju tujuan itu. Secara singkat, jika seorang pendidik merasa sangat yakin terhadap apa yang diusahakan oleh organisasi pendidikan untuk dicapai, dia seharusnya merasa lebih termotivasi untuk datang dan memberi kontribusi bagi tujuan tersebut. Motivasi ini bisa saja tetap ada bahkan ketika pendidik tidak bisa menikmati tugas yang sebenarnya dituntut oleh pekerjaan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi pendidikan adalah faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor personal dan faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional. Motivasi menjadi faktor penting karena perilaku manusia pada dasarnya ditimbulkan atau dimulai dengan adanya motivasi. Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi pendidikan, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi pendidikan berbeda. Kebutuhan dan keinginan itu berbeda karena setiap anggota organisasi pendidikan adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yaitu bahwa perubahan-perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil dari akibat adanya pengalaman.
Fokus motivasi pada tujuan organisasi pendidikan yang mencerminkan perilaku yang berkaitan dengan kerja, bila seseorang termotivasi ia akan mencoba sekuat tenaga yang pada akhirnya motivasi berpengaruh pada komitmen kerjanya. Organisasi pendidikan sangat mengharapkan motivasi kerja yang tinggi dari pendidiknya, karena dengan adanya motivasi kerja yang tinggi diharapkan individu akan berkomit pada organisasi pendidikan di tempat kerjanya. Permasalahan motivasi dalam kehidupan individu dan dunia kerja merupakan hal yang mendasar. Hal ini wajar mengingat motivasi merupakan variabel penting dalam kinerja dan hasil kerja yang mampu dicapai individu dimanapun bekerja (Robbins, 2002). Selanjutnya motivasi kerja akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam bekerja. Teori motivasi kerja mempelajari mengenai apa yang memotivasi seseorang dalam organisasi pendidikan.
Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja, kuat lemahnya motivasi kerja seorang pekerja akan menentukan komitmen kerja seorang pegawai. Selain motivasi kerja sebagai faktor yang mempengaruhi komitmen kerja, faktor lain yang diharapkan bisa mempengaruhi komitmen kerja adalah faktor nilai kerja, karena nilai kerja yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pandangan tertentu terhadap pekerjaannya, sehingga diharapkan akan mempengaruhi komitmen kerjanya.
Nilai-nilai kerja turut berperan pada munculnya komitmen terhadap organisasi pendidikan. Secara umum, faktor nilai kerja intrinsik menunjukkan kontribusi lebih tinggi dibanding dengan nilai kerja ekstrinsik. Nilai-nilai kerja intrinsik yang berpengaruh pada meningkatnya komitmen adalah: a. activity preference, pendidik memiliki kecenderungan untuk mau terlibat aktif dalam kegiatan organisasi pendidikan; b. pride in work, perasaan senang dan puas apbila dapat mengerjakan tugas dengan baik; c. job involvement, seberapa jauh pendidik tertarik terhadap kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan lembaga; d. upward striving, keinginan pendidik untuk selalu meningkatkan karir dan standar hidupnya.

F. Motivasi Kerja
1. Pengertian Motivasi Kerja
Motivasi berasal dari bahasa Latin “movere” yang berarti menggerakkan (Steers dan Porter, 1983), sehingga motivasi mengandung suatu pengertian sebagai proses yang menggerakkan perilaku. Tiap-tiap orang memiliki motivasi yaitu dorongan dari dalam diri yang tercermin dalam perilakunya. Timbulnya dorongan disebabkan karena adanya insentif (rangsangan) atau stimulus yang harus diraih untuk memenuhi kebutuhannya (Sigit, 2003).
Motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Proses timbulnya motivasi seseorang merupakan gabungan dari konsep kebutuhan, dorongan, tujuan dan imbalan.
Proses motivasi terdiri beberapa tahapan proses sebagai berikut: Pertama, munculnya suatu kebutuhan yang belum terpenuhi menyebabkan adanya ketidakseimbangan (tention) dalam diri seseorang dan berusaha untuk menguranginya dengan berperilaku tertentu. Kedua, seseorang kemudian mencari cara-cara untuk memuaskan keinginan tersebut. Ketiga, seseorang mengarahkan perilakunya kearah pencapaian tujuan atau prestasi dengan cara-cara yang telah dipilihnya dengan didukung oleh kemampuan, ketrampilan maupun pengalamannya. Keempat, penilaian prestasi dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain (atasan) tentang keberhasilannya dalam mencapai tujuan. Kelima, imbalan atau hukuman yang diterima atau dirasakan tergantung kepada evaluasi atas prestasi yang dilakukan. Keenam, akhirnya seseorang menilai sejauhmana perilaku dan imbalan telah memuaskan kebutuhannya. Jika siklus motivasi memuaskan kebutuhannya maka suatu keseimbangan atau kepuasan atas kebutuhan tertentu dirasakan. Bila ada kebutuhan yang belum terpenuhi akan terjadi proses pengulangan dari siklus motivasi dengan perilaku yang berbeda (Gito Sudarmo dan Nyoman Sudito, 2000).
Dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada tercapainya suatu tujuan. Motivasi kerja sebagai suatu usaha yang dapat menimbulkan, mengarahkan dan memelihara atau mempertahankan perilaku yang sesuai dengan lingkungan kerja pendidikan. Berangkat dari definisi tersebut, bisa digambar suatu model umum dari proses motivasi.
Landasan dasar dari model motivasi dikelompokkan menjadi: a. kebutuhan atau harapan; b. perilaku; c. tujuan; dan d. bentuk umpan balik. Seorang pendidik selain termotivasi oleh adanya kebutuhan-kebutuhan, juga dipengaruhi oleh adanya tujuan yang jelas yang hendak diraih dan adanya harapan-harapan sebagai umpan balik dari apa yang dilakukannya. Secara umum motivasi akan tumbuh dengan baik apabila:
a. Individu merasa yakin bahwa perilakunya akan mengarah pada suatu hasil (performance-outcome expectancy).
b. Individu merasa yakin bahwa hasil tersebut memiliki nilai positif untuk dirinya (valence).
c. Individu merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk melakukan usaha atau tindakan untuk mencapai keinginan tersebut (effort-performance expectancy).
Jika dihadapkan dengan sejumlah alternative tingkatan perilaku, individu akan memilih level kinerja yang memiliki kekuatan motivasional paling besar sebagai mana yang ditunjukkan oleh pengharapan, hasil kerja dan valensi.
Pengertian motivasi kerja menggambarkan suatu dorongan yang mendasari dan mengarahkan perilaku pada tujuan organisasi pendidikan dan tujuan organisasi pendidikan itu sejalan dengan tujuan pribadinya guna memenuhi dan memuaskan dirinya. Dorongan, kebutuhan atau harapan individu dianggap sebagai dorongan intrinsik yang mendorong individu untuk bertindak atau berperilaku dan dorongan ekstrinsik atau kondisi lingkungan sebagai pemicu dorongan intrinsik. Motivasi kerja dengan kata lain adalah suatu proses yang mendorong, mengarahkan dan mempertahankan perilaku individu untuk melakukan pekerjaan dalam upaya mencapai tujuan.
2. Faktor-Faktor Motivasi Kerja
Steers dan Porter (dalam Muchinsky, 2003) mengindikasikan adanya tiga komponen pokok dari motivasi yaitu:
a. Energizing (daya, kekuatan), sebuah kekuatan atau tenaga dalam diri manusia yang dapat membangkitkan perilaku.
b. Direction (arah), orang mungkin mengarahkan usaha mereka pada situasi tertentu dan bukan pada situasi lain. Teori motivasi yang bagus sebaiknya menjelaskan mengapa pilihan-pilihan ini dibuat.
c. Maintenance, melibatkan pemeliharaan terhadap beberapa tugas dan secepatnya mengakhiri tugas lainnya. Teori motivasi kerja memperhatikan tingkah laku pekerja selama jangka waktu tertentu.
Dari ketiga komponen tersebut yang paling penting adalah aspek pemeliharaan. Berdasar tiga komponen tersebut selanjutnya Steers dan Porter mendefinisikan motivasi kerja sebagai kondisi dimana pengaruh penggerak, pengarahan dan pemeliharaan perilaku sesuai dengan latar belakang tugas pekerjaan yang dilakukannya.
Menurut Berry dan Houston (1993), motivasi merujuk pada penggerak (arousal), pengarahan atau penuntut (direction) dan ketekunan (persistence) dalam bertingkah laku. Pengertian tersebut memuat tiga aspek motivasi yaitu penggerak, pengarahan dan ketekunan. Penggerak menjawab pertanyaan mengapa seseorang melakukan segala sesuatu, pengarahan menjawab pertanyaan mengapa hal-hal khusus mereka lakukan dan ketekunan menjawab pertanyaan mengapa mereka terus melakukan pekerjaannya itu. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek atau komponen dari motivasi adalah faktor yang menggerakkan atau mendorong perilaku manusia, faktor yang mengarahkan perilaku dan faktor bagaimana perilaku itu dipertahankan dan tetap dipelihara. Ada dua aspek yang mendorong timbulnya motivasi yaitu aspek dari dalam diri dan dari luar diri individu atau disebut dengan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
a. Motivasi intrinsik.
Menurut Deci (dalam Muchinsky, 2003) orang termotivasi secara intrinsik akan melakukan tugas untuk kesenangan yang melekat pada tugas itu, yang dimunculkan dari keterlibatan pada perilaku semacam itu. Deci menganggap, orang berharap agar dapat bertanggung jawab untuk tindakan mereka sendiri dan bukan terhadap sesuatu yang dilakukan terhadap mereka, pekerjaan seharusnya dibuat agar dapat memberi perasaan kompetensi dan kesenangan pada diri seseorang. Motivasi intrinsik merupakan penghargaan dari dalam individu yang dirasakan individu ketika melakukan pekerjaan dan pekerjaan tersebut mampu memberi kepuasan bagi individu.
Elliot dkk (2000) mengartikan motivasi intrinsik sebagai suatu dorongan yang ada dalam diri individu di mana individu tersebut merasa senang dan gembira setelah melakukan serangkaian pekerjaan.. Motivasi intrinsik timbul dan melekat dalam pekerjaan itu sendiri dan tidak dipaksakan dari luar. Faktor-faktor penggerak motivasi intrinsik menurut Hersberg (1959) adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan dan perkembangan. Ada hubungan langsung antara kerja dan penghargaan artinya bila tugas telah selesai dikerjakan maka dapat langsung dirasakan adanya perasaan menyenangkan pada diri seseorang. Selanjutnya dikatakan bahwa motivasi intrinsik merupakan suatu bentuk motivasi yang memiliki kekuatan besar di mana seseorang merasa nyaman dan senang dalam melakukan tugas yang disesuaikan nilai tugas itu. Orang yang termotivasi secara intrinsik akan merasa lebih puas dan berkomitmen terhadap suatu tugas dibanding mereka yang termotivasi secara
ekstrinsik.
b. Motivasi ekstrinsik.
Motivasi ekstrinsik merupakan suatu konsep tentang kegiatan yang dilakukan untuk mencapai hasil yang berasal dari luar diri. Perilaku yang termotivasi secara ekstrinsik bukan merupakan perilaku melekat dalam diri individu sehingga perlu mendapat dorongan dari luar. Alasan utama orangberperilaku adalah mereka merasa dihargai oleh orang lain yang dekat dengan dirinya. Faktor motivasi ekstrinsik meliputi keamanan, status, hubungan dengan teman sekerja, gaji, kondisi kerja, hubungan dengan penyelia dan kebijaksanaan administrasi organisasi pendidikan.
Faktor motivasi intrinsik merupakan pendorong dan pengarah bagi individu dalam melaksanakan pekerjaan. Pekerjaan sebagai peneliti membutuhkan bakat, minat dan kemampuan tertentu yang berkaitan dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini merupakan sesuatu yang terdapat di dalam diri individu.
Faktor motivasi ekstrinsik merupakan faktor dari luar pekerjaan atau berhubungan dengan lingkungan yang mendukung pelaksanaan pekerjaan. Artinya untuk memilih pekerjaan sebagai seorang peneliti pertimbangan-pertimbangan ekstrinsik berupa gaji, kondisi tempat kerja, hubungan dengan teman sekerja dan atasan, serta kebijaksaan organisasi pendidikan, memiliki peran yang cukup besar.

3. Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja
Motivasi sebagai proses psikologis yang terjadi pada diri seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor ekstern maupun faktor intern. Faktor ekstern terdiri dari lingkungan kerja, pemimpin dan pengawas sekolah dan kepemimpinan, sedangkan faktor intern adalah faktor yang melekat pada setiap individu, seperti kepribadian, nilai, kebutuhan, tingkat pendidikan, pengalaman masa lampau, dan keinginan atau harapan masa depan.
Motivasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerjanya. Pengertian lingkungan kerja dalan kehidupan organisasi pendidikan tidak lain ialah faktor pemimpin dan pengawas pendidikan dan bawahan. Dari pihak pemimpin dan pengawas pendidikan ada berbagai unsur yang sangat berpengaruh terhadap motivasi seperti:
a. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan, termasuk di dalamnya prosedur kerja, berbagai rencana dan program kerja.
b. Persyaratan kerja yang perlu dipenuhi oleh para bawahan.
c. Tersedianya seperangkat alat-alat dan sarana yang diperlukan didalam mendukung pelaksanaan kerja.
d. Gaya kepemimpinan atasan, termasuk sifat-sifat dan perilaku atasan terhadap bawahan.
Bawahan juga memiliki peranan penting dalam motivasi, karena dalam diri bawahan memiliki gejala karakteristik seperti: a. kemampuan kerja; b.semangat atau moral kerja; c. rasa kebersamaan dalam kehidupan kelompok; d. prestasi dan produktivitas kerja.
Menurut Steers dan Porter (1983), motivasi kerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor karakteristik pekerja, karakteristik pekerjaan dan karakteristik lingkungan pekerjaan. Demikian juga Lyman Porter dan Raymond Miles (dalam Wahyusumijo, 1984) berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada motivasi yaitu: a. ciri-ciri pribadi seseorang (individual characteristics); b. tingkat dan jenis pekerjaan (job characteristics); dan c. lingkungan kerja (work situation characterictics). Karakteristik pekerja mempengaruhi motivasi karena adanya sifat perbedaan individu.
Faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang dalam organisasi pendidikan, yaitu pemuas kerja (job satisfiers) yang berkaitan dengan isi pekerjaan disebut dengan istilah motivator dan penyebab ketidakpuasan kerja (job dissatisfiers) yang bersangkutan dengan suasana pekerjaan atau disebut faktor-faktor higienis. Faktor sumber kepuasan kerja, motivators dapat berbentuk prestasi, promosi, penghargaan, pekerjaan itu sendiri dan tanggung jawab, sedangkan faktor-faktor higienis adalah kondisi kerja, hubungan antar pribadi, gaji, kebijaksanaan dan administrasi organisasi pendidikan.
Teori harapan (expectancy theory) yang dikembangkan oleh Vroom (Sigit, 2003) mengidentifikasikan tingkat kebutuhan dengan mengkaitkan antara kuatnya pengharapan dengan hasil yang diperoleh seseorang akan melahirkan suatu tindakan apabila hasilnya cukup menarik dan memberikan reward yang cukup memadai. Semula teori harapan ini sangat sederhana karena ia menyatakan bahwa prestasi kerja adalah fungsi daripada motivasi dan kemampuan yang dirumuskan P = f ( M x A ), dimana P= performance, M= motivation dan A= ability. Rumus ini menunjukkan bahwa besarnya P (performance) tergantung dari besarnya M (motivation) dan A (ability). Meskipun motivasinya besar sekali, tetapi jika kemampuannya sama sekali tidak ada atau kedua-duanya tidak ada, dengan kata lain nol, maka hasilnya juga nol. Atas dasar rumus itu, maka untuk meningkatkan prestasi, salah satu M atau A atau kedua-duanya harus ditingkatkan. Lebih lanjut Robbins (2002) melengkapi formulasi itu dengan menambahkan factor Opportunity ( O ) atau kesempatan sebagai faktor yang ikut menentukan prestasi kerja seorang pendidik, sehingga formulasinya menjadi P = f ( A x M x O ).
Prestasi kerja merupakan interaksi faktor motivasi dan ability, dengan kata lain faktor motivasi dan kemampuan individu dalam melaksanakan suatu tugas saling berinteraksi untuk meraih suatu hasil tertentu. Prestasi kerja pendidik merupakan fungsi langsung dari kemampuan dan motivasi untuk berperilaku. Motivasi merupakan kemampuan individu untuk menggerakkan usaha yang tinggi dalam mencapai tujuan. Motivasi mendorong individu untuk melakukan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhannya. Motivasi kerja akan cenderung tinggi jika pendidik memiliki persepsi yang baik terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja, reward yang diterima serta peluang untuk mengembangkan potensi yang ada agar dapat meningkatkan imbalan yang diperoleh. Secara teoritis, motivasi merupakan salah satu faktor penting terhadap prestasi kerja yang tinggi (Muchinsky, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang melekat pada setiap individu seperti kemampuan, kepribadian, nilai, kebutuhan, keinginan atau harapan masa depan dan pengalaman masa lampau, sedangkan faktor eksternal karena adanya pengaruh dari lingkungan yang memberikan kesempatan bagi individu pekerja. Motivasi kerja pengawas dapat timbul dari faktor internal dan eksternal, motivasi internal bertahan lebih lama dibandingkan dengan motivasi eksternal karena muncul dari kesadaran diri pengawas tersebut.





























DAFTAR PUSTAKA

----. 1987. Kesehatan Mental. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (Bahan ajar, tidak diterbitkan)

Achievement-Performance Relationship: A Service Sector Study, Journal of Organizational Behavior, 22, 453-465

Alwi, Syafaruddin, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: BPFE

Anderson, NH., dan Butzin, CA., 1974, Performance: Motivation x Ability, Journal of Personality and Social Psychology, 30: 598-604

Arciniega, LM.dan Gonzalez, L., 2002, Work Values and Commitment, Mexico City

Azwar, S. 2004. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Balatbangsos, 2004, Model Kompetensi, Kajian Standardisasi SDM Peneliti Sosial, Jakarta: DepSos RI

Bernardin, J.H., dan Russel. J.E.A., 1998, Human Resource Management, An Experiential Approach, Second Edition, Singapore: Irwin McGraw Hill Companies Inc

Berry LM, dan Houston, JP, 1993, Psychology at Work , Madison, WCB Brown and Benchmark

Bishop, J.W. dan Scott, K.D. 2000, An Examination of Organizational and Team Commitment in a Self-Directed Team Environment, Journal of Applied Psychology, 85 (3), 439-450

Cascio, Wayne F, 1998, Appield Psychology in Human Resources Management, Fifth Edition, London: Prentice Hall International Inc.

Cascio, Wayne F, 2003, Managing Human Resources: Productivity, Quality of Work Life, Profits, Six Edition, New York: McGraw-Hill Inc.

Chowdhury, Mohammed S., dan Amin, Mohammed Nurul, 2000, Relative Importance of Employee Values, Attitudes And Leadership Behaviors in Employee Motiva tion An Empirical investigation.

Cooper, CL. dan Robertson, IT., 1999, International Review of Industrial and Organizational Psychology, Vol 14, New York: John Wiley & Sons Ltd.
Cooper, CL., dan Robertson, IT., 2002, International Review of Industrial and Organizational Psychology, Vol. 17, New York: John Wiley & Sons Ltd.,

Dessler, Gary, 1995, Human Resource Management, London: Prentice Hall

Elizur, Dov, 1984, Facets of Work Values: A Structural Analysis of Work Outcomes, Journal of Applied Psychology, 69, (3), 379-389

Elliot, AJ., Faler,J., McGregor, HA., Campbell, WF., Sedikes C., Harackiewiz, JM., 2000, Competence Valuation As a Strategic Intrinsic Motivation

Erez, Amir, dan Judge, Timothy A., 2001, Relationship of Core Self-Evaluations to Goal Setting, Motivation, and Performance, Journal of Applied Psychology, 86 (6), 1270-1279

Fauzia, P., 2004, Hubungan Antara Pelaksanaan Program K3 dan Komitmen Organisasi Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada CV. Nova Furniture
Fox, Katherine. 2007. Twelve Valuable Steps to Raise Your Self Esteem. Tersedia: www.panicdisorder.about.com.

Ghiselli, E.E., Brown, C.W., 1955, Personnel and Industrial Psychology, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Gito Sudarmo dan Nyoman Sudito, 2000, Perilaku Keorganisasi, Yogyakarta: PT BPEE,

Hadi, S. 2000, Manual SPS Paket Midi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Haslam, S.A. 2001, Psychology in Organization: The Social Identity Approach, London: Sage Publications

Hersberg F., Mausner B., dan Snyderman,BB., 1959, The Motivation to Work, New York: John Wiley & Son, Inc.

Herscovitch L. dan Meyer, JP., 2002, Commitment to Organizational Change: Extension of a Three Component Model, Journal of Applied Psychology, (3), 479-487

Hersey P. & Blanchart, KH. 1988, Management of Organizational Behavior, Utilizing Human Resources, 5th ed. New Jersey, Prentice Hall

Jewell LN., dan Siegell, Marc, 1998, Psikologi Industri / Organisasi Modern, Jakarta: Penerbit Arcan
Job Performance: A Meta-Analysis, Journal of Applied Psychology, 87, (6), 1183-1190

Judge, Timothy A., dan Ilies, Remus, 2002, Relationship of Personality to Performance Motivation: A Meta-Analytic Review, Journal of Applied Psychology, 87, (4), 797-807

Kolb, DA., Rubin, IM., dan Osland JS.,2001, The Organizational Behavior Reader, New York: Prentice Hall

Kreitner, Robert dan Konicki, Angelo, 2004, Organizational Behavior, McGraw Hill

McClelland, D.C., 1961, The Achieving Society, D Van Nostrand Company Inc. Canada

Meiyanto, Sito dan Santhoso, Fauzan Heru, 1999, Nilai-nilai Kerja dan Komitmen Organisasi: Sebuah Studi dalam Konteks Pekerja Indonesia, Jurnal Psikologi, 1, 29-40

Meyer JP., Allen NJ., dan Gellatly LR., 1990, Affective and Continuance Commitment to Organization, Evaluation of Measures and Analysis of Concurrent and Tine Lagged Relations, Journal of Applied Psychology, 75: 710-720

Meyer JP., Allen NJ., dan Smith CA., 1993, Commitment to Organizations and Occupations: Extension and Test of Three -Component Conseptualization, Journal of Applied Psychology, 78 (4), 538-551

Meyer JP., dan Allen NJ., 1988, Links between Work Experience and Organizational Commitment during The First Year of Employment A Longitudinal Analysis, Journal of Applied Psychology, 61: 195-209

Miner, John B, 1988, Organizational Behavior: Performance And Productivity, Random House Bussiness Division. New York

Muchinsky, Paul M, 2003, Psychology Applied to Work , Thomson Wadsworth, Belmont, USA

Munandar, 2001, Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta: Penerbit UI Press

New Model for Workplace Planning, The Journal for Quality and Participation Winter 2000, Provided by ProQuest Information and Learning Company
Nurkhasanah, A., dkk. 2005. Efektivitas Relaksasi Otot Progresif Untuk Menurunkan Kecemasan Belajar Matematika Pada Siswa Kelas XI SMA Hidayatullah Semarang, dalam Jurnal Psikologi Vol.2 No.2. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Perera, Karl. 2003. Low Self Esteem Can Be Cured! Here is How. Tersedia: http://www.more-selfesteem.com.

Perera, Karl. Self Esteem Test. 1999. Tersedia: http://www.more-selfes- teem.com
.
Perme, Cathy., dan Glenda Eoyang. 1992. Empowering Others, dalam buletin CM Perme and Associates, vol. 2, issue 1. Bloomington: Briar Circle.

Perspectives from Industrial and Organizational Psychology, San Fransisco: Jossy Bass Publishers

Pinder, Craig C., Work Motivation in Organizational Behavior, New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River

Porter, Steers, Bigley, 1996, Motivation and Leadership at Work , New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Process, Journal of Personality and Social Psychology, Vol 26:7, 780-794

Purwanto, Yadi., dan Rachmat Mulyono. 2006. Psikologi Marah. Bandung: Refika Aditama.

Raudsepp, Eugene. 2007. Strong Self-Esteem Can Help You Advance. Tersedia: www.careerjournal.com.

Reksohadiprodjo S., dan Handoko, TH., 2001, Organisa si Perusahaan, Yogyakarta: Fak. Ekonomi UGM.

Riggio, Ronald E, 2003, Introduction to Industrial Organizational Psychology. Fourth Edition, New Jersey: Prentice Hall

Robbins, SP., 2002, Organizational Behavior, Concepts, Controversies Applications, Eight Edition, Prentice-Hall International Inc. New Jersey

Rohm, Robert A. 2004. Better Relationships. Tersedia: www.personality- insight.com.

Rohm, Robert A. 2004. Knowing Personality Style Helps You To Understand Yourself...And Others!. Tersedia: www.personalityinsight.com.

Rokeach, 1973, The Nature of Human Values, New York: The Free Press Schermerhorn, Hunt, Osborn, 1998, Organisational Behaviour, New York: John Wiley & Sons

Sales Representatives, Journal of Applied Psychology, 87, (1), 43-51

SAMHSA’S National Mental Health Information Center. 2007. Building Self-esteem, A Self-Help Guide. Tersedia: http://mentalhealth.sam-hsa.gov.

Schultz, OP dan Ellen S, 1994, Psychology at Work Today, An Introduction to Industrial and Organizational Psychology, New York: Mac Millen Publishing Company

Seibert, Scott E., Crant, J.Michael and Kraimer Maria L., 1999, Proactive Personality and Career Success, Journal of Applied Psychology, 84, (3), 416-427

Shore LM., dan Wayne SJ., 1993, Commitment and Employee Behavior: Comparison of Affective Commitment and Continuance Commitment with Perceived Organizational Support, Journal of Applied Psychology, 78 (5), 774-780

Sigit Soehardi, 2003, Perilaku Organisasional, Yogyakarta: Fak. Ekonomi UST

Steers, 1980, Efektivitas Organisasi, Jakarta: Penerbit Erlangga

Steers, R.M., Porter, L.W., 1983, Motivation and Work Behavior, McGraw-Hill Book Company. New York

Sudjana, Nana., dkk. 2007. Naskah Akademik Pengembangan Pengawas Satuan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas.

Model of Job Performance, Journal of Applied Psychology, 88, (3), 500-517

Usman, A., 2003, Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi, Yogyakarta: Penerbit Amara Books

Vroom, VH., 1964, Work and Motivation, New York: John Willey & Sons, Inc.

Wahjosumidjo, 1987, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar