Jumat, 02 Desember 2011

Sejarah supervisi pendidikan

A.    Sejarah Supervisi Pendidikan

Pembahasan Supervisi Pendidikan secara lebih tuntas dan meyakinkan masih jauh dari tuntutan teori dan praktik yang baik. Hal ini dapat dipahami karena Supervisi pendidikan adalah konsepsi yang terlambat berkembang dalam dunia pendidikan. Sebelum konsep supervisi ini dimunculkan dalam studi administrasi, para administrator telah lebih dahulu mengenal konsep inspeksi. Antara konsep inspeksi dan supervisi terdapat pertentangan yang tajam dalam prinsip dan tindakanya. Inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan dan bersifat otoriter. Di pihak lain supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasai oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik dan bersifat demokratis. Kedua konsep itu tidak dapat disamakan dalam arti, konsep inspeksi tidak dapat menjadi alternatif atas konsep supervisi. Dengan kata lain konsep yang satu tidak akan menyerah/menyetujui kepada keinginan konsep yang lain.
Perbedaan lain yang menunjukkan konsepsi inspeksi dan supervisi tidak dapat diidentikkan ialah karena masing-masing konsep itu mempunyai tujuan dan datang dari kawasan proses manajemen yang berbeda. Dalam proses manajemen supervisi berada dalam kawasan pengawasan  atau “Controlling”. Dengan demikian supervisi cenderung kepada usaha pelayanan dan pemberian bantuan dalam rangka memajukan dan meningkatkan hasil proses belajar-mengajar. Di pihak lain inspeksi cenderung kepada kegiatan menyelidiki dan memeriksa penyimpangan dan kekeliruan yang sengaja atau tidak dibuat oleh petugas dalam pelaksanaan program pengajaran disekolah. Dengan kata lain inspeksi titik beratnya terletak pada usaha mencari kesalahan dan penyimpangan yang dibuat oleh pelaksana dan sekaligus memberikan tindak lanjut berupa sanksi hukuman yang setimpal dengan kesalahanya[1]


Bila diperhatikan evolusi perkembangan supervisi, ia mempunyai sejarah pertumbuhan dan perkembangan lebih dari satu seperempat abad yang lalu. Namun demikian dalam praktik dan pelaksanaan dilapangan bervariasi menurut ayunan gerak pertumbuhan dan perkembangan keadaan sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Ia tumbuh dan berkembang mengikuti irama kondisi dan situasi kemasyarakatan pada masa itu. Seandainya kondisi dan situasi kemasyarakatan pada waktu itu dikuasai oleh system kemasyarakatan feodal yang ditandai oleh hak memerintah dipegang oleh penguasa maka dalam masyarakat ini akan tumbuh dan subur praktik inspeksi.
Demikian pula bila system kemasyarakatan itu sedang dikuasai oleh pandangan yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya dengan ongkos yang kecil diperlukan tata kerja yang rasional dan manajemen secara ilmiah, maka pelaksanaan supervisipun ikut terbawa arus supervisi yang mempunyai ciri serba rasional dan ilmiah.
Sepanjang masa sebutan supervisi sekolah mengalami pasang naik dan surut di antara peranan yang berorientasi pada guru dan peranan yang bersifat administrative, setiap peranan berayun merumuskan kembali fungsi supervisi yang dimaksud. Pada tahun 1980-an dalam dunia supervisi sedang berlangsung kearah manajemen.[2]
Bila ditinjau dari sejarah supervisi pendidikan, terutama pada Negara yang sudah maju, ternyata peranan-peranan yang dialami oleh supervisor telah berkembang secara evolusi. Dalam abad ke 18 dan ke-19 misalnya belum ada istilah inspeksi. Pada waktu itu berdasarkan catatan, sekolah di Amerika Serikat dikontrol oleh suatu badan yang terdiri dari orang awam. Mereka secara periodik meninjau fasilitas, perlengkapan dan kemajuan murid-murid yang hadir di sekolah. Hubungan antara guru-guru dengan para inspektur sering bersifat tegang dan menghukum. Tindakan inspektur-inspektur ditandai dengan menyuruh, mengatur, menghakimi dan kadang-kadang dalam kunjungan mereka ke sekolah dapat memecat atau memberhentikan guru-guru.
Perkembangan yang hampir serupa juga terjadi dalam sejarah  pendidikan di Indonesia zaman VOC (De Vereenigde Oost Indische Compagnie) tahun 1602-1799. Dalam tahun 1673 peraturan-peraturan tentang inspeksi yang pertama kali bagi sekolah-sekolah di Ambon menetapkan bahwa kunjungan ke sekolah harus dilakukan secara tiba-tiba, mencatat murid-murid yang hadir dan tidak hadir, dan bersamaan dengan kunjungan inspeksi itu diperiksa pula apakah guru-guru dan murid-murid telah melakukan kewajibanya serta memeriksa pelaksanaan pendidikan agama.
Menurut catatan yang diperoleh dari kepustakaan (Kroeskamp, 1974) kegiatan-kegiatan inspeksi pada masa itu meliputi pemeriksaan tentang kemajuan-kemajuan murid dalam membaca,menulis dan pelajaran agama. Inspektur mengatakan kepada guru-guru tentang apa yang salah dan bagaimana hal tersebut sebaiknya dilaksanakan. Ia memberikan saran-saran tentang metoda-metoda yang bermanfaat untuk murid atau ia mempertunjukkan sendiri bagaimana melaksanakan pekerjaan mengajar. Pada akhir masa VOC tugas mengunjungi sekolah itu tidak lagi diserahkan kepada orang-orang awam di bidang pendidikan sebagaimana telah dikemukakan di atas melainkan kepada suatu badan inspeksi yang terdiri dari guru-guru yang giat dan bergairah serta berpengalaman.
Gambaran situasi itu terjadi pada masa belum ada lembaga pendidikan guru yang sengaja disiapkan untuk menghasilkan tenaga guru. Pada waktu iti guru-guru yang mengajar di sekolah memiliki tidak lebih dari sekedar keinginan untuk mengajar atau mendapatkan beberapa “gulden’ saja tiap bulan bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Lagi pula tidak banyak orang yang berminat untuk tetap dalam pekerjaan guru. Oleh karena itu suatu bentuk inspeksi yang ketat dan yang langsung ke sekolah memang diperlukan.
Dalam awal abad ke-19 perhatian terhadap inspeksi semakin meningkat yang disebabkan pertama meningkatnya jumlah murid dan sekolah dan kedua perlunya guru-guru yang belum memiliki pendidikan guru diberi petunjuk praktis oleh inspektur. Dalam masa itu terdapat tiga kategori guru yang mengajar di sekolah sekolah ialah (1) “guru”, yaitu orang yang telah menyelesaikan dengan baik program pendidikan yang lengkap di sekolah guru, (2) “guru Bantu” atau “kandidat”, yaitu orang yang telah menyelesaikan pendidikan dasarnya kemudian diberi latihan praktik mengajar dan lulus dalam menempuh ujian guru, dan (3)”wekling” atau “kweekeling”, yaitu orang yang tidak memiliki kewenangan untuk mengajar diperkerjakan sebagai guru atas rekomendasi dari Komisi Sekolah Setempat.[3]
Beberapa perkembangan yang menarik diketahui dalam situasi dan keadaan guru seperti digambarkan di atas ialah dibentuknya aparat inspeksi sekolah yang ditempati oleh para “inspecteur” dan “schoolopziener”. Fungsi mereka pada umumnya tetap melakukan inspeksi dan bersifat otoriter. Kegiatan mereka ditujukan kepada usaha mencari penyimpangan-penyimpangan dan melakukan pemeriksaan yang dilakukan secara formal, inspektur mengatakan kepada kepala sekolah atau guru kelas apa yang salah dan apa yang harus dikerjakan. Kelalaian dan kesalahan diancam dengan “hukuman administrativ” misalnya, menahan kenaikan gaji, memindahkan yang bersangkutan ke tempat yang jelek, menurunkan pangkat atau memberhentikan guru yang bersangkutan.[4]
Sifat-sifat khas dari inspeksi dapat diketahui dari perhatianya yang berlebihan terhadap “manajemen sekolah” dan “manajemen kelas”, yaitu guru-guru harus melakukan pekerjaan rutin seperti membuat daftar buku induk, daftar inventaris kelas, daftar inventaris alat pelajaran, daftar hadir murid, laporan bulanan, daftar pelajaran, buku persiapan guru, memeriksa dan menyimpan hasil pekerjaan murid, memperhatikan kebersihan gedung, kelas dan pekarangan sekolah. Para inspektur berkewajiban melakukan control terhadap sekolah-sekolah sebanyak mungkin, mengunjungi kelas, mengamati guru mengajar, memberikan petunjuk/demonstrasi yang diperlukan, menilai pekerjaan guru dan kepala sekolah serta membicarakanya dengan mereka.
Sekolah makin lama semakin berkembang demikian juga formasi sekolah di berbagai distrik, sehingga pada akhir abad ke-19 fungsi observasi dan inspeksi dari orang awam digantikan oleh supervisor yang ditunjuk. Pekerjaan mereka sebagai pembantu “superintendent” yang berhubungan langsung dengan sekolah dan mereka bebas dari dewan sekolah, terutama dalam mengurusi hal-hal yang lebih menyeluruh seperti pembangunan gedung-gedung dan menaikkan pendapatan sekolah. Istilah “superintendent” dapat disamakan dengan Kepala Kantor Departemen pendidikan   Kotamadya/Kabupaten atau Kepala Bidang Pendidikan di Kantor Wilayah Daerah Tingkat I.[5]
Pada awal abad ke-20 inspeksi sekolah yang terdiri dari orang awam itu telah hampir seluruhnya diganti dengan petugas inspeksi khusus yang bertugas memeriksa guru-guru dalam ruang kelas. Tugas supervisi dirumuskan kembali secara lebih eksklusif terutama yang berkaitan dengan pengajaran dalam kelas sebagai akibat meningkatnya tanggungjawab “superintendent”. Pada waktu “span of control” kantor dari “superintendent” makin meluas, kunjungan kelas makin bertambah maka tidak mungkin lagi mempertahankan hal ini. Para anggota supervisor mengambil tugas kunjungan kelas dan menilai guru-guru sebagai wakil “superintendent” atau kepala bidang pendidikan. Pada waktu itulah buat pertama kali supervisi sekolah menjalankan peranan yang mempunyai wewenang langsung menjadi seorang yang berwewenang mewakili, yaitu meminjam peranan dan wibawanya dari kantor “superintendent”. Mulai dari waktu itu sekitar tahun 1910 sampai saat ini supervisi sekolah kelihatanya tetap menjadi perluasan administrasi.
Dalam pertigaan abad ke-20 pendidikan di Amerika khususnya sangat dipengaruhi oleh model-model mekanisasi industri dan pelaksanaan dari apa yang disebut manajemen ilmiah. Dampak atau pengaruh dari orientasi industri dalam pendidikan telah meresap dan mendominasi pelaksanaan supervisi pendidikan hampir seperempat abad lamanya. Akibatnya prosedur-prosedur yang berlaku dalam organisasi niaga dipraktikkan pula oleh para pendidik dalam mengurus sekolah.[6]
Dampak atau pengaruh supervisi pendidikan dari kurun waktu niaga itu muncul atau timbulnya supervisi birokratik. Supervisi menjadi terikat kepada tujuan umum, tujuan khusus dan berbagai spesifikasi. Orientasinya mengarah kepada efisiensi dan penghematan yang menjurus kepada pembagian kerja, spesialisasi yang sangat teknis, disiplin organisasi yang ketat, mengikuti prosedur khusus dalam situasi kerja tertentu dan percaya dengan komunikasi tertulis.
Penerapan riset empirik secara serius telah menekankan perhatian kepada aturan dan peraturan, wewenang yang bertingkat-tingkat dan pengembangan dukumen kebijaksanaan yang menyeluruh. Dengan mengikuti petunjuk dari dunia industri, para pendidik yang bertugas sebagai supervisor melakukan studi mengenai penggunaan waktu dan mencari cara-cara baru untuk menjalankan sekolah secara lebih efisien. Karena itu selama periode pengajaran ini pulalah supervisi menjadi satu bidang subyek yang dipelajari secara khusus.
Dalam permulaan tahun 1930-an supervisi pendidikan di Amerika Serikat berlangsung kurang efektif dalam melaksanakan peranan sebagai inspektur. Para supervisor sering diejek sebagai “snoopervisor” (suka mengintai-intai urusan orang lain) di balik belakang mereka, yang hanya mampu bekerja dengan guru-guru kelas secara sangat mekanistik dihubungkan dengan dimensi penilaian dari observasi dan laporan mereka. Hal ini semuanya merubah administrasi pendidikan yang sekaligus juga merubah peranan supervisi pengajaran.
Pendidikan di Amerika selama tahun tigapuluhan itu memasuki era baru, suatu periode yang dijuluki sebagai “pendidikan progresif” oleh sejarawan mutakhir. Kombinasi pertumbuhan yang cepat dalam populasi sekolah, meningkatnya keragaman di antara anak sekolah, kemakmuran ekonomi, mobilitas dan faktor-faktor sosioekonomis lainya untuk sementara membebaskan pendidikan Amerika dari warisan strukturnya. Program-program sekolah yang baru ini berjalan di seluruh negeri. Sekolah-sekolah menjadi lebih bersifat pribadi, peramah/penyayang dan “berpusat pada anak”.[7]
Bagi para administrator sekolah era baru ini berarti tanggung jawabnya bertambah. Sekolah menjadi lembaga yang makin kompleks/rumit dan bahkan lebih dibutuhkan orang yang memiliki keterampilan manajemen yang kompleks. Riset permulaan dalam dinamika kelompok menunjukkan bahwa ada unsur manusiawi dalam organisasi yang oleh para administrator sebelumnya kurang mendapat perhatian. Para administrator sekolah yang sebelumnya mengikuti petunjuk para ahli dunia niaga, mulai mempraktikkan gaya kepemimpinan yang lebih demokratis. Sejak tahun 1940-an perilaku “hubungan antar manusia” seperti itu telah lumrah terjadi di sekolah dan sudah menjadi tema terpenting dalam supervisi pendidikan.
Supervisi sekolah dalam tahun 1940-an dan sampai pertengahan dekade berikutnya memfokuskan diri pada proses dan bukan  pada hasilnya. Para supervisor lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membantu guru-guru mengembangkan diri sebagai pengajar dan bukan mengadili kemampuan guru. Usaha-usaha kelompok untuk bekerja sama dimaksimalkan dan interaksi yang demokratis dilaksanakan. Selama periode ini supervisi muncul sebagai bidang spesialisasi yang diakui dalam dunia pendidikan dan buku teks yang definitif ditulis dalam bidang studi ini.
Peluncuran “Sputnik I” oleh Sovyet Rusia dalam tahun 1957 mengubah bentuk dan hakikat pendidikan Amerika. Dengan secara cepat semua program dan tujuan lama dikikis dan rencara program baru disusun. Pengembangan kurikulum menguasai suasana pendidikan masa itu, perkembangan tersebut mempengaruhi peranan supervisi pendidikan. Pada beberapa daerah sekolah tertentu para supervisor bertindak menjadi tenaga pengembangan kurikulum, sehingga garis demarkasi di antara kedua spesialisasi ini menjadi kabur.
Dalam permulaan tahun 1960-an para supervisor menjadi badan penyusun mata pelajaran yang terpisah-pisah dan kebanyakan supervisor pada masa itu tetap berada dalam peranan ini. Tugas para supervisor dalam tahun 1960-an itu adalah suatu kombinasi dari: penginterpretasian proyek-proyek kurikulum, pengorganisasian bahan-bahan, penglibatan guru dalam produksi program sekolah dan bertindak sebagai orang sumber terhadap guru-guru dalam kelas. Karena tugas tambahan itu banyak di antara supervisor tersebut menemukan diri mereka sendiri. Kemudian masuk dalam latihan dan melatih kembali guru-guru kelas dengan meng-organisasikan mata pelajaran yang difokuskan pada kesempatan-kesempatan penataran.
Dalam akhir tahun 1960-an tujuan umum kebanyakan daerah pendidikan tidak dapat dipertahankan lagi. Banyak sekali perubahan yang terjadi dalam jangka waktu yang begitu singkat sehingga menimbulkan terlalu padat dan sesaknya kurikulum sekolah. Tambahan  pula, adanya isyarat pertama mengenai merosotnya kemampuan yang bergandengan dengan meningkatnya biaya pendidikan secara dramatis, memaksa perlunya diadakan penilaian kembali program-program sekolah yang sedang berjalan. Para administrator mulai kembali kepada praktik pembuatan sesuatu menurut cara lama yang tradisional di sekolah. Suatu evolosi kejadian, termasuk perjanjian (kontrak) kemampuan, tujuan-tujuan perilaku, standardisasi kurikulum, pengujian, dan syarat-syarat lulusan yang disahkan digerakkan dan bahkan berjalan sampai pertengahan tahun 1980-an.
Kondisi-kondisi selama akhir tahun 1960-an dan sambutan-sambutan administratif dalam tahun 1970-an dan tahun 1980-an telah mempunyai akibat yang menarik dalam bidang supervisi dan peranan supervisor sekolah. Ketika supervisi berjuang untuk memperjelas identitasnya dalam kurun waktu yang didominasi oleh pengembangan kurikulum, ada suatu usaha untuk memfokuskan peranan supervisor kepada dimensi perbaikan pengajaran sekolah. Kepustakaan mengenai supervisi pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an terutama sekali sangat memperhatikan analisis proses mengajar belajar dan konsep baru yang dikenal dengan sebutan “Supervisi klinik”. Para supervisor cenderung mengikuti teori yang didasarkan pada supervisi klinik ini untuk dapat menguasai penggunaan rekaman video, penggunaan instrument analisis interaksi, dan penggunaan “riset terapan” untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengajaran.
Akan tetapi pada akhir tahun 1970-an, tekanan politik dan ekonomi terhadap sekolah sangat begitu hebat sehingga para administrator kembali lagi pada orientasi dunia industri yang mengingatkannya kepada kejadian   dalam perempatan pertama abad ini. Para supervisor, pelan-pelan menilai perubahan-perubahan yang mereka buat, tetapi terus bekerja dengan guru-guru dan menerima peran sebagai pendukung walaupun ketika pembentukan organisasi guru-guru dan gerakan-gerakan seperti “segalanya berpusat pada guru” jelas-jelas didirikan untuk menghalangi gabungan supervisor guru. Dalam prosesnya, banyak supervisor yang menduduki jabatan, kehilangan jabatanya dalam masa tawar menawar itu atau kadang-kadang para supervisor melihat peranan-peranan kepelatihan mereka direbut oleh guru-guru kelas dalam “pusat latihan”. Para supervisor yang melakukan orientasi pada industri tadi melihat kenyataan gerakan ini. Segera mengikuti langkah garis administrator masuk ke dalam peranan manajerial.
Pada pertengahan tahun menjelang tahun 1980-an, para supervisor memegang bermacam-macam jabatan yang aneh dengan sebutan seperti: Pembantu Kepala sekolah bidang pengajaran atau Manajer Program. Penyebaran para supervisor pada tingkatan daerah, sekolah dan ruang-kelas terlalu beragam untuk membuat generalisasi tentang pola-pola yang timbul. Jelaslah, supervisor sekarang membicarakan bahasa manajemen dan pada kebanyakan daerah mereka dalam berada dalam “tim administratif.”[8]


TABEL 1.1
Perkembangan Supervisi menurut Lucio dan McNeil
No
Tahun
Inti supervisi
1
Sebelum tahun 1900
Supervisi oleh para pejabat Administratif
2
Tahun 1900-1920
Supervisi oleh para Spesialis
3.
Tahun 1920-1930
Supervisi Saintifik
4.
Tahun 1930-1940
Supervisi Hubungan Insani yang Demokratis
5.
Sesudah tahun 1940
Supervisi rasional
Diadaptasikan dari: Lucio dan Mc Neil.[9]
TABEL 1.2
Evolusi Peranan Supervisor
Kurun waktu
Peranan Supervisor
1850 – 1910
1910 -  1920
1920 – 1930
1930 – 1955
1955 – 1965
1965 – 1970
1970 – 1980
1980 -
Inspeksi pelaksanaan sesuai peraturan
Supervisi Ilmiah
Supervisi birokratik
Supervisi kooperatif
Supervisi pengembangan kurikulum
Supervisi klinik
Supervisi sebagai manajemen              
Manajemen Pengajaran
(Adaptasi dari Wiles and Bondi, 1986. hlm 7)

Jelas pula kelihatan, sedang dilanjutkan pemusatan perhatian pada usaha memperbaiki pengajaran sebagai peranan utama dari supervisi sekolah. Table 1.1 menjelaskan evolusi peranan supervisi hampir satu setengah abad yang lalu.[10]


[1] Nurtain, Supervisi Pendidikan, Teori dan Praktik, Jakarta: Departemen Pendidikan, 1989, hal. 2.
[2] Ibid., hal. 2.

[3] Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis Untuk Praktik Profesional, Bandung: Angkasa, 1980 hal. 34.
[4] Nurtain, Supervisi Pengajaran, hal. 4.

[5] Nurtain, Supervisi Pengajaran, hal. 5

[6] Nurtain, Supervisi Pengajaran, hal. 6.

[7] Nurtain, Supervisi Pengajaran, hal. 7

[8] Nurtain, Supervisi Pengajaran, hal. 10.

[9] Lucio, William H. dan McNeil, John D. 1979. Supervision in Thought and Action. NY: Mc Graw-Hill Book Co. hal. 11.
[10] Soetopo, Hendiyat, Wasty Soemanto, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara,1984, hal. 41- 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar