Jumat, 02 Desember 2011

Sikap Guru Terhadap Supervisi


Perbaikan atau peningkatan mutu pengajaran di sekolah berkaitan erat dengan proses supervisi. Dalam hal itu, sudah seharusnya supervisor (kepala sekolah) yang merupakan unsur penting bagi keefektifan layanan supervisi mendorong guru, agar berupaya melakukan peningkatan diri sendiri. Observasi dan pertemuan (tatap muka) adalah salah satu wahana yang dapat digunakan untuk mendapatkan perubahan (perbaikan) penampilan mengajar itu. Karena itu supervisor diharapkan dapat merumuskan perhatian guru melalui pertemuan terhadap pengamatan (observasi) tertentu dan spesifik dengan harapan akan diperoleh minat dan keinginan untuk membantu terjadi perubahan atau perbaikan penampilan mengajar, seperti dalam Hemphill yang dikutip oleh Mantja.[1] Karena itu beberapa pakar supervisi menegaskan pentingnya observasi dan pertemuan bahkan dikatakan: sangat sentral, inti, atau tulang punggung dari proses supervisi. Keberhasilan proses supervisi di sekolah tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepala sekolah, karena ialah yang dianggap sebagai pemimpin pengajaran di sekolahnya.
Keberhasilanya melembagakan observasi dan pertemuan dalam proses supervisi menunjukkan pula kualitas personal dan kemampuan professional, karena untuk mewujudkan pula kualitas personal dan kemampuan professional, karena untuk mewujudkanya diperlukan pula kemampuan membangun hubungan dengan seluruh staf sekolahnya. Kemampuan mengaktualisasikanya itu menunjukkan pula kemampuan kepemimpinan sejati, karena ia mampu memadukan untuk saling melengkapkan pola karakteristik personalnya dengan tujuan dan karakteristik para guru sebagai bawahanya, seperti dalam Stogdill yang dikutip oleh Mantja.[2]
Kindsvatter dan Wilen (1981) menjelaskan, bahwa observasi dan pertemuan supervisi pada hakekatnya dapat menyebabkan berbagai bentuk kecemasan atau ketakutan terhadap guru. Kepala sekolah hendaknya mampu menembangkan keterampilan yang memungkinkanya memahami kecemasan-kecemasan semacam itu, dan selanjutnya, meredamnya atau menguranginya. Jika ia mengabaikanaya, maka hasil positif pertemuan supervisi sulit dicapai. Disinilah letak perlunya komunikasi interpersonal selama pertemuan supervisi yang diharapkan dapat memberikan dampak perbaikan pengajaran, baik yang segera dapat diamati, maupun untuk penampilan yang akan datang.
Penelitian yang berkaitan dengan observasi dan pertemuan supervisi sangat terbatas, walaupun sebagai teknik supervisi telah dikenal secara luas dan dipandang mapu memberikan bantuan positif terhadap guru guna meningkatkan kualitas performansi di kelas. Begitu juga halnya dengan kajian ataupun penelitian tentang persepsi dan sikap guru terhadap supervisi, terutama observasi dan pertemuan.
Oliva (1984) dalam Mantja melaporkan, bahwa George C. Kyte dapat dipandang sebagai pelopor penelitian observasi dan pertemuan supevisi dengan diciptakanya instrument supervisi dan perte-muan, yang diterbitkan antara tahun 1920 dan 1930. penelitianya itu menyimpulkan, bahw pengajaran dapat dimodifikasi secara positif melalui wawancara supervisi yang terencana dengan baik. Terutama sekali, apabila ada hal-hal yang sangat spesifik atau problema-problema khusus, maka hal semacam itu dapat diseleaikan melalui diskusi anatara supervisor dan guru. Dengan melihat manfaat pertemuan sesudah pengamatan supervisi, Mars dan kawan-kawan (1978), sepakat jika pertemuan supervisi yang sifatnya individual itu menjadi salah satu teknik yang dapat dikembangkan oleh supervisor untuk meningkatkan pengajaran guru. Penelitian yang berkaitan dengan pengamatan dan perte-muan supervisi seperti itu dikerjakan juga oleh Lovell dan Phelps (1979). Mereka melaporkan, bahwa kepala sekolahlah yang paling banyak melakukan observasi dan pertemuan sesudah observasi itu. Sangat sedikit respon guru terhadap pertanyaan: Apakah mereka dilibatkan  dalam observasi atau pertemuan dengan supervisor.
Guru yang dilibatkan dalam penelitian pada umumnya merasa, bahwa pertemuan tidak menguntungkan, sebaliknya, kepala sekolah memberikan respon yang positif dan mengakui adanya keefektifan pertemuan semacam itu. Sebenarnya para guru menyatakan, bahwa pertemuan dan observasi yang lebih sering sangat dibutuhkan, namun sebaliknya, kepala sekolah merasa bahw layanan yang berkategori: cukup, telah mereka kerjakan.
Pertemuan supervisi dari titik tolak persepsi guru terhadap perilaku kepemimpinan kepala sekolah selama dilaksanakanya pertemuan supervisi, mereka menemukan bahw guru yang dilibatkan dalam pertemuan memberikan kesimpulan yang menyatakan keefektifan prosedur pertemuan yang didasarkan atas persepsi mereka terhadap perilaku kepemimpinan kepala sekolah. Dengan melihat hubungan terhadap perilaku supervisi kepala sekolah dalam bidang penilaian pengajaran dan pengajaranya dan persepsi mereka terhadap pertemuan supervisi,
Blackboum (!983) dalam Mantja, melakukan penelitian di sekolah-sekolah di Mississippi. Untuk penelitian itu ia melibatkan sejumalah guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Variable ras, umur, jenis kelamin, pengalaamn pengajar, tingkat kelas yang diajar, dan ijsah terakhir guru juga diperlihatkan untuk menetapkan apakah terdapat pengaruh yang signifikan terhadap persesi-persepsi ini. Dari sejumlah variable itu hanya variable tingkat kelas yang diajar saja yang ditemukan memiliki hubungan yang signifikan. Blackboum menyimpulkan, bahwa guru yang bersikap positif terha-dap pertemuan observasi yang sifatnya evaluarif, kadang-kadang merasakan perilaku kepala sekolah dasar memiliki persepsi yang lebih positif terhadap pertemuan yang sifatnya evaluatif, jika dibandingkan dengan para guru sekolah mengengah. Penelitian ini, sekaligus pula menguatkan kesimpulan penelitian sebelumnya menyatakan, bahwa ada satu pola perilaku yang tidak disukai dalam semua peristiwa supervisi, yaitu perilaku direktif. Korelasi yang kecil antara variable ras, jenis kelamin, umur, ijazah, dan pengalaman kerja administrative kepala sekolah dan persepsi guru terhadap pertemuan supervisi ditemukan oleh Phares (1983). Penelitian ini juga bertentangan dengan penemuan Blackbourn (1983), yang menyatakan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara persepsi para guru sekolah dasar dan menengah terhadap pertemuan supervisi. Penelitian Blacbourn dan Moody (dalam Mantja), menunjukkan tentang adanya hubungan yang signifikan secara statistic antara ras, pengalaman mengajar, usia, dan persepsi para guru terhadap pertemuan yang sifatnya evaluatif. Mereka menyimpulkan bahwa guru kulit putih, guru yang lebih berpengalaman, dan guru tua memiliki persepsi yang lebih positif terhadap pertemuan supervisi, jika diabndingkan dengan para guru kulit hitam, guru yang kuarng berpengalaman, dan guru muda. Pertemuan itu menampakkan kecenderungan yang searah dengan penemuan yang dikemukakan oleh Rossicone (1985), Ngugi (1985) dan Calhoun (1985) dalam menemukan hubungan antara variable ras, usia, jenis kelamin dan pengalaman mengajar dan variable pendekatan supervisi yang lebih disukai guru.[3]
                                                           


[1] Ibid, hal. 124
[2] Ibid, hal. 125
[3] W. Mantja, Profesionalisme Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran, Kumpulan Karya Tulis Terpublikasi, Malang, Elang Mas, 2007, hal. 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar